10.Kehilangan

1.2K 80 1
                                    

Aku menatapi punggungnya yang menjauhi dapur memasuki kamarnya tanpa kata.
Dia memang seperti itu, tapi terus terang aku lebih nyaman dengan sikap dinginnya daripada sikap aneh nya semalam.
Pergelangan tangannku masih terbalut perban semalam , pikiranku melayang ke satu tempat nun jauh disana.
Suara mobil Lio sudah menjauh dari tadi meninggalkan rumah tanpa pamit seperti biasa. Aku mengembalikan bahan makanan kekulkas seperti sediakala, menduduki kursi pantry dengan kepala yang penuh dengan pertanyaan.

"Nak pulang ya , si mbok gak mau kamu keluyuran gak jelas juntrungannya lagi . Diluar itu bahaya buat gadis kayak kamu. Si mbo janji semua akan lebih baik .Pulang ya ".

"Kapan pun kamu bisa memberitahukan keputusan mu pada Lio, Saya tidak akan mencampuri itu"

Dua kalimat itu terus berseliweran dikepala ku dengan silih berganti. Wajah memelas si mbok ikut membuat hatiku goyah. Si mbo memang menjanjikan ku keadaan yang lebih baik dari semula namun "lebih baik" bukan lah hal yang ingin ku alami lagi. Terlebih kondisi kesehatan si mbo tidak dalam keadaan yang bagus. Di satu sisi kesepakatan antara Anton dan dirinya telah berakhir sedangkan diri ini belum mempunyai rencana bagaimana melanjutkan hidup. Karena selama ini aku tidak pernah memikirkan kelanjutan setelah ini.

Dering handphone jadul milik ku mengejutkan ku dari lamunan, nomor semalam kembali menelponnya.

"Halo kak ....".
"Alu,, dengerin aku jangan panik dan tetap tenang. Sekarang kamu bersiaplah ke rumah sakit. Kakak nunggu kamu diloby, jangan banyak berpikir oke".
Jantung ku sudah seakan melompat dari rongga dada. Gelombang Khawatir segera menyerang ku seketika. Tanpa berganti pakaian aku segera melesat keluar berbekal dompet dan hp yang hanya ku selipkan disaku celana bahan pendek.
Memberhentikan taksi yang kebetulan melintas dihadapanku. Menyebutkan alamat RS tujuanku selebih nya hanya berdiam diri dengan kepala yang sibuk memikirkan segala kemungkinan buruk yang ada.
Taxi memasuki pelantaran utama rumah sakit, aku langsung melompat keluar mobil tanpa menghiraukan supir taxi yang mengingatkannya tentang uang kembalian .
Frans sudah menunggunya dilobi dengan wajah cemas yang berusaha ia tutupi.
"Yuk ikut aku..".
Aku mengikutinya tanpa banyak bertanya, memasuki lift menelusuri lorong demi lorong lalu berhenti didepan pintu kamar inap ini. Frans masih menggenggam erat tangan ku sejak tadi , tangan besarnya terasa hangat namun kehangatan yang terasa menyedihkan bagiku.
Frans sekali lagi menatapi ku dengan sedih lalu mendorong pintu dengan perlahan.
"Yang kuat, bik Srinti mau ketemu kamu".
Bisikan Frans terdengar samar saat mataku menemukan sosok penguatku terbaring lemah dengan alat bantu kesehatan terpasang ditubuhnya.
Matanya terpejam rapat dengan napas yang terdengar lemah .
Aku mendekatinya perlahan, airmata ini perlahan menuruni pipi hati ini remuk seketika melihat kondisinya. Tangannya terlihat sangat lemah terbalut tulang, padahal terakhir kali ia melihatnya tidak dalam kondisi seburuk ini atau aku yang tidak menyadari ..?.
Aku menggenggam erat tangannya yang terkulai dengan jarum infus terpasang disana. Aku tak bisa menahan isak tangisku lagi, aku menangis diatas lutut berusaha meredam isak tangis yang tak tertahan ini. Sedangkan tangan ini masih menggenggam erat tangannya yang terasa dingin ditelapak tanganku.
Aku tidak ingin mengakui perasaan akan sebentar lagi perpisahaan yang ku benci tidak terelak kan . Penyesalan semakin dalam merejam hati ku ,kenapa tidak menyadari kalau Mbo dalam kondisi sakit keras.
Tangan itu perlahan juga menggenggam tanganku yang masih menangis sesengukan .
"Alu..... Mbo..nunggu Alu....".
Aku bangkit berdiri mendengar suara samar nan lemah terhalang alat bantu pernapasan.
"Iya mbo Alu ..udah datang... Maafin Alu....hikss..maafin Alu...".
Si mbo tersenyum hangat, aku menghapus airmata yang menghalangiku untuk melihatnya jelas.
"Si mbo seneng .......,anak gadis si mbo datang..... ".
Air mataku jatuh satu per satu walaupun berkali kali sudah ku hapus ,aku tidak ingin si mbo melihatku sedih.
"Sini... Si mbo mau...peluk anak si mbo....".
Aku segera memeluknya erat ,
"....Alu... Jangan nangis ... Lagi yahh.. Alu harus ... Bahagia mulai sekarang...maaf....".
Napas nya semakin melambat, aku benar benar takut menghadapi perpisahaan ini sungguh sungguh merobek hatiku.
".... Si mbo hanya .... Ingin.... Alu pulang yahh.. ".
"Iya mbo.. Alu akan pulang si mbo jangan cemasin Alu lagi, Alu janji akan bahagia mulai sekarang".
Aku menciumi nya dengan wajah penuh airmata memeluknya untuk terakhir kali. Aku bisa merasakan senyumnya mengembang pelukan dan elusan dipunggungku perlahan melemah . Alat pantau jantungnya mengeluarkan suara datar dan tajam, aku masih memeluknya erat enggan melepasnya walaupun aku tahu tubuh yang ku peluk sudah tak bernyawa.
Suara dokter mengumumkan waktu kematian merobek hatiku hingga berdarah. Satu satunya tempat ku pulang sudah tidak ada lagi .
Seseorang berusaha untuk menguatkan ku entah siapa aku tidak perduli, aku hanya ingin mengingat suara, aroma dan kehangatan yang semakin memudar dipelukan ku untuk terakhir kali.
"Alu janji untuk bahagia si mbo istirahatlah yang tenang .Makasih udah banyak mengajarkan Alu akan kasih sayang seorang ibu dan kehangatan keluarga yang sesungguhnya. Maaf Alu banyak ngecewain Si mbo sampe si mbo sakit pun Alu gak tahu. Alu akan tepatin janji untuk pulang".

Jarum jam sudah menunjuk pukul enam sore saat aku menginjakan kaki diruang tamu.
"Hmmm bagus ya.. jam segini baru pulang. Keluyuran kemana lagi kamu ?".
Sindiran tajam menyambutku segera. Seperti biasa ku abaikan saja pria itu yang terlihat masih mengenakan baju kerja nya pagi tadi.
Lenganku disentak dengan kasar hingga tubuh ku tersentak mundur dan membentur Lio dada yang sedang emosi.
".. Bagus ya ditanya malah cuekin . Kamu pikir ini hotel seenaknya kamu pulang dan pergi tanpa kabar ?".
Aku menatap kosong padanya ,sekarang aku benar benar tidak ingin berbicara dengan siapapun apalagi bertengkar. Emosi dan tenaga ku benar benar terkuras habis untuk melalui hari ini pun aku gak yakin bagaimana apalagi meladeni emosi Lio yang meluap seperti biasa .
"... udah Pinter ya sekarang, pulang udah ada yang anterin ... Bahkan sempat belanja baju bareng juga".
Aku menutup mataku lelah, memang pakaian serba hitamku ini akan membuat siapapun salah paham. Tapi aku benar benar tidak berniat untuk menjelaskan apapun.
".... Merek pun udah pinter milih yang mahal. Sedangkan rumah gak keurus saking keasyikan pacaran".
"Udah selesai...?".
Mata Lio menyipit semakin marah terprovokasi oleh pertanyaan singkat yang sama sekali tidak bermaksud begitu. Kepala ku benar benar sakit dan aku hanya ingin cepat berbaring ditempat tidur.
"Bangsat... Udah selesai ...? BELUM...".
teriakan penuh emosi Lio menambah denyutan dikepala ku semakin terasa menyakitkan.
"Kita bisa bahas ini nanti.Aku gak bisa ngomong sama orang emosi".
Aku berniat memutar tubuhku untuk pergi dari hadapan pria yang siap mengamuk ini.
"Nanti....? Enak aja. Kamu abis ngapain sampe gak punya tenaga gitu".
"Aku bukan kamu yang seenak hati berganti ganti pasangan diluaran".
"Oh iya... ? Perasaan aku gak ada nyinggung soal itu. Rasa bersalah emang menakutkan ".
"Aku gak perlu jelasin apapun sama kamu".
"Kenapa... ? Kamu udah ketemu yang kamu suka diluar terus seenak hati ngebuang aku gitu...?".
Aku berlalu meninggalkannya yang masih mencak mencak penuh emosi. Menutup pintu tepat didepan wajahnya yang menyusuli ku dari belakang. Tak kuhiraukan Gedoran dan teriakan penuh makian diluar kamar.
Merebahkan diri adalah hal yang paling ingin ku lakukan sekarang. Airmata pun masih setia menuruni pipiku walaupun wajah ini sudah sembab dengan mata yang mulai membengkak karena terlalu banyak menangis . Namun sakitnya kehilangan membuatku tidak memperdulikan apapun lagi .Aku hanya jngin sendirian ,meratap dan menangis sepuasku hingga rasa sakitnya berkurang .

CINTA KADALUARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang