32 || Harapan

350 131 0
                                    

Sekarang sudah hari ke berapa ya, sejak aku meninggalkan rumah? Bagaimana keadaan danau-danau di Minnesota? Apakah masih membeku karena suhu dinginnya yang tidak karuan? Atau teriknya matahari sudah melelehkan semuanya?

Aku merindukannya. Aku merindukan semua kehidupan-kehidupan tenang itu. Mungkinkah menjalani kehidupan sederhana tanpa dibebani ekspektasi banyak orang, adalah hak istimewa yang tidak lagi bisa kumiliki?

Ah, lagi-lagi ia muncul--perasaan-perasaan yang mengganggu itu. Menyebalkan, selalu saja seperti ini.

Maka aku menggelengkan kepala, berharap semua pikiran tadi bisa segera keluar dan tidak mengganggu fokusku di sini. Itu semua karena aku tidak bisa menjadi dramatis dalam kondisi-kondisi sekarang. Tidak boleh.

Aku memang merindukan rumah, malahan sangat-sangat merindukan keseharian dulu. Namun, keadaan sudah berubah, dan aku tidak bisa lagi menjadi lemah.

Aku tidak ingat sudah berapa banyak tantangan yang kuhadapi. Tapi yang jelas, hanya dalam waktu sebentar saja, semua akar permasalahan yang mencuat keluar itu kusadari telah membuat seorang Jane mendewasa perlahan-lahan.

Aku yang seharusnya khawatir dengan nilai-nilai ujian, kini justru cemas dengan keberlangsungan hidup. Apakah Chris bisa terbangun dari koma? Apakah kami bisa pulang dengan selamat? Apakah Ran bisa menemukan tempat aslinya? Apakah Derivea bisa aman dari penyusup yang datang?

Semua ini terlalu rumit; terlalu sulit.

Kenyataan dan problematik yang berdatangan itu tidak jarang membuatku merasa inferior atau rendah diri. Bagaimana ya, apakah aku bisa mengatasi semuanya? Apakah aku sanggup menanggung semua tanggung jawab bersama?

Kau tahu? Rasanya seperti diberikan batu loncatan setinggi langit dan tanpa aba-aba.

Aku tidak pernah menyangka bahwa pengetahuan awal soal frekuensi saja, bisa membuatku berada di titik sampai sejauh ini. Dan entahlah sudah berapa banyak aku menyesali keputusan karena mempelajarinya.

Sebab memang, rasanya sulit. Rasanya, pelan-pelan seperti dibawa ke dunia orang dewasa sesungguhnya ... yang terlampau serius, terlalu dipenuhi masalah, dan terlalu banyak tanggung jawab.

Padahal aku berharap bahwa ujian itu datang satu-satu, dan secara perlahan-lahan. Datang ketika aku sudah siap dalam menyelesaikannya.

Tapi aku lupa, ini dunia nyata. Bukan film-film seperti yang Jason sering tonton.

Kukira dengan menemukan Chris saja semua ini akan berakhir. Namun kenyataannya malah berbanding terbalik dari apa yang aku prediksikan.

Hidup di dunia orang dewasa memang tidak semudah itu.

***

"Kepalaku rasanya seperti ingin pecah," kata Jason. Ia mengusap-usap kepalanya penuh frustasi.

"Dan berhamburan," tambahku datar.

Aku tidak tahu apakah bisa menyelesaikan semuanya. Aku juga sudah kehilangan harapan karena semua keinginan sederhanaku itu dipupuskan begitu saja. Tapi, aku tahu bahwa satu-satunya jalan adalah menghadapinya, tidak peduli seberapa kotor jalan itu.

"Dan tenggelam," tambah Manda lagi, dengan tatapan yang sama, putus asa.

"Dan terbakar," ucap kedua Ran bersamaan.

Aku terkekeh sedikit, menyadari bahwa kini kita semua berada di titik terendah bersama-sama. Bukan hanya aku saja, tapi kita semua. Dan mendengar tambahan-tambahan mereka membuatku merasa tidak lagi sendirian.

"Semesta memang pembuat skenario yang kacau." Aku bangkit berdiri dari dudukku, supaya pandangan terasa jauh lebih objektif. "Jason, bukankah ini seperti di dalam film-film kesukaanmu?"

Jason yang wajahnya merengut saking stressnya, kini perlahan-lahan seperti mendapatkan sebuah pencerahan. Kalau di siarkan, mungkin sedang ada lampu yang menyala terang di kepalanya.

Anak itu mengangguk-angguk. Benar-benar mendapatkan pencerahan.

"Yah, aku tahu, hidup memang sulit. Anggota Avengers punya siklus jatuh-bangun, tapi orang awam tanpa kekuatan superhero memiliki siklus jatuh-jatuh-jatuh-bangun. Benar, 'kan? Jadi intinya, kalau kau tidak mau di satu titik 'jatuh' terus menerus, maka jangan pernah berhenti bergerak," simpul Jason dengan senyum lima jari.

Aku membalas senyumnya. Dalam diam, aku selalu bangga bagaimana Jason selalu berhasil membuat permasalahan kami tidak terlalu rumit. "Kalau kita tidak mau di satu titik 'jatuh' terus menerus, maka jangan pernah berhenti bergerak," ulangku sambil merevisi, dan memberi penegasan terhadap kata "kita" yang merujuk kepada kita semua di sini.

Semua orang mulai paham dengan alurnya, mereka mengangguk-anggukan kepala juga dan menerbitkan senyum cerah.

Lalu aku maju untuk menumpukan kedua tangan pada meja, dan saling menukar pandangan dengan Ran Tua.

Aku menarik sudut bibirku lagi, kemudian berkata, "Ran dari masa depan, kamu yang membuat peta jalan keluarnya."

Akhirnya kami memiliki harapan. []

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang