Empat dua, Luka lama

4K 430 11
                                    

Selamat membaca!

Mari tebarkan cinta dengan menekan tombol vote dan beri komentar di setiap paragraf!

🐻🐣🐿🐇🐢

Jennie mengusap peluh akibat uap panas menerpa wajahnya berkali-kali. Ia memindahkan mie yang sudah matang ke beberapa mangkok sesuai dengan porsi yang sudah di tentukan. Tangannya dengan lihai meracik bumbu dan menuangkannya ke mangkok secara merata.

"Eomma, tambah lima porsi ekstra pedas," ujar seseorang yang baru memasuki dapur. Setelahnya ia keluar sambil membawa empat mangkok ramen yang sudah Jennie dan eommanya siapkan.

Sang eomma tersenyum lalu mengangguk semangat. Hari ini kedai mereka lumayan ramai. Hampir semua kursi penuh dan ia sangat terbantu dengan kehadiran Jennie.

Waktu itu, pagi-pagi buta, ia melihat Jennie termenung sendirian di depan kedainya yang belum buka. Karena merasa kasihan, ia menyuruh Jennie untuk masuk. Terlebih, cuaca lumayan dingin untuk seseorang yang keluar rumah hanya dengan menggunakan piyama dan sandal rumahan.

Jennie tak banyak bicara. Ia juga hanya beralasan ingin mencari udara segar saat ditanya kenapa keluar rumah sepagi ini. Tapi yang terlihat bukanlah seperti yang Jennie katakan. Ia bisa melihat Jennie yang menggigil dan ini masih terlalu pagi untuk mencari udara segar.

Setelah teh hijau hangat terhidang, ia memberanikan diri untuk bertanya apakah Jennie memiliki masalah yang ingin diceritakan. Bukan berniat untuk ikut campur, ia hanya berfikir jika mungkin Jennie butuh seorang pendengar.

"Saya ingin bekerja tapi saya tidak tau harus melakukan apa."

Pengakuan itu lumayan membuatnya terkejut. Dilihat dari penampilannya, ia bisa menilai jika Jennie berasal dari keluarga kaya. Ia sedikit tahu berapa harga merk piyama dan sandal Jennie dan itu tidak murah. Cukup lama ia bertanya tentang seberapa besar keinginan Jennie untuk bekerja sampai akhirnya ia menawarkan Jennie untuk bekerja di kedainya. Jennie tentu langsung mengiyakan tawarannya dengan antusias.

"Ahjuma, apa sebaiknya aku membantu Minji?" tanyanya saat melihat sekitar dua puluhan mangkuk ramen yang telah terhidang belum dikeluarkan.

"Ne, bantulah dia."

"Eomma, tambah dua porsi tidak pedas," ujar Minji kembali masuk. Ia tersenyum pada Jennie sebelum Jennie keluar membawa dua mangkok ramen.

Jennie menuju meja nomor sepuluh di dekat pintu. Ia meletakkan pesanan pelanggannya sambil tersenyum ramah. Bersamaan dengan itu, suara lonceng pintu berbunyi pertanda ada pelanggan datang.

Setelah pelayanan meja nomor sepuluh selesai, Jennie hendak mencari meja pelanggan yang baru datang namun sebuah suara membuat jantungnya berdegup kencang.

"Jennie?"

Ia menggelengkan kepalanya saat orang yang paling dihindarinya berdiri di hadapannya. Rasa sakit hatinya kembali mencuat hingga air matanya luruh begitu saja. Kakinya melangkah mundur dengan tergesa. Ia hendak kembali masuk ke dapur namun tangan itu berhasil menahannya.

"Jennie-ya mianhe, beri aku waktu untuk bicara," ujarnya dengan penuh penyesalan. Ia terisak sambil menggenggam lembut tangan Jennie.

Jennie langsung saja menghempas tangannya. "Berhentilah! Aku tidak ingin membuat keributan di tempat kerjaku!"

"Unnie ada apa?" Minji yang kebetulan keluar mendadak panik ketika melihat Jennie yang menangis.

Jennie hanya menggeleng pelan sambil menghapus air matanya. "Aku di dapur saja."

When POISON Becomes MEDICINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang