13. Keluar kota

19 3 0
                                        

Malam ini Sema harus menginap di rumah sakit. Sementara Desta dan Bu Rosa sudah kembali lagi ke hotel lantaran tidak ada tempat untuk tidur di rumah sakit. Hanya Satu sofa panjang kini ditempati oleh Bu Nila selaku yang bertanggungjawab pada Sema. Guru geografi itu kini sudah terlelap.

Sementara Sema belum bisa tertidur. Daripada tadi kini keadaannya berangsur-angsur membaik. Sebenarnya Sema sudah bisa pulang ke hotel tapi atas kekhawatiran sang guru terlebih besok Sema harus mengikuti olimpiade membuatnya mau tak mau harus menginap di rumah sakit selama satu malam. Ia belum mengabari orang tuanya, ia belum memberitahu Haru. Ponselnya pun tidak tahu dimana, terakhir kali ia buat untuk menghubungi Desta. Mungkin tadi tertinggal di hotel.

Desta hari ini banyak membantunya, tapi Sema bahkan tak sempat mengucapkan satu kata terimakasih atas bantuan pemuda itu. Sekalipun akhirnya tidak ditanggapi atau hanya ditanggapi dengan bahasa tubuh tetap saja Sema harus berterimakasih sesuai ajaran orang tuanya sedari kecil.

Sema perlahan memejamkan mata. Sebelum kantuknya mendominasi.

—o0o—

Haru Magenta Radhika, anak pertama sekaligus anak terakhir keluarga Pak Heru Radhika itu membuang napas kasar berulang kali. Sudah malam tapi pemuda itu tak beranjak dari balkon kamarnya sama sekali. Seolah dingin malam yang langsung menyentuh kulitnya lantaran pemuda itu hanya memakai kaos putih dan celana pendek tak sama sekali Haru hiraukan.

Pemuda itu masih setia menatap ponselnya. Tepatnya pada roomchat milik Sema.

Udah makan?

Baru mau makan ini.

Kabari Gue kalau udah selesai.

Ceklis dua abu-abu tak kunjung membiru membuat Haru memicing bingung sekaligus takut. Chat terakhir dengan Sema terjadi pukul setengah enam sore. Setelah itu, gadis itu tak kunjung menjawab pesannya.

Sekarang sudah pukul sebelas malam? Mungkin gadis itu sudah tertidur?

Tapi rasa penasarannya membuat Haru menekan panggilan pada nomor Sema. Panggilan pertama tak mendapat respon alias tidak diangkat. Sekalipun sedang tidur, Sema tak pernah mengabaikan panggilan dari Haru. Ia selalu mengangkatnya walaupun isinya hanya marah-marah saja karena tidurnya diganggu.

Haru semakin penasaran mencoba menghubungi lagi namun kali ini ditolak pada detik ke sepuluh. Haru semakin memicing, ia lantas mencoba lagi ketiga kali.

Dan tersambung.

"Sema kenapa Lo—"

"Gue Desta!"  Haru spontan menjauhkan ponsel dari telinganya ketika mendapati suara berat dari seberang sana. Haru kembali mengamati layar ponselnya yang sedang menampilkan panggilan tersambung. Tidak salah baca, Haru yakin ia menelepon Sema.

"Kok Lo yang ngangkat Sema mana?" Tanya Haru sedikitnya khawatir sekaligus kesal. Nadanya terdengar marah.

"Sakit." Jawab Desta.

"Hah?"

"Lo ganggu tidur Gue."

"Maksudnya apa, Sema sakit? Sakit apa? Dia dimana, eh Lo jangan boong, nggak lucu ya becandaan Lo. Jawab Gue—

Tutttttt.

—woy, dimatiin bangsat."

Bunyi nyaring akibat pemutusan panggilan sepihak oleh Desta membuat Haru naik pitam. Ia mencoba menghubungi lagi berulang kali disertai umpatan-umpatan namun hasilnya nihil.

Desta telah mematikan ponsel Sema sebab tau Haru akan meneleponnya terus.

Sementara Haru tengah mengumpat kesal, di hotel tempat Desta menginap, pemuda itu kini terlihat menguap berulang kali. Sudah pukul sebelas ketika Desta melihat layar ponsel Sema sebelum ia matikan. Ia lumayan mengantuk, sebab tidurnya terganggu dengan bunyi ponsel Sema berkali-kali. Sekali masih ia abaikan, dua kali ia tolak tanpa melihat siapa yang memanggil. Ketiga kalinya membuat Desta dengan kesal membuka mata. Mengangkat telepon tanpa tau siapa sang penelepon. Lagian namanya juga tidak jelas.

Tuan Muda Radhika.

Siapa itu Tuan Muda Radhika? Desta tidak kenal. Namun saat mendapati suara baritone yang pernah Desta dengar sebelumnya ia buru-buru menyaut. Jangan lupakan Desta dengan otak canggihnya yang langsung teringat pemuda kelebihan kalsium yang selalu menempel pada Sema bagai benalu pada inangnya. Pemuda tinggi yang Desta tau bernama Haru.

Ia kesal mendapati pertanyaan bertubi-tubi dari Haru memilih tak melanjutkan sesi bicara itu. Biar saja besok Sema yang menjelaskan sendiri. Gadis itu kan lebih tau keadaannya sendiri.

Desta tak ingin ambil pusing, lantas kembali memejamkan mata. Walaupun besok ia tidak olimpiade tetap saja besok ia harus ikut menemani Sema. Itung-itung team penyemangat. Tapi Desta hanya sekedar datang saja melihat, tidak sampai berteriak-teriak mengucapkan kata 'semangat' untuk Sema.

—o0o—

Malam semakin larut, dan Haru tadinya sudah siap dengan jaket kulit dan kunci mobilnya. Sampai sang Ayah, Heru Radhika menghentikannya tepat ketika ingin membuka pintu rumah.

"Besok aja Haru." Ucap sang Papa. Setelah tahu alasan Haru panik ingin segera keluar kota kalau perlu pemuda itu ingin naik pesawat biar cepat, padahal hanya keluar kota. Tujuannya adalah untuk menemui Sema, Pak Heru yang sempat muda dan merasakan kasmaran itu lantas terkekeh kecil. Mendapati Haru sama persis seperti dirinya dulu. Nekat, dan grasak-grusuk. Tak peduli sekarang jam berapa.

"Pa, Sema sakit." Ucap Haru, ia masih nekat ingin keluar kota malam-malam begini.

"Iya tau, emang kamu pikir Sema pergi kemana? Perbatasan? Daerah pedalaman? Disana ada rumah sakit banyak, besar-besar buka dua puluh empat jam. Sebelum kamu bertindak, guru yang mendampingi juga pasti mikir buat bawa Sema ke rumah sakit. Kamu pikir Sema bakalan langsung sembuh waktu liat kamu kesana? Emang sih kamu ganteng karena nurun dari Papa, tapi kamu yakin Sema bakalan seneng kamu kesana? Kalo ternyata dia marah gimana? Kan jadi repot nak. Kamu juga jadi ngerepotin Sema nantinya."

"Lagian Sema juga butuh istirahat kan?" Tanya pak Heru kepada putra semata wayangnya itu.

Perkataan Pak Heru membuat Haru kalah telak. Pak Heru tau betul Haru banyak bergantung pada Sema. Haru tak mudah sayang pada seseorang, tetapi sekalinya sayang Haru akan berubah menjadi anak kecil yang manja. Maunya dimengerti, tapi poin plus nya pemuda itu akan melakukan apa saja untuk orang yang menurutnya penting. Seperti sekarang ini, nekat ingin keluar kota katanya. Dasar bucin.

"Udah tidur, besok sekolah. Kalo nggak uang jajan bulan ini dikurangin nih? Papa nggak bohong lho, beneran lho ini. Setiap satu langkah kamu keluar, uang jajan kamu papa potong seratus ribu." Ucap pak Heru, malah terkesan meledek. Seharusnya ia mengancam dengan wajah galak nan tegas. Pak Heru memang beda.

Haru berdecak sebal. "Nggak asih ah, ngancemnya pake uang jajan." Ucapnya kesal. Terpaksa ia kembali lagi ke kamar dengan langkah yang ia hentakkan keras-keras. Biar Papa nya mendengar Haru ini tengah merajuk.

Dan dengan posisi yang sama. Pak Heru menghitung mundur mulai dari sekarang, sebelum—

Brakkkk.

Nah kan, pasti keluar uang lagi setelah ini,

Untuk membenarkan pintu.

SEMESTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang