Perkataan Haru sewaktu mereka tengah memakan nasi goreng bukanlah bualan semata. Terbukti dari pemuda itu yang berjalan tergopoh membawa kasur lipat dan selimut tebal dari rumahnya. Ia kemudian kembali lagi ke luar mengambil perlengkapannya untuk besok ia sekolah.
Hari ini tekadnya sudah bulat untuk menginap di rumah Sema.
Awalnya terjadi perdebatan antara Sema dan Haru. Sema menyuruh Haru pulang dan Haru ingin tetap menginap. Untung saja perdebatan itu berakhir karena Sema memilih mengalah. Tetapi dimana Haru tidur kini menjadi topik perdebatan kedua insan berbeda gender itu.
"Ya gampang, Gue tidur di kamar Lo, Gue dibawah Lo diatas." Kalimatnya terkesan ambigu bagi tetangga yang mungkin tidak sengaja mendengarnya.
"Gue anak perawan Haru." Perawan, perawan, perawan. Itu terus yang dijadikan Sema untuk menyanggah. Seolah kalau tidur satu ruangan bersama Haru akan membuat Sema kehilangan titel perawan nya.
"Gue cuma mau tidur. Atau Lo jangan-jangan mikir yang aneh-aneh nih?" Tanya Haru. Perdebatan ini masih panjang sebab Sema tidak ingin mengalah lagi dari Haru.
"Nggak gitu, ih."
Haru menatap Sema dengan raut kecewa yang dibuat-buat. "Lha terus apa? Oke, kalo Lo mikir gitu—" Sema memicing, Haru marah? Semudah itu? Karena Sema tak mengizinkan Haru tidur di kamarnya?
"—Gue sih ayok-ayok aja." Ucap Haru diakhiri cengiran yang membuat Sema memukul lengan pemuda itu. Gemas, rasanya ingin menggilas Haru dengan truk gandeng.
Perdebatan mereka akhirnya terjeda setelah dua orang penyelamat datang dengan bingung.
"Kok belum tidur?" Tanya Mama Sema. Perihal Haru yang ingin menginap Mama dan Papa Sema sudah tau. Pemuda itu sudah meminta izin.
"Haru nggak boleh tidur di kamar Sema, Tante." Adu Haru. Sema menatap tajam. "Sema kan anak perawan Ma, masa tidur sama bujang kek dia." Meledeknya pintar sekali, Haru sampai tertohok.
"Haru kan bawa kasur sendiri, Haru udah bilang tidur di bawah. Lagian Haru kan cuma mau tidur, nggak mau nge-unboxing Sema." Heh, bahasanya membuat Sema bersemu malu sekaligus ingin mengutuk Haru. Harus banget ya mengucapkan kalimat itu di depan orang dewasa seperti orang tua Sema.
"Tapi kan—"
"Udah!"
Ketiga orang itu kompak menoleh ke arah Mana Sema. Mama Sema menatap Papa Sema lalu kemudian mengangguk.
"Haru boleh tidur di kamar Sema—" pernyataan itu membuat Haru tertawa puas, sementara Sema menatap kecewa.
"Tapi, ada tapi nya ini." Ucap Mama Sema.
"Apa itu Tante?" Tanya Haru.
"Kalau seminggu kemudian Sema mual-mual, kalian harus nikah." Ucap Mama Sema diiringi tawa bersama sang Papa. Mendapati tatapan cengo dari Haru dan mata membulat dari Sema. Tanpa ingin mendengar kegilaan lagi, Sema akhirnya pergi saja meninggalkan tiga orang itu.
"Ngambek tuh, cepetan susulin." Ujar Papa Sema kepada Haru. Haru mengangguk kaku lalu membawa barang-barangnya untuk menyusul Sema.
Papa Mama Sema saling pandang, mengingat masa muda mereka dulu. Sekarang gemas sendiri dengan kisah cinta anaknya yang terjebak dalam hubungan pertemanan. Kalau anak muda jaman sekarang menyebutnya 'Friendzone'
Dasar anak muda.
—o0o—
Haru mengerjap berulang kali menatap Sema. Dengan duduk diam di tepi ranjang Sema, memperhatikan si pemilik kamar tengah menata kasur lipat dilantai untuk Haru tidur. Setelah perdebatan panjang usai, keputusan yang didapat berpihak pada Haru. Ya, walaupun ada pantangan dan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Seperti pintu harus terbuka, tidak boleh ditutup apalagi di kunci. Tidak masalah, yang penting malam ini Haru bisa tidur bersama Sema sebab besok gadis itu harus pergi selama tiga hari mengikuti olimpiade.
Setelah beberapa menit kemudian Sema telah selesai dengan kegiatannya. Ia mengikuti Haru dengan duduk di sampingnya. Sekalipun hanya menata, tetapi tetap saja membuat Sema berpeluh.
Haru mengambil tisu di nakas, mengusap pelipis Sema pelan-pelan seolah sedang membersihkan artefak kuno yang mudah pecah. Tak mendapat penolakan dari Sema. Semua perlakuan Haru sudah sering ia dapat. Tidak kaget, hanya sedikit berdebar tiap kali jarak mereka sedekat ini.
"Lulus kita nikah ya?" Ucap Haru tiba-tiba selepas membuang tisu di tempat sampah kecil di samping ranjang Sema. Mendapati kalimat ngawur Sema kontan menoleh. "Heh, enak banget ngomongnya." Sahut Sema.
Haru malah merebahkan diri di ranjang Sema, menatap langit-langit kamar Sema. "Lo itu udah cocok jadi istri Gue. Masak nasi goreng nggak gosong, nata kasur juga rapi. Kurang apalagi?" Ucapnya lagi. Sema berdecak, mengikuti langkah Haru dengan merebahkan dirinya di samping pemuda itu.
"Besok ada tugas?" Tanya Sema mengalihkan topik. Meskipun ia tahu Haru hanya becanda tetap saja rasanya tidak aman bagi jantung Sema. Haru menoleh, kemudian mengangguk. "Kayaknya." Imbuhnya.
Sema lantas bangun dengan cepat. Mengambil tas Haru lalu mengecek buku-buku pemuda itu.
"Besok aja Gue nyontek temen, udah ayo tidur. Besok kan Lo berangkat." Ujar Haru yang kini berubah posisi menjadi duduk kembali. Sema tak ambil pusing, lantas segera kembali ke meja belajarnya bersama dua buku Haru berisi tugas. Mengerjakannya dengan telaten padahal Haru tidak memintanya.
Kan kalau begini niat ingin menikahi Sema semakin besar.
Haru memperhatikannya dari sini, gadis itu tengah serius menaruh atensi. Ia yakin Sema lelah, tapi perhatian-perhatian Sema justru membuat Haru sedikitnya bergantung pada Sema.
Ia tersenyum sekilas, kemudian berjalan ke arah gadis itu ketika mendapati Sema berulang kali menguap.
Haru menutup paksa buku-buku di depan Sema walaupun mendapat tatapan sengit dari gadis itu. Menarik pelan tangan Sema untuk berjalan menuju ranjang.
"Tidur ya, selamat malam." Ucap Haru lembut. Tak lupa menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuh Sema. Sema tak protes sama sekali, ia benar-benar mengantuk terlebih ketika suara mengalun tiba-tiba dari mulut Haru. Pemuda itu bernyanyi lembut dengan tangan mengusap kepala Sema. Membuat Sema tak kuasa menahan kantuk lebih lama.
Semua tentang Haru.
Perlakuannya.
Suaranya.
Usapannya.
Hingga senyumnya.
Sema tersenyum sebelum sang katuk menguasai dirinya. Perlahan matanya mulai memberat sampai akhirnya terbuai mimpi akibat nyanyian dari Haru.
Pemuda itu ikut tersenyum di akhir lirik yang ia nyanyikan. Instingnya membawanya untuk mengecup singkat pelipis Sema. Entah untuk apa tapi Haru ingin melakukannya.
"Gue jadi pengen cepet-cepet lulus terus nikah sama Lo. Awas aja kalo nanti Lo nolak." Ujarnya pelan.
Di samping itu dua pasang mata tengah mengintip momen manis ini dengan menahan tawa.
"Haru lakik banget ya Ma, kayak Papa dulu." Bisik Papa Sema langsung mendapat geplakan dari Mama Sema.
"Lakik apaan kamu, dulu belah katak pas praktek biologi aja teriak-teriak." Sanggah Mama Sema. Papa Sema mendengus "Mana ada, Papa kan ambil jurusan IPS." Sanggah Papa Sema membuat sang Mama terdiam.
Nah Loh?

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [END]
Fiksi RemajaEmpat hati yang terjebak dalam kisah rumit asmara masa remaja. Sema, gadis pemula dalam cinta. Yang ia tahu ia mencintai satu orang dalam hidupnya. Tapi itu dulu, jauh sebelum ia sadar terjebak dalam romansa rumit. Haru, baginya menjalin hubungan...