Semburat jingga tak menyapa sore ini, tergantikan warna kelabu menjulang memberikan kesan dingin menyentuh. Maklum, bulan-bulan ini sedang musim hujan yang tak tentu.
Meregangkan otot-ototnya selepas berjam-jam lamanya sejak dirinya menginjakkan diri di rumah, berkutat pada tugas-tugas sekolahnya. Tangan-tangannya terasa pegal setelah banyak menulis. Kepalanya agak sedikit pusing setelah dipaksa melayani banyak rumus. Desta kini bersandar pada kursi belajarnya sembari memijit pelipisnya.
Sudah pukul setengah tujuh Desta lihat dari jam di dekat meja nya. Itu artinya sudah tiga jam sejak dirinya berkutat pada tugas-tugas sekolahnya. Sebentar lagi memasuki jam makan malam, Desta yang kala itu mengenakan kaos putih polos dengan celana training hitam melepas kacamata belajar nya. Ia memilih keluar, lebih tepatnya ke arah balkon kamarnya.
Desta duduk di kursi, menyaksikan kelabu dari ketinggian lantai dua. Walaupun sejauh mata memandang tidak lapang, terdapat beberapa atap dan perumahan yang menghiasi. Maklum, rumahnya berada dalam komplek perumahan padat.
Memasuki jam-jam seperti ini, Desta yang tak tahu akan berbuat apalagi itu meraih ponsel di saku celananya. Tadinya ingin membaca komik atau sekedar membalas pesan masuk. Tapi omong-omong soal ponsel, entah kenapa pikiran Desta tiba-tiba tertuju pada Sema. Gadis yang ia tinggalkan di perpus siang tadi.
Bukan tanpa sengaja, Desta tak se-tega itu. Entah bisa dipercaya atau tidak sebab karena Desta sering sendirian di perpus ia jadi lupa membangunkan Sema. Setelah mencari buku, Desta tak kembali lagi di tempat duduk sebelah Sema. Ia langsung saja ke petugas perpus untuk meminjam buku. Lantas kembali ke kelas karena memang seperti biasanya begitu. Baru saat pelajaran kimia satu jam terakhir Desta teringat gadis itu.
Lucu kan? Desta juga tak tau ternyata otak genius nya bisa melupakan hal kecil ini. Ia tadinya sempat ingin izin sekedar mengecek apakah Sema sudah kembali atau masih disana. Tetapi tanggung, sudah mau pulang. Mungkin sudah ada yang membangunkan Sema, ya mari berharap begitu.
Niat awalnya terganti dengan jemari nya yang bergerak acak menekan nomor Sema hingga terpampang foto gadis itu tengah tersenyum.
Telepon, nggak, telepon, nggak, telepon,nggak— Bagai mantra, Desta terus mengulang dua kata itu hingga jengah sendiri. Secara tegas ia menekan tombol panggilan, walaupun agak menyesal tapi ia setidaknya ada itikad baik ingin minta maaf.
Sudah dering ketiga namun tak kunjung diangkat oleh sang penerima. Desta menjauhkan ponsel dari telinganya. Mungkin saja Sema memang marah. Jadilah Desta hendak menutup teleponnya. Desta juga mana peduli.
Tetapi sebelum jemarinya menekan tombol merah, panggilan tiba-tiba terhubung. Membuat Desta bingung. Tak lama pemuda itu kembali menempelkan ponselnya ke telinga agar mendengar jelas ucapan dari Sema.
"Gue minta maaf soal tadi." Ucapnya to the point. Memang anaknya tak suka basa-basi, tanpa dalam tanpa sapaan. Beberapa detik sejak kalimatnya mengudara, tak ada respon dari seberang sana membuat Desta lagi-lagi menjauhkan ponsel dari telinganya. Mengecek apakah masih terhubung atau sudah mati. Tapi nyatanya, waktu panggilan masih terus berjalan. Itu artinya masih terhubung. Belum dimatikan.
"Sema?" Panggil Desta kali ini.
Merasa tak mendapat jawaban membuat pemuda itu berdecak. Pada akhirnya hendak mematikan sambungan. Yang penting kan sudah minta maaf tapi sekilas Desta mendengar kalimat lirih dari seberang sana membuatnya kembali menempelkan benda itu di telinga. Kurang jelas, terdengar samar sampai-sampai pemuda itu mengeraskan spiker ponselnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [END]
Dla nastolatkówEmpat hati yang terjebak dalam kisah rumit asmara masa remaja. Sema, gadis pemula dalam cinta. Yang ia tahu ia mencintai satu orang dalam hidupnya. Tapi itu dulu, jauh sebelum ia sadar terjebak dalam romansa rumit. Haru, baginya menjalin hubungan...