Masih awam untuk mengeluh pusing karena pelajaran. Nyatanya, pukul sepuluh tepat pada istirahat pertama, Sema tak mampu menahan diri untuk keluar dari kelas. Perutnya yang lapar menambah pusing di kepala akibat ulangan mendadak ekonomi. Pelajaran satu itu cukup berguna di masa depan, tapi tetap saja kenapa repot sekali saat dipelajari.
Sema keluar dari kelasnya dengan gontai. Sendirian seperti biasanya. Kalau beruntung biasanya bertemu Desta. Makan berdua sebagai sesama manusia kesepian. Atau mungkin hanya Sema yang kesepian akibat Haru-nya yang menghilang. Masih pantaskah disebut Haru-Nya?
"Akhh..." Sema meringis, tubuhnya tertarik ke belakang kala tiba-tiba ada seseorang yang menarik rambutnya dengan tidak manusiawi.
"APA-APAAN SIH—Desta?" Sema berkilat jengkel. Sedang di depannya, sesosok pemuda malah menatapnya datar. "Lo kenapa sih? Rambut Gue rontok ih." Omel Sema lagi. Bayangkan dirimu sedang enak berjalan tiba-tiba ditarik ke belakang, kalau lengan masih biasa saja, ini rambut. RAMBUT!
Desta masih diam tak menjawab. Tapi netra pemuda itu tak berpindah dari Sema. Tapi seperti ada yang janggal. Sema baru sadar setelah beberapa sekon memperhatikan. "Mau kemana? Terus kenapa pipi Lo merah?" Tanya Sema sembari menusuk pelan pipi kiri Desta. Pemuda itu sontak menjauhkan wajahnya agar terhindar dari tusukan jari itu.
Tak ada jawaban selain hembusan napas panjang dari pemuda itu. Sekilas Desta nampak seperti manusia kehilangan tujuan untuk hidup, terlihat nelangsa. "Lo kenap—" Sema membeku di tempat. Butuh beberapa waktu sampai otaknya memproses kejadian tiba-tiba yang baru saja terjadi. Kalimatnya tercekat kala Desta dengan tiba-tiba menarik tangannya lalu mengarahkannya pada kening pemuda itu.
Panas.
Satu kata yang terbesit namun tak terucap. Hanya ada pandangan bingung. Suhu tubuh Desta lebih tinggi dari biasanya. Pandangan pemuda itu sayu dengan kantung mata. Tubuhnya seakan kekurangan semangat, nampak lemah. "Lo—pfttt." Tawa menggelegar setelah Sema paham apa yang terjadi.
Desta demam.
Rasanya perut Sema tergelitik sampai tawa nya tak dapat mereda dalam waktu beberapa saat. Desta berdecak, tubuhnya tak ada tenaga lebih untuk menegur.
Hingga pemuda itu memilih pergi meninggalkan gadis yang senantiasa tertawa.
"Heh, mau kemana?" Sema segera berlari menuju Desta. Setelah sejajar, gadis itu kembali menyentuh pipi kiri Desta untuk mengeceknya sekali lagi. Tangan Sema yang lain sibuk menempelkan punggung tangan di keningnya sendiri, mencoba membandingkan suhu tubuh Desta dan suhu tubuhnya. Dan benar, suhu tubuh Desta terasa lebih tinggi dari suhu tubuhnya. Pemuda itu mencoba menjauhkan wajahnya dengan ekspresi kesal.
"Lo demam?" Tanya Sema. Tau-tau keduanya kini telah sampai di depan UKS. "Basa-basi banget pertanyaan Lo." Sahut Desta. Sema kembali terkikik, mengikuti pemuda itu yang sudah menyibak salah satu tirai ranjang UKS. Dengan segera merebahkan diri diatasnya.
"Mana nih yang kemarin bilang 'Imun Gue kuat'. Sok-sokan nerobos hujan. Besoknya tumbang kan." Desta merutuki gadis di dekatnya ini dalam hati. Niat ke UKS untuk istirahat jadi terganggu. "Diem." Sentak Desta. Pemuda itu membalikkan badannya memunggungi Sema. Gadis itu kembali tertawa, lucunya dimana sih? Desta tak habis pikir.
"Lagian sih Lo kan Gue udah bilang nunggu hujan reda. Mana sok-sokan ngasih jaket ke Gue. Demam kan Lo, pala batu sih." Desta menghembuskan napasnya kasar. "Kalo nggak bisa diem mending keluar." Sahut Desta masih dengan posisinya menghadap tembok. Tubuh pemuda itu agak menggigil meskipun sudah memakai Hoodie. Melihatnya membuat Sema jadi sedikit iba.
"Udah makan?" Tanya Sema. Hal itu membuat Desta merubah posisi menjadi terlentang. Ia kemudian menggeleng.
"Gue beliin makan, mana duit nya." Sema mengadahkan tangannya ke hadapan pemuda itu. Dibalas dengan decakan sebal. Sebab tak ada tenaga untuk berdebat langsung saja Desta mengambil uang di sakunya, memberikannya kepada Sema. Gadis itu tersenyum. "Ongkir ya, Gue juga butuh makan. Makasih." Tanpa mendengar jawaban Desta gadis itu melenggang segera.
Desta memijit pelipisnya yang pening dengan mata terpejam, oh astaga. Tak berselang lama sampai ia merasakan sesuatu menutup tubuhnya. "Pakai selimut kalau dingin." Desta menatap bingung pada Sema yang kini tengah memakaikan selimut kepadanya sebatas kepala. Tapi diturunkan lagi sebatas leher. Takut Desta tak bisa bernapas. Satu hal yang membuat Desta bingung. Sejak kapan Sema kembalinya? Yang jelas setelah itu Sema kembali keluar setengah berlari.
—o0o—
"Desta!"
Kedua mata yang awalnya terpejam kini nampak terbuka perlahan. Mengerjap kala cahaya terasa menusuk. Kepalanya masih pening, ia menoleh ke arah gadis yang tengah menarik kursi yang biasa di duduki petugas UKS ke samping ranjang yang ditiduri Desta.
Di satu sisi tangan Sema menenteng kresek. Setelah selesai dengan adegan menarik kursi gadis itu duduk dengan tenang membongkar barang yang ia bawa. Nampak gadis itu membuka bungkus nasi dengan ayam dan capcay.
"Di kantin nggak jual bubur. Ini nggak apa-apa kan?" Desta mengangguk menanggapi. Ia kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Berniat mengambil makanan dari tangan gadis itu namun ditahan. "Udah diem. Buka mulut." Sema menyodorkan sendok yang sudah terisi. Desta mengernyit. "Gu—" kalimat Desta harus tertahan karena suapan tiba-tiba yang masuk tanpa permisi. "Gue bilang diem." Ucap Sema, gadis itu kembali mengisi sendok dengan nasi dan lauk serta sayurannya.
"Gue nggak suka tomat." Protes Desta saat melihat Sema menambahkan potongan tomat di sendoknya. "Oh nggak suka ya." Sema meletakkan kembali tomatnya. Lalu menyuapkan makanan itu kembali kepada pemuda yang sedang demam itu.
Desta melirik kresek di atas nakas. Satu bungkus makanan yang Desta tebak milik gadis itu. "Minum." Ucap Desta. Sema mengangguk, ia mengambil air mineral lalu membukanya walaupun agak kesusahan di awal. Tangannya sampai memerah, namun segel itu sepertinya rapat sekali. "Gue bisa—"
"Diem!" Akhirnya pada percobaan ketiga membuka tutup botol itu pun akhirnya membuahkan hasil. Lantas menyodorkan minuman yang telah terbuka itu kepada Desta dengan senyuman. Desta menerimanya tanpa protes. "Gue bisa makan sendiri, bentar lagi bel masuk. Lo juga harus makan." Sema mendongak. Lantas mengamati jam dinding. Benar juga.
"Bentar." Ucap Sema. Gadis itu nampak sibuk mengutak-atik isi makanan Desta memisahkan tomat dari sana. Sebelum kemudian memindahkan tomat-tomat itu ke dalam makanan milik Sema sendiri. Lantas memberikan makanan yang sudah bersih dari tomat itu kepada sang pemilik.
Sema memakan makanannya dengan lahap. Kelaparan dia sebenarnya. Ia baru ingat jika ia lapar ketika Desta berucap tadi. Keduanya menikmati makanan masing-masing dalam hening. Kebiasaan Desta yang membuat Sema terbiasa. Lagipula alih-alih fokus mencari topik untuk mencairkan suasana, lebih baik fokus menikmati rasa makanan.
"Gue kenyang." Makanan punya Desta tersisa seperempat, pemuda itu sebenarnya mengeluh kenyang sedari tadi. Namun Sema tetap memaksa Desta untuk menghabiskan makanannya. Tapi melihat Desta sepertinya benar-benar kenyang, Sema akhirnya mengambil makanan itu dari Desta.
Gadis itu tergerak mengambil obat yang ia minta dari petugas UKS. "Minum obat." Ucapnya memberikan obat dan juga air mineral kepada Desta. Disambut tanpa basa-basi dan langsung diminum begitu saja. Untung saja Desta tidak drama.
"Dah, tidur." Ucap Sema.
"Tapi Gue habis makan loh?" Desta itu memegang teguh prinsip duduk dulu minimal dua jam setelah makan. Tidak bisa jika langsung berbaring. Tapi pandangan tajam dari Sema membuat pemuda itu bungkam.
"Setidaknya biarin Gue duduk sepuluh menit." Sema menghela napas kemudian mengangguk. "Ntar pulang Lo gimana?" Tanya Sema.
"Dijemput Supir." Sema kembali mengangguk, bersamaan dengan bel masuk yang berdering nyaring. Sema segera bangkit. "Gue ke kelas ya. Cepet sembuh." Ujar gadis itu disertai senyuman sebelum berbalik badan.
"Sema!" Baru selangkah Sema kembali berbalik. "Kenapa? Butuh sesuatu?" Tanya Sema dengan dua manik mengerjap.
Desta menggeleng. "Makasih." Ucap Desta dengan senyuman tipis.
Tubuh Sema mendadak kehilangan impuls. Seperti orang linglung, desiran hangat menjalar cepat. Seolah seluruh selnya mendapat sesuatu yang menyenangkan. "Ah, iya, sama-sama." Balas Sema dengan senyum kikuk. Bertindak seperti orang bodoh sebab jantungnya seperti dipompa keras. Sema terkekeh canggung sebelum pergi setengah berlari.
Hingga ia keluar dari UKS. Bersandar pada dinding luar UKS. Jantungnya masih tidak normal. Tubuhnya seakan lemas, kaki Sema rasanya berubah menjadi jelly-jelly.
"Gue kenapa ya Tuhan."

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [END]
Teen FictionEmpat hati yang terjebak dalam kisah rumit asmara masa remaja. Sema, gadis pemula dalam cinta. Yang ia tahu ia mencintai satu orang dalam hidupnya. Tapi itu dulu, jauh sebelum ia sadar terjebak dalam romansa rumit. Haru, baginya menjalin hubungan...