16 || Gelas yang Kosong

672 220 12
                                    

Aku menggigit kuku jemari tanganku sambil menghentakkan ujung telapak kaki seperti tempo jarum jam yang bergerak.

Aku harus memikirkan sesuatu tentang semua ini. Aku harus mencari jalan keluarnya dengan waktu yang cepat sebab Chris sendirian di luar sana. 

Aku harus berpikir. Aku harus berpikir. Aku harus berpikir.

Kukira dunia sudah berada dalam genggaman kami begitu mereka berhasil membuat dan menguasai lubang cacing. Namun rupanya aku salah. Tidak seratus persen salah, tapi tetap salah.

Dunia tidak pernah seperti apa yang kita bayangkan. Dunia tidak pernah bisa kita kuasai sepenuhnya.

Lubang cacing? Kesempatan? Ini semua variabel atau bagian-bagian dari puzzle. Mereka belum utuh.

Sebab Semesta tetap konsisten dengan kemisteriusannya.

Sementara itu Ran Muda buru-buru mematikan kompor lantas mengusap tengkuk lehernya sambil meringis. Ia memandangi omelette itu—yang berubah warna menjadi kehitaman nan lengket bersama penggorengan—dengan ekspresi penuh kekecewaan. 

Melihatnya, aku jadi ikut mengesah pelan.

"Yah, setidaknya masih ada pasta dan sup taco." Kami bertukar pandang kembali, dan melirik si empunya suara (Jason, tentu saja) dengan sinis (aku saja yang sinis).

Aku mengusap air mata di pipiku lantas berkacak pinggang menghadapi Jason.

Perasaan emosional bisa lenyap begitu saja jika manusia satu itu ada di dekatmu. 

Entah ini hal baik atau buruk, tapi Jason bisa membuatku merasa dunia ini akan terkendali dari respons santai yang diberikan olehnya.

"Itu lelucon yang bagus, Jason." Aku tersenyum simpul dan bergerak maju untuk duduk di kursi meja makan, lalu mengusap kepala. Lelah memikirkan ini semua. "Seandainya Chris bisa mendengar leluconmu tadi. Itu akan lebih bagus," lanjutku dengan suara pasrah.

Perasaan emosional itu kembali lagi dalam waktu sepersekian detik.

Perasaan tidak berdaya dan takut akan sesuatu yang sudah Semesta rencanakan.

Setelah menelan satu piring pastanya, Jason mengambil segelas minum dan menegak air itu sampai tandas.

Ia sedikit bersendawa, tapi kemudian mengatakan, "Kita punya lubang cacing, ingat? Kita yang pegang kendali. Dan kita bisa melewati ini, seperti yang sebelum-sebelumnya. Chris akan kembali. Aku yakin itu."

"Ini bukan tentang lubang cacing. Ini perkara frekuensi, Jason." Aku mengangkat kepala dan menggeleng-geleng ke arah laki-laki itu. "Ini soal suatu tempat yang kita tidak ketahui. Tentang bagaimana kita bisa menjemput Chris, jika kita saja tidak mengetahui ia ada di frekuensi mana?" Lantas aku mengembuskan napas berat dan menidurkan kepala di lipatan tangan pada permukaan meja.

"Ini misi bunuh diri," ucapku lagi.

Kudengar langkah kaki Ran Muda bergerak maju ke arah kami dengan yakin.

Ia menyentuh pundakku, lalu berkata hati-hati, "Sejak awal, ini semua memang misi bunuh diri. Aku yang tiba-tiba pindah frekuensi begitu saja, lalu aku dari masa depan yang menciptakan lubang cacing, dan aku yang mengambil kalian semua untuk bahan percobaan. Maaf, kukira semuanya tidak akan sejauh ini."

Aku menegakkan tubuh lagi lalu segera memerhatikan ekspresi Ran yang penuh penyesalan. "Tidak, tidak, aku tidak menyalahkanmu saat ini."

"Iya, tapi seandainya aku tidak ...." Ran Muda menggeleng-gelengkan kepala sambil menyentuh keningnya.

Sementara itu sejak tadi Jason tercenung, ia diam sendirian. Sibuk dengan isi kepalanya.

Jarang-jarang Jason berpikir lama sekali ... sampai ia mendadak memecahkan gelembung fokus kami. "Hei, kalau begitu semuanya baru dimulai."

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang