15. Tetap Seperti Nana

78 19 2
                                    

"Hana...."

Nana terbangun dari tidurnya sambil berteriak keras, nafasnya tidak beraturan, mimpi buruk yang sama kembali muncul.

Sejak tidur di kamar Hana ini pertama kalinya mimpi itu kembali menghantui Nana, setelah cukup tenang Nana pikir ia tidak akan bermimpi seperti itu lagi, tapi ia salah, mimpi itu kembali dan rasanya tetap sama menakutkan.

Ibu Lia datang tergesa-gesa sambil membuka pintu kamar Nana dengan cepat, menghampiri Nana yang duduk di atas ranjang sambil mengatur nafasnya, mimpi itu masih berputar dengan jelas dalam ingatan Nana.

"Mimpi buruk lagi?" Tanya ibu Lia khawatir, ia mengusap punggung Nana untuk menenangkannya.

Nana hanya diam, ia tidak perlu menjawab pertanyaan itu, ibu Lia paham Nana pasti masih terkejut dan merasa ketakutan, ibu Lia tidak tega melihat kondisi Nana.

Ibu Lia mengambil segelas air putih yang memang sudah tersedia di meja, lalu membantu Nana untuk minum, setelah Nana selesai meminum habis satu gelas air putih itu, ibu Lia meletakkan kembali gelas yang sudah kosong ke atas meja.

Ibu Lia menatap Nana sedih, masih terus mengelus punggung Nana, Nana menghela nafas pelan, ia sudah merasa lebih tenang. Nana beralih memeluk ibu Lia, menyandarkan kepalanya pada pundak ibu Lia, kembali memejamkan matanya.

Ibu Lia mengelus kepala Nana, berusaha menahan air matanya, meskipun hari berlalu dengan cepat tapi entah mengapa kesedihan itu tidak bisa pergi, terasa seolah akan tinggal selamanya.

"Sudah merasa lebih baik?" Tanya ibu Lia lagi setelah merasa Nana sudah sedikit tenang, sedari tadi ia terus menepuk pelan punggung Nana yang masih memeluknya.

Nana mengangguk lalu melepaskan pelukannya dari ibu Lia, ia menatap ibu Lia lalu tersenyum tipis.

"Terimakasih."

Ibu Lia ikut tersenyum, menggerakkan tangannya untuk merapikan rambut Nana yang sedikit berantakan, waktu yang dihabiskan bersama ketika mereka sama-sama terpuruk kehilangan Hana sudah lebih dari cukup, memang tidak menghabiskan waktu yang banyak tapi ibu Lia sudah menyayangi Nana.

Bukan rasa sayang karena Nana memiliki wajah yang sama dengan putrinya, bukan juga karena Nana membantunya untuk tetap bisa melihat wajah Hana, tapi rasa sayang yang tulus, ibu Lia tidak pernah menganggap Nana sebagai Hana, mereka berdua berbeda, Nana adiknya Hana, jadi ia juga akan memperlakukan dan menyayangi Nana seperti anaknya.

"Ini hari Minggu dan masih jam lima pagi, mau lanjut tidur?" Tanya ibu Lia,

Nana menggeleng, ia merasa tidak akan bisa menutup matanya kembali untuk saat ini.

"Bagaimana kalau olahraga pagi? Kamu bisa jalan-jalan sebentar di taman kota yang tidak jauh dari sini." Usul ibu Lia, ia merasa Nana perlu udara segar agar bisa lebih tenang dan melupakan mimpi buruknya.

Nana berpikir sebentar, Nana tahu letak taman yang dimaksud ibu Lia, hari Minggu seperti ini pasti ada banyak orang yang juga pergi ke taman itu, untuk olahraga pagi atau hanya sekedar jalan santai menikmati keindahan matahari pagi.

Nana lalu mengangguk, menyetujui usul ibu Lia, sepertinya ia memang perlu udara segar, ia sudah terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk berpikir sebelum tidur kemarin, mimpi buruk itu mungkin datang karena dirinya tidak bisa berhenti memikirkan Hana.

"Ibu akan menyiapkan sepeda yang biasa Hana gunakan, kamu bisa menggunakan sepeda itu."

Nana hanya kembali mengangguk sambil tersenyum, menyetujui apapun yang ibu Lia katakan.

"Ibu turun dulu, bersiaplah."

Ibu Lia lalu beranjak dari ranjang dan berjalan keluar kamar.

Setelah ibu Lia keluar sambil menutup pintu kamar, Nana menunduk memegang kepalanya yang berdenyut sakit, ia tidak bisa menghentikan kepalanya untuk terus berpikir.

HUBUNGAN (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang