Dua, White coffe special

7.4K 632 5
                                    

Selamat membaca!

Mari tebarkan cinta dengan menekan tombol vote dan beri komentar di setiap paragraf!

🐻🐣🐿🐇🐢

Lalisa melajukan vespa butut kuningnya dengan kencang mengingat ia sudah hampir terlambat. Helaan panjang itu terdengar saat ia berhasil sampai ke loker karyawan tanpa terlambat. Ia segera mengambil celemek berwarna hitam. Kontras sekali dengan kemeja cokelat polosnya yang berlengan pendek. Ia mengikat rambut lalu menjepit poni panjangnya. Setelah dirasa rapi ia bergegas menuju dapur tepatnya pada bagian barista.

"Apakah saya terlambat ahjussi?" tanyanya pada kepala dapur.

"Tidak, tapi pesananmu sudah banyak nak," kekehnya sambil mengelus kepala Lalisa. Pria berumur itu sudah menganggap Lalisa sebagai anaknya sendiri. Namun, tetap saja dia profesional jika Lalisa melakukan kesalahan.

Lalisa melihat ada sepuluh cangkir kopi yang dipesan dengan menu yang sama yaitu white coffee special, satu-satunya menu yang hanya bisa di racik oleh seorang Lalisa.

Pernah waktu Lalisa tidak masuk dan rekan kerjanya mencoba meracik menu tersebut dan berakhir komplain massal karena rasanya tidak sama meskipun sama-sama enak. Lalisa mampu membuat sentuhan yang berbeda. Sejak saat itu, pemilik restoran hanya menugaskan Lalisa untuk meracik menu tersebut, tidak untuk yang lain mengingat permintaan menu tersebut yang semakin bertambah.

Pesanan terakhir white coffee special sudah diselesaikan dengan baik oleh Lalisa. Ia akhirnya duduk setelah tiga jam berdiri di depan mesin kopi. Lelah pastinya, namun ia sangat menyukai pekerjaannya. Sayangnya, bertepatan dengan itu, anak pemilik restoran masuk ke dalam dapur. Sungguh sebuah petaka untuk Lalisa.

"Selamat malam semuanya," sapanya ramah.

"Malam nona," mereka menjawab sapaan itu sambil tersenyum dan membungkuk lalu melanjutkan aktivitasnya kecuali Lalisa. Dia enggan hanya untuk sekedar menoleh.

"Lalic," ujarnya lembut sambil menggandeng lengan Lalisa. Dia adalah satu-satunya orang yang memanggil Lalisa dengan panggilan berbeda. Lalisa segera melepas gandengan itu dan berdiri, beralih membantu koki menyiapkan sayuran.

"Bukannya appaku tidak mengizinkanmu melakukan hal lain selain meracik menumu?" tanyanya kesal setelah diabaikan oleh Lalisa.

Lalisa yang mendengar kata "appa" keluar dari bibir Chaeyoung segera menghentikan kegiatannya lalu kembali ke meja baristanya. Duduk dengan tenang menghadap mesin kopi. Jika sudah keasyikan bekerja, ia kadang lupa jika Chaeyoung adalah anak pemilik restoran. Jika boleh memilih, ia akan memilih keluar dari sini dan mencari pekerjaan lain. Sayangnya kontrak kerjanya sudah ia tandatangani sebelum ia mengetahui jika restoran ini milik keluarga park. Lagi pula ia tak mampu membayar denda jika harus keluar dari sini.

"Kita perlu bicara," ujar Chaeyoung setelah berdiri di samping Lalisa.

"Saya sibuk nona," jawabnya sambil menatap Chaeyoung penuh hormat.

"Berhenti bersikap formal padaku! Aku ini temanmu bukan atasanmu!"

"Tapi Anda adalah anak atasan saya," jawabnya dengan senyum palsu.

"Oke. Kalau begitu, saya sebagai anak atasan Anda, memerintahkan Anda untuk berbicara empat mata dengan saya," ujarnya ketus sambil menarik paksa tangan Lalisa untuk keluar ruangan. Namun, semua itu terhenti saat pelayan membacakan pesanan yang harus disiapkan.

"Satu porsi mandu, satu porsi chicken, satu gelas es teh, dan satu botol air mineral serta satu cangkir white coffe special. White coffenya di bungkus ya kak. Meja 16."

When POISON Becomes MEDICINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang