46. Tertangkap

88 20 5
                                    

Suasana mencekam bisa dirasakan Nana, sejak tadi pak Angga masih berdiri menggenggam erat linggis di tangannya, pak Angga terus mengetukan linggis itu ke lantai, seolah sedang mengancam Nana.

Nana menelan ludah, hal itu memang cukup membuatnya sedikit takut tapi Nana juga tidak ingin mengalah, tidak peduli apa yang akan terjadi padanya, pak Angga harus dihentikan.

"Apa aku perlu menceritakan seperti apa cara saudara kembar-mu itu mati?" Tanya pak Angga datar,

Nana terus diam menatap pak Angga, ini yang sejak tadi ia tunggu, Nana harus mendapatkan rekaman pengakuan dari pak Angga, bahkan kalau bisa Nana ingin membuat pak Angga melepaskan topeng hitamnya itu.

Melihat Nana yang diam, pak Angga kembali tertawa, tapi hanya sebentar, setelah itu pak Angga kembali diam, menatap Nana tajam dari balik topengnya.

"Hana mengatakan tidak takut mati, aku sudah memberinya kesempatan untuk memohon tapi Hana juga menolaknya, ia mengatakan lebih baik mati daripada memohon padaku. Hana bahkan mengepalkan tinju kecilnya, sepertinya saat itu dia berpikir sanggup melawanku, pada akhirnya saudara kembar-mu itu juga tetap jatuh mengenaskan, aku tidak memerlukan tenaga yang banyak untuk mendorongnya." Cerita pak Angga yang terdengar sangat bersemangat, menceritakan peristiwa itu membuat pak Angga kembali teringat wajah ketakutan Hana dan itu membuatnya merasa senang.

Nana mengepalkan tangan menahan emosi, Nana benar-benar benci mendengar cara pak Angga menceritakannya.

"Jadi apa sekarang aku bisa bertanya? Seperti apa saudara kembar-mu itu mati? Apa Hana yang malang itu menyampaikan pesan padamu agar membalas dendam padaku? Usahamu tetap akan sia-sia, kamu justru akan berakhir lebih mengenaskan, kali ini aku bisa membuat mayatmu tidak ditemukan siapapun." Pak Angga kembali bicara,

"Apa pak Angga berencana menyembunyikan mayatku sama seperti mayat semua perempuan yang data-datanya ada di dalam kamar pak Angga?" Tanya Nana terus menatap pak Angga tajam,

"Itu juga ide bagus." Jawab pak Angga yang kembali tertawa,

"Apa mayat mereka semua disembunyikan di dalam kamar pak Angga? Dibalik pintu coklat itu?"

Pak Angga tiba-tiba berhenti tertawa, lalu menatap Nana sangat tajam, Nana tersenyum miring melihat reaksi pak Angga.

"Sepertinya tebakanku benar, dan satu-satunya yang tersisa adalah kak Laura, kakaknya Tamara." Ucap Nana sambil tersenyum sinis,

Pak Angga diam mendengarkan, tangannya semakin menggenggam erat linggis di tangannya.

"Apa sekarang aku boleh mendapat giliran untuk bertanya?" Nana tetap bersikap santai,

"Silahkan tanyakan pertanyaan terakhirmu, setelah ini kamu tidak akan bisa bicara lagi."

"Apa si topeng hitam itu benar-benar pak Angga?"

Pak Angga melangkah pelan mendekati Nana, Nana diam menunggu, ia tahu, pak Angga bisa saja mengayunkan linggis padanya kapan saja tapi Nana perlu untuk membuat pak Angga membuka topengnya.

"Aku akan memberikan ponsel Hana tapi dengan syarat anda harus melepaskan topeng itu, bagaimana kalau sebenarnya aku salah menebak? Sebelum mati, aku tetap ingin mengetahui siapa pelaku sebenarnya." Nana kembali berusaha,

Pak Angga berhenti melangkah, lalu tiba-tiba memegang topeng yang terpasang di wajahnya, Nana menelan ludah, berharap pak Angga benar-benar akan melepas topeng itu.

Pak Angga akhirnya melepas topeng hitam itu dari wajahnya, lalu melempar topeng hitam itu ke lantai. Walau sudah mengetahui identitas si topeng hitam itu, Nana tetap merasa terkejut, pak Angga benar-benar berdiri di hadapannya, tidak salah mengapa sejak awal Nana memang tidak menyukai pak Angga.

HUBUNGAN (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang