Tatapan Tajam menghujami Desta bagai siap menembak pada ulu Hati. Siap membunuh dengan berjuta pertanyaan. Tapi apakah seorang Desta akan takut? Tentu tidak. Sebab sekarang pemuda itu malah duduk santai di ruangan Papa nya. Terlebih lebam menghiasi wajahnya.
Sang Papa menghembuskan napasnya, agak pasrah memiliki anak seperti Desta. Untung anak sendiri.
"Desta, jawab pertanyaan Papa!" Tegas lelaki paruh baya itu. Desta malah merotasikan mata alih-alih takut.
"Yang mana? Papa kan nanya lima belas pertanyaan sekali napas." Papa Desta melepas jas putihnya. Kelakuan Desta sebelas dua belas dengan dirinya dulu. Tau kalo menurun begini mendingan dulu tidak usah sok-sokan bersikap dingin. Anaknya jadi kena imbas.
"Jadi siapa cewe yang udah bikin es nya Papa mencair? Sampe nyamperin Papa ke ruangan buat ngecek keadaannya, padahal dia cuma hipotermia ringan. Perawat juga bisa, nggak perlu Dokter spesialis penyakit dalam seperti Papa." Ucap Papa Desta, sedikit menggoda anaknya yang tengah sibuk mengompres wajahnya dengan es batu. Heran, ayah nya kan dokter. Tidak minta tolong saja? Daripada harus mengompres sembari melihat layar ponsel untuk memastikan letak lebam. Memang gengsi Desta melebihi Burj Khalifa.
"Cuma temen." Jawab Desta santai, padahal Papa nya sudah sangat antusias ingin mendengar anaknya memiliki seseorang spesial seperti pacar? Masa iya sih, Desta hanya berkencan dengan buku-buku dan komputer game nya.
"Terus yang bikin kamu bonyok gini siapa?" Tanya Papa Desta. Kenapa tidak bertanya daritadi sih? Seolah siapa Sema lebih penting daripada lebam di wajah Desta. Orang lain, orang lain, orang lain, baru anaknya
Dokter Pratama, atau dokter Tama ini merupakan Papa dari Desta. Kegemarannya akan pelajaran-pelajaran IPA menurun kepada anaknya. Itulah sebab Desta sedikit tahu tentang obat-obatan. Karena dari kecil kalau Desta kesini pasti mengobrak-abrik lemari obat kecil yang disimpan Dokter Tama.
"Temennya temenku." Jawab Desta masih dengan mengompres lukanya. Lama-lama Dokter Tama gemas sendiri melihatnya. Ia segera mengambil kompres itu lalu membuangnya. Mengambil obat merah mengoleskannya pelan kepada Anaknya ini.
"Gini nih, kalo belajar taekwondo yang bener. Masa masih bonyok." Komentar Pak Tama. Tak kalah pedas dari kalimat Desta. Sekarang Desta tau kenapa dirinya kerap berkata pedas, turun dari sang Papa. Gen nya kuat sekali.
Namun kesan Papa tegas, yang kerap menekan anaknya tak melekat pada pria paruh baya itu. Ia tak pernah menekan Desta sama sekali, anak ini murni ingin belajar, ingin jadi pintar. Ia juga tak mematok Desta harus les sana-sini. Lagi-lagi pemuda itu yang mau sendiri. Desta juga menuruni bakat sang Mama, pintar melukis. Sang Mama suka mendesain sesuatu lewat goresan pensil. Sekarang memiliki butik sendiri dengan baju-baju hasil karya nya sendiri. Tidak terlalu besar namun memiliki banyak pelanggan tetap.
"Papa pikir kamu sukanya sama Key." Desta menoleh pada perawakan pria tegap di depannya ini. "Key udah punya pacar Pa." Tegas Desta. Ia menatap bingung, kala Papa nya malah tertawa hingga membuatnya tak jadi mengoles kapas ke wajah Desta. Memangnya kapas nya lucu?
"Nggak usah sedih, kamu kan ganteng. Banyak yang mau. Cuma kamu aja yang ngelunjak, standar nya tinggi banget. Coba deh nak, buka hati buat lingkungan sekitar kamu. Masa iya sih, cerita remaja kamu nggak ada warna nya." Desta menghela napas mendengarkan wejangan dari sang Papa. Harus buka hati bagaimana? Kalau Desta aja lupa password nya.
"Yang tadi itu siapa namanya? Tumben kamu mau susah-susah nolongin orang." Lagi-lagi pokok pembahasan ini tak jauh-jauh dari Sema, cinta, dan kisah romance yang jujur bagi Desta yang anti romantic malas mendengarkan.
Desta memilih mencari pokok pembahasan lain. "Pa, mobil Desta rusak." Ucapnya. Ekspresi datarnya membuat Dokter Tama mendengus kesal. Apa ini akibat dari ngidam aneh istrinya tengah malam mengunyah es batu?
"Kok bisa?" Tanya Papa Desta.
"Tabrakan sama gerbang." Jawab si yang lebih muda. Kalau dilihat-lihat Desta dan Dokter Tama memiliki visual yang hampir mirip. Hanya saja Desta memiliki tahi lalat di bawah bibirnya seperti sang Mama.
"Jadi mau mobil baru?" Tanya sang Papa. Jarang sekali Desta meminta sesuatu. Kecuali meminta izin. Biasanya orang tua nya yang akan berinisiatif memberikan sendiri.
Desta menggeleng. "Nggak juga, cuma ngasih tau kalo mobil Desta rusak. Tabungan Desta masih banyak." Sekarang sang Papa yang menghela napas. Desta nya ini tumbuh cepat sekali. Perasaan baru kemarin ia meminta mobil-mobilan.
—o0o—
Gadis itu mengerjap pelan menyesuaikan cahaya yang masuk. Pusing masih menjalar kala cahaya terasa menusuk mata. Berulang kali mengerjap hingga akhirnya matanya mampu terbuka sempurna. Pada pemandangan yang lumayan asing menyambut mata, Sema mengernyit bingung.
"Ha-ru?" Lirihnya kala melihat seorang pemuda tengah duduk dengan kepala menunduk. Seperti tertidur di dekatnya. Dengan tangannya yang menggenggam tangan Sema. "Haru?" Panggilnya lagi, agak keras hingga mampu membuat si pemuda terganggu tidurnya.
Haru lantas mendongak, terkejut melihat Sema sudah siuman. Tapi kemudian tersenyum. "Udah bangun?" Tanya nya retorik. Sema mengangguk lemah. Pakaiannya sudah berganti dengan pakaian rumah sakit.
"Haus." Ucapnya. Haru mengerti, pemuda itu mengambil air di atas nakas, lalu membantu Sema minum lewat sedotan.
"Papa sama Mama kemana?" Tanya Sema.
"Mereka Gue suruh pulang, tadi Tante sempet pingsan liat keadaan Lo." Jawab Haru.
Sema sekilas melihat jam dinding yang terpasang. Sudah pukul dua malam. Pandangannya kini beralih pada wajah Haru yang nampak lebam kebiruan. Tangannya terangkat membelai pelan pipi Haru hingga membuat sang empu meringis.
"Ini kenapa?" Tanya Sema. Haru memegang tangan Sema, memindahkannya dari sumber lebam di wajahnya, lalu menggenggamnya erat. "Berantem sama Desta." Jawabnya. Sema terkejut sesaat.
"Kenapa bohong? Lo nggak pernah janjian pulang sama Desta kan?" Tanya Haru, agak tegas tatapannya. Sema menunduk lalu tersenyum. "Gue nggak mau ganggu waktu Lo sama Keyra." Lirihnya, senyumnya terkesan getir agak dipaksa. Hal ini membuat Haru merasa bersalah atas insiden yang menimpa gadis ini.
"Denger, Lo prioritas Gue Sema! Lihat, karena kebohongan Lo bikin Lo celaka kayak gini." Haru memang tak membentaknya, tapi tatapan tajam sirat kecewa itu membuat Sema sedikit merasa bersalah.
"Maaf."
"Semenjak Gue sama Keyra kenapa Lo jadi berubah?" Sema terkejut lagi. Kali ini memalingkan wajahnya ke mana saja asal tak menatap netra tajam Haru. Tak ingin butiran bening pecah membasahi wajahnya. "Lihat Gue!" Tegas Haru. Sema menggeleng membuat Haru menghela napas kasar. Tatapannya berubah melembut, ia mengusap pelan tangan Sema.
"Jangan buat Gue khawatir lagi. Cukup ini yang terakhir." Ujar Haru lembut. Tatapannya sendu membuat Sema tak kuasa menahan tangisnya. Bersamaan dengan Haru yang memeluknya erat. Rengkuhan hangat, rasanya Sema seperti mengingat sesuatu.
Pelukan Desta kala itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [END]
Teen FictionEmpat hati yang terjebak dalam kisah rumit asmara masa remaja. Sema, gadis pemula dalam cinta. Yang ia tahu ia mencintai satu orang dalam hidupnya. Tapi itu dulu, jauh sebelum ia sadar terjebak dalam romansa rumit. Haru, baginya menjalin hubungan...