33. Makan malam

15 2 0
                                        

Sudah sejak dua puluh menit yang lalu gadis itu bergerak gelisah. Sekalipun terlihat mencoba membuat ekspresinya sebiasa mungkin. Duduk di depan rumah saja sudah aneh menurutnya. Atensinya kesana-kemari, memeta komplek perumahan yang sepi dengan pagar yang terbuka.

Sema jenuh, tangan kanannya ia buat menumpu kepala. Agaknya Desta memang benar-benar tak datang. Ia menoleh masuk, memperhatikan meja makan yang penuh dengan makanan matang. Mama nya masih berkutat di dapur membuat kue. Kalau sampai Desta benar-benar tak datang, ia pasti akan membunuh pemuda itu besok.

Anggapan Sema pudar saat melihat mobil berhenti tepat di depan rumah. Matanya membulat, tidak mungkin Desta yang tadi berangkat sekolah menaiki motor kini ke rumahnya menaiki mobil. Lagipula mobilnya kan masih berada di bengkel, Sema lihat sendiri kemarin.

Tapi argumennya terpecah kembali saat menyaksikan seseorang yang keluar dari mobil tersebut. Sontak saja Sema kembali masuk ke dalam cepat-cepat. Lalu membuat gerakan membuka pintu senatural mungkin agar terlihat seperti memang baru keluar.

Ia membeku diambang pintu, netranya menangkap dua orang tengah mengampit Desta yang tersenyum canggung.

"Desta nya udah dateng ya—" Sema terkejut saat Mama nya tiba-tiba muncul dari arah belakang. Wanita paruh baya itu pun tak kalah terkejut. Mematung dengan apron dan sarung tangan oven di kedua tangannya. Keadaan hening beberapa saat.

"Maaf Tante, Desta bawa Mama Papa." Sema membulatkan matanya sementara dua orang di kanan kiri Desta tersenyum. Dibalas senyuman serupa oleh Mama Sema.

Sema menatap Desta seolah bertanya, sedangkan pemuda itu malah mengedikkan bahu nya. Sema lihat Desta masih memakai seragamnya walaupun tertutup jaket, sedangkan orang di samping kanan Desta menenteng jas putih, seperti jas dokter. Sedangkan sang wanita dengan pakaian rapi.

Mama Desta, atau Arina kini memberikan bungkus yang ia bawa kepada Mama Sema, Ria. Sedangkan Dokter Tama menyapa dua orang itu.

"Katanya Desta diundang makan malam ya? Desta nya jarang kumpul sama orang baru, jadi dia minta ditemenin sama Mama Papa nya. Eh nggak tau nya ternyata makan malam di rumah si cantik ini." Sema terkekeh canggung sementara Desta mendelik. Kalau di sampingnya bukan orang yang membuatnya hadir di dunia ini sudah Desta teriaki sedari tadi. Hey! Siapa yang minta ditemani. Bukannya mereka yang memaksa ikut? Padahal Desta pulang hanya ingin mandi dan ganti baju. Lihat, orang tua nya saja belum sempat mandi. Baru sekali pulang.

"Maaf ya, kita jadi ngerepotin." Kali ini Arina yang bersuara. Ria kembali tersenyum. Kini mempersilahkan mereka masuk dengan lapang sembari berkata. "Nggak apa-apa, Saya juga udah masak banyak. Tadinya mau dibungkus buat dibawa pulang Desta, eh tau nya Desta bawa Mama papa nya. Jadi tambah rame." Ucap Ria. Ia membuka pintu lebar-lebar. Lalu memanggil suami nya.

"Iya nih, kayak mau lamaran." Ucap Tama, pria itu masuk diikuti Arini, istrinya.

Sementara dua sejoli berbeda gender itu masih diluar. Desta menggaruk tengkuknya. "Jangan pikirin ucapan bokap Gue." Sema terdiam. "Lo nggak marah kan? Gue udah dateng nih, baru banget pulang les." Ucap Desta lagi saat melihat Sema terdiam.

"Sema?"

"Hah?" Desta menghela napas. "Ayo masuk." Ucapnya. Sema memicing. "Heh bukannya kebalik Desta!" Gadis itu menutup pintu mengikuti pemuda itu.

Keduanya berhenti sejenak, memperhatikan tiga orang yang tengah duduk mengobrol santai sembari tertawa. Secepat itu?

Secepat itu Papa Sema—Juna—akrab dengan orang tua Desta. Terlebih Tama yang terlihat sangat sefrekuensi dengan Papa Sema. Sema dan Desta saling menatap, berkomunikasi lewat tatapan.

"Kenapa kalian berdiri disitu? Ayo duduk." Ria dari arah dapur meletakkan kue yang sudah dipotong sebagai pelengkap menu kali ini. "Tadi saya kira Desta beneran mau ngelamar cewek." Pak Tama masih serius bergurau dengan pak Juna membuat para istrinya geleng-geleng kepala. Apalagi wajah Desta yang sekarang Semerah telur balado Mama Sema. Dari wajah hingga ke telinga, rasanya Desta ingin menghilang tertelan bumi saja kalau begini.

Sema pun tak beda jauh keadaannya dari Desta. Gadis itu sedari tadi diam. Sesekali tersenyum saat Arini mengajaknya bicara. Sumpah, besok ia harus berbicara dengan Desta empat mata!

Ria kini telah duduk di samping suaminya. Mereka mulai sesi makan malam ini dengan Tama dan Juna yang mendominasi. Mencairkan suasana walaupun pada akhirnya Desta yang kena.

"Saya mau ngucapin terimakasih banget sama Desta. Udah bantuin Sema, kalo nggak ada Desta kita nggak tau lagi ya Pa." Ria menatap kedua orang tua Desta.

"Iya, saya nggak tau ternyata anak saya nekat juga. Sampe nyamperin saya ke ruangan cuma buat meriksa Sema yang hipotermia ringan. Saya kan dokter spesialis penyakit dalam. Tuh anak seumur-umur nggak pernah mau menginjakkan kaki ke ruangan saya kalo nggak bener-bener butuh." Desta membulatkan matanya. "Pa!" Semuanya sontak tertawa dengan aksi salah tingkah dari Desta. Wajah pemuda itu semakin memerah saat melihat Sema melihatnya penuh tanya.

"Aduh ngerepotin Desta dan Anda banget ya." Juna menimpali.

"Malah kita yang harusnya terimakasih, ya kan Ma? Saya pikir anak saya belok. Ternyata masih suka perempuan." Sekarang Desta tak peduli dosa. Pemuda itu terus mengumpati ayahnya dalam hati. Ia rasanya benar-benar ingin menghilang sekarang. Apalagi saat Arina mengangguk mantap membicarakan anak semata wayangnya itu.

Sabar Desta, itu orang tua mu—batinnya.

"Ayo Pa, udah malem kita pulang. Desta banyak tugas." Pemuda itu menyudahi aksi makannya.

"Loh, bukannya tadi kamu bilang pulangnya malem jam dua belas?" Desta merutuki diri. Pulang jam dua belas cuma alasan agar orang tua nya tak jadi ikut.

"Papa kan belum mandi, mama juga. Ayo pulang." Ujar Desta. Melihat anaknya memelas seperti itu membuat Arina tidak tega. Lagipula makannya memang sudah selesai. Ia menyenggol lengan Tama.

"Maaf pak Juna, anak saya rewel mau pulang. Kapan-kapan kita main bulutangkis bareng ya pak? Nanti saya share lokasi nya." Pak Tama langsung berdiri diikuti Juna. Keduanya bersalaman ala bapak-bapak. "Tentu pak Tama, saya udah lama nggak main Bulutangkis. Apalagi mainnya sama calon besan yakan?" Sekarang Sema yang malu. Apaan nih? Kenapa Papa nya juga ikut-ikutan.

Ke-empat orang tua itu tertawa bersama. Lantas orang tua Sema beserta putrinya mengantar Desta dan orang tua nya keluar.

"Kapan-kapan gantian ya? Kalian yang makan malam di rumah kami." Ucap Arina. Ia mengusap pipi Sema sekilas sebelum berpelukan dengan Ria. "Tentu saja." Balas Ria.

Ketiganya memasuki mobil, hingga perlahan membaur dengan jalanan.

SEMESTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang