Langit malam bertabur bintang menjadi panorama kali ini. Tiap hembusan angin malam yang menerpa wajahnya membuat nyeri kian terasa.
Harusnya Desta pulang ke rumah saja lalu istirahat. Merebahkan diri setelah merasakan tulang-tulangnya hampir remuk karena Haru. Seharusnya seragam Desta sudah berganti menjadi piyama tidur sembari menunggu makam malam tersaji. Atau seharusnya Desta sudah berada pada tumpukan tugas yang tiada habisnya. Dan juga Desta seharusnya tak terlibat sejauh ini.
Hati berkata 'Desta jelas kamu sedang jatuh cinta' tapi otak menepis dengan argumen tak kalah kuat 'Desta jangan dengarkan hati, kamu hanya berempati'
Desta melayangkan tinju pelan kepada jok motor miliknya yang kini terparkir di halaman rumah sakit. Punya otak dan hati ternyata semerepotkan ini. Tapi mau bagaimana lagi? Tanpa keduanya Desta mati.
Desta menggeleng ribut menepis berjuta kalimat yang seakan berputar sendiri. Bisa gila lama-lama kalau Desta diam disini.
Alhasil pemuda itu segera melangkah, menepis logika dan perasaan yang berjalan berlainan. Hati bilang 'bagus, teruskan' otak bilang 'jangan, berhenti'
Desta mendengus, semua yang ia rasakan berasal dari otak. Mendengar otak dan hatinya berperang? Hal konyol macam apa itu? Desta tidak gila.
Pada akhirnya setelah keributan antara otak dan hati mereda, Desta berjalan sepanjang koridor rumah sakit. Kalau kalian mengira Desta akan menemui Sema, tentu saja tidak. TIDAK!
Tidak menemui, hanya lewat.
Mengintip sedikit lewat kaca kecil di pintu ruangan, ia sedikit lega saat menyaksikan Sema tengah makan disuapi oleh Mama nya. Senyum terbit tanpa terduga.
"Ganteng doang, jenguk cewek depan pintu!" Desta terlonjak kaget pada afeksi tiba-tiba dari seseorang. Sekarang ekspresi pemuda itu mendelik menahan kesal. "Papa ngapain sih disini?" Tanya Desta.
Dokter Tama mengernyit bingung. "Papa kan kerja disini, seharusnya Papa yang nanya, kamu ngapain disini?" Desta terdiam. Bodoh, ia merutuki diri sendiri. "Desta mau nyamperin Papa, puas?" Anak satu ini tidak ada sopan-sopannya kepada orang tua. Sementara ekspresi dokter Tama terlihat bingung. Sejurus kemudian tawa nya pecah.
"Barangkali Desta lupa, ruangan Papa nggak lewat sini, omong-omong." Dokter Tama menaikkan satu alisnya, bangga membuat anaknya diam tak berkutik.
Tapi justru Desta tersenyum miring. "Kalo ruangan Papa nggak lewat sini ngapain Papa disini?" Tanya Desta.
Sabar Tama, ini Desta, anakmu!
"Daripada disini, mending masuk! Ribet banget jadi anak muda." Tanpa berkata lagi Dokter Tama menarik putranya untuk masuk ke ruang rawat Sema. Membuat kedua orang tua Sema dan si empu terkejut.
"Loh Pak Tama?" Juna segera bangkit, menyalami pria yang masih memakai jas dokter itu.
Ria pun begitu, hanya saja seseorang yang menyempil di belakang Tama membuat Sema terkejut.
"Ada Desta—loh wajah kamu kenapa nak?" Tanya Ria kepada Desta. Pemuda itu tersenyum canggung, dilihatnya sang Papa yang menoleh ke arahnya. "Lah iya, Papa kok baru ngeh." Tama menyentuh wajah Desta dengan tidak berperikemanusiaan membuat sang empu meringis.
Desta menepis tangan Papa nya pelan. Tidak tahu apa ya sang Papa, perih di lebam Desta masih terasa.
"Haru juga lebam tadi, kalian nggak habis berantem kan?" Tanya Ria yang mengingat wajah Haru siang tadi. Desta terlonjak begitupun Sema. Gadis itu memandang curiga ke arah Desta membuat pemuda itu mengalihkan pandangannya.
Menyadari ketegangan yang ada Pak Tama mengalihkan topik dengan menanyakan keadaan Sema. Pak Juna dengan senang hati menjawab.
"Nggak apa-apa, besok udah boleh pulang." Ucapnya. Pak Tama mengangguk, menatap Putranya yang terus-menerus melihat ke arah Sema. Apa ia harus bertindak sekarang?
"Pak Juna, Bu Ria mau ke kantin nggak sama Saya?" Tanya Pak Tama mendadak. Juna agak kebingungan namun ia merasakan sesuatu. Seperti sebuah kode sehingga Juna segera mengajak sang istri beranjak. Bahkan Ria sempat menolak dengan dalih belum selesai menyuapi Sema.
"Tenang Bu Ria, ada anak saya." Pak Tama menepuk Desta hingga pemuda itu mendelik bingung. Ia yakin Papa nya sengaja.
"Kalau begitu Tante titip Sema ya nak." Ucap Ria sebelum sang suami menariknya keluar.
Setelah ketiga orang tua itu pergi dari sana suasana menjadi hening. Sampai Desta menarik kursi di samping ranjang untuk duduk. Pemuda itu mengambil nampan berisi makanan yang hampir habis.
"Mau apa?" Tanya Sema.
"Nyuapin Lo, Lo denger kan Mama Lo nitipin Lo ke Gue?" Sema mengangguk pasrah, menerima setiap suapan dari Desta tanpa protes. Hingga suap terakhir. Desta pun membantu Sema minum.
"Lo beneran berantem sama Haru?" Sema memperhatikan luka lebam yang terdapat pada wajah Desta. Pemuda itu mengangguk singkat menyauti.
"Kapan?"
"Tadi."
"Gara-gara Gue?" Desta menoleh, lalu mengedikkan bahu nya. Ia tidak mungkin mengangguk. Masih punya hati nurani untuk menjaga perasaan orang. Apalagi orang yang sedang sakit.
"Lo ada masalah sama Haru?" Tanya Desta. Sepertinya praduga nya benar, terlihat Sema yang menunduk karena merasakan matanya yang memanas. Bayangan pertengkarannya bersama Haru kembali menghiasi benaknya. Begitu jelas membekas memberi luka baru yang tak tahu kapan sembuhnya.
"Gue bilang mau berjarak sama dia." Lirih Sema. Desta mendengarnya dengan jelas lantaran ruangan ini lumayan senyap. Sedikit dalam dirinya merasa iba.
"Lo nyesel sama keputusan Lo?" Sema mendongak. Butiran kurva yang berusaha ia tahan pecah seketika. Ia buru-buru mengusapnya.
Desta bangkit lalu tiba-tiba meraih tubuh Sema ke dalam dekapannya.
"Desta—"
"Nggak papa, Gue cuma bakal meluk Lo." Sema terkejut, apalagi dengan Desta yang tiba-tiba memeluknya seperti ini. Hangat, dan nyaman. Sema perlahan mulai terbuai untuk menumpahkan semuanya di dada bidang pemuda itu. Gadis itu terisak, bahu nya bergetar seiras dengan usapan lembut yang pemuda itu berikan kepadanya.
Mereka diam selama beberapa saat. Saling terlarut dalam pikiran dan detak jantung yang tidak normal. Sema mendengarnya keras, tapi gadis itu memilih abai, ia masih menangis dalam dekapan hangat seorang Desta. Dekapan yang bahkan tak pernah Sema bayangkan akan ia dapatkan dari pemuda yang dulu selalu terlihat mengabaikannya. Bahkan pemuda itu tak peduli sekalipun melihat Sema di-bully.
Desta membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Menepis logika yang mati-matian menyalahkan perbuatan Desta. Desta tak ingin terjun sejauh ini, tapi setiap ia mencoba tak peduli, bayang-bayang itu terus ada.
Jadi, mungkin sekarang biarkan Desta terlibat jauh.
Menyadari isak Sema sudah mereda, Desta hendak melepaskan pelukannya namun tangan Sema yang juga memeluknya menahan. "Biar gini dulu sebentar, wajah Gue jelek." Desta mengangguk, memilih bertahan pada posisi berdirinya dengan Sema yang berada di pelukannya.
Klek.
Sema dan Desta membeku, keduanya kompak menatap ke arah pintu. Tepat dimana seseorang juga tengah menatap keduanya tak percaya.
"Haru?"
Haru terkekeh sinis. "Jadi ini alasan Lo pengen berjarak sama Gue?" Setelahnya pemuda itu keluar begitu saja setelah membanting pintu lumayan keras.
Dan setelahnya tangis Sema kembali pecah.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [END]
Fiksi RemajaEmpat hati yang terjebak dalam kisah rumit asmara masa remaja. Sema, gadis pemula dalam cinta. Yang ia tahu ia mencintai satu orang dalam hidupnya. Tapi itu dulu, jauh sebelum ia sadar terjebak dalam romansa rumit. Haru, baginya menjalin hubungan...