34 || Memory

3.6K 293 18
                                    

HOURGLASS




Kelopak mata indah Jaemin terbuka saat merasakan nyeri di bagian perutnya. Semalaman penuh Jaemin menangis sampai tidak menyadari jika dia tertidur beralaskan lantai yang dingin.

Pandangan Jaemin mengedar ke sekelilingnya dan terdiam sejenak setelah perlahan demi perlahan ingatannya tentang apa yang telah terjadi semalam mulai kembali memenuhi pikirannya.

"Apa Jeno belum pulang?"

Satu kalimat yang spontan keluar dari bibirnya. Kekhawatirannya pada Jeno muncul karena nalurinya. Benar kata orang, sebesar apapun seseorang menorehkan luka di hati orang lain, naluri tetap akan bekerja sesuai pada kenyataannya.

Jaemin mencintai Jeno dan itulah kenyataannya. Meski Jeno telah melukai perasaannya, Jaemin tetap memiliki kepedulian pada suaminya itu.

Dengan sedikit paksaan, Jaemin berusaha untuk bangkit dan keluar dari kamarnya. Keadaan sangat sepi dan itu sudah cukup meyakinkan Jaemin jika memang suaminya belum pulang.

"Shhh..." Jaemin meringis saat kejutan nyeri tiba-tiba kembali menyerang perutnya.

"Kau pasti kedinginan, maafkan Bunda ya?" Jaemin mengusap pelan perutnya sambil mencoba berbicara pada janinnya.

Jika saja ada seseorang yang bersama dengan Jaemin saat ini, orang itu pasti akan mengatakan bagaimana pucat dan kacaunya Jaemin sekarang ini.

Pertengkaran hebat dan juga menangis semalaman sudah cukup untuk menguras tenaga Jaemin. Wajah sembabnya pun masih kentara dengan jelas.

"Sayang, tolong jangan marah sekarang ya? Bunda bisa pingsan kalau kamu marah terus begini." Jaemin mencoba memberi pengertian yang sudah pasti akan sia-sia saja.

Jujur saja, nyeri kali ini Jaemin tidak mampu menahannya lebih lama lagi. Tubuhnya sangat lemas dan perutnya juga belum terisi apapun sejak kemarin, Jaemin tidak memiliki tenaga untuk menahan nyeri pada perutnya lebih lama lagi.

Helaan napas Jaemin keluarkan sebelum mulai melangkahkan kakinya untuk menuju ke dapur. Setidaknya Jaemin harus makan sesuatu agar anaknya tidak ikut tersiksa.

Saat melewati ruang kerja milik Jeno, langkah Jaemin terhenti. Keningnya sedikit mengerut melihat pintu ruang kerja yang selalu tertutup rapat itu kini terbuka meski hanya sedikit.

"Jeno?" Gumam Jaemin.

Jaemin memutuskan untuk menghampiri ruang kerja Jeno. Keheranannya semakin menjadi saat ruang kerja milik Jeno minim pencahayaan.

Tanpa keraguan, Jaemin mendorong pintu ruang kerja milik Jeno agar terbuka semakin lebar. Kakinya ia bawa untuk melangkah masuk dan menghidupkan lampu ruangan.

Tak membutuhkan waktu lama, Jaemin langsung dibuat terkejut melihat beberapa foto yang terpajang di dinding ruang kerja Jeno. Tubuhnya terpaku di tempat saat melihat satu bingkai foto yang berukuran paling besar.

Foto Jeno saat masih remaja, menggunakan seragam sekolah dan tersenyum lebar bersama dengan sosok di sampingnya yang tak lain adalah Jaemin.

Kejutan yang sangat tak terduga. Tubuh lemas Jaemin kembali dibuat syok. Beberapa pertanyaan mulai bermunculan di pikirannya.

"Ba-bagaimana bisa?" Gumam Jaemin.

Pandangannya pun mengedar, beberapa foto keluarga dan kebanyakan foto yang terpajang adalah foto Jeno bersama dengan dirinya.

"KAU TIDAK TAHU BAGAIMANA RASANYA MENYAYANGI SESEORANG YANG BAHKAN TIDAK MENGINGATMU SAMA SEKALI!"

Ucapan Jeno kemarin langsung terngiang di pikiran Jaemin.

Hourglass (NOMIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang