Aku mengeringkan rambut basah dengan handuk tebal yang diberikan Manda, sembari berusaha melupakan hal-hal yang terjadi ketika jalan-jalan sore bersama Ran Muda.
Omong-omong, sepulang dari perjalanan canggung itu kami berdua langsung pulang—tentu saja pulang, sudah tidak ada alasan lagi untuk bertahan di sana. Dan aku segera mandi untuk menyegarkan tubuh (dan pikiran), baru setelah aku selesai, ganti Ran Muda yang mandi karena kebetulan hari juga sudah mulai malam.
Sementara itu, Jason dari tadi pekerjaannya hanya tidur-tiduran di sofa. Dia tidak punya kegiatan lain yang lebih menarik daripada tidur. Jadi yah, Jason benar-benar hidup di dunia penuh keputusasaan.
Maka daripada aku mengikutinya, lebih baik ikut bergabung dengan Ran Tua yang hidupnya didedikasikan untuk ... frustasi?
Aku melihat Ran Tua yang tidak henti-hentinya meneliti lebih lanjut suatu hal di meja lebar canggih Manda. Tapi ia tidak menggunakan layar itu, melainkan memanfaatkan buku-buku dengan pengetahuan luar biasa milik Derivea untuk belajar sesuatu darinya sambil berdiri dan mondar-mandir berpikir. Dan, menyadari Ran Tua terus seperti itu, aku jadi sedikit kasihan. Maksudku, Ran Tua terlalu ... yah, kau tahu. Dia terlalu memaksakan dirinya sendiri. Dia tidak pernah memberikan sedikit waktu untuk beristirahat sejenak. Dia terlalu keras.
Aku sudah paham sekarang, sikap-sikap keras hanya mengantarkan kita kepada satu hal: depresi.
"Ran, memangnya kamu tidak lelah, ya?" tanyaku sambil mendekatinya.
Mendengar itu Ran Tua terkekeh di depan lembaran kertas, ia menengadah sejenak untuk menyadari keberadaanku, tapi kemudian menunduk lagi.
"Sedikit."
Dan sedikit bagi Ran Tua, adalah "banyak sekali" bagiku.
"Kita harus menggunakan lubang cacing itu lagi, 'kan? Aku perlu riset lebih banyak agar hal-hal terjadi sesuai ekspektasi," lanjut Ran Tua sambil sibuk berkutat dengan gelembungnya sendiri.
Aku mengesah pelan. Sebetulnya cukup muak melihat kesulitan yang tidak kunjung berakhir.
"Aku tahu, Ran. Tapi ...."
Tunggu.
Apakah ada sesuatu yang ingin Ran capai?
"Aku juga tahu tujuanmu sebenarnya adalah untuk mencari dunia awalmu dulu," ucapku, sebenarnya sambil menebak-nebak.
Lalu sikap Ran Tua selanjutnya justru meyakinkan atas tebakanku barusan. Tubuh Ran Tua membeku. Sepertinya ia tidak berpikir bahwa aku bisa mengetahui tujuan pria itu yang sebenarnya.
Aku juga tidak pernah berpikir demikian. Pikiran itu tadi ... hanya bergerak seperti lintasan kereta cepat saja dan berlalu.
Aku tidak pernah berpikir bahwa itu benar.
Tapi ia salah, dan aku juga salah. Sebab, tidak ada seorangpun di dunia yang bergerak segigih itu tanpa ada alasan untuk dirinya sendiri. Dan bagiku, melihat Ran Tua sampai sebegitunya dan mengingat apa yang pernah Ran Muda katakan terdahulu (bahwa ia juga tiba-tiba menghilang dan terpaksa tinggal di Quardon), maka sekarang semua menjadi jelas. Sangat jelas.
Ran menginginkan kebenarannya. Mereka menciptakan lubang cacing atas dasar keinginan hebat untuk mengetahui dunia asalnya.
Ran yang menggunakanku sebagai percobaan; yang mengenalku lewat lubang cacing dan dijadikan eksperimen. Ya ampun, sekarang semua sudah menjadi jelas.
Ran—kedua Ran—ingin mencari tahu kebenarannya. Ia ikut sampai ke Derivea bukan serta merta demi menyelamatkan adikku, Chris, tetapi juga demi dirinya sendiri.
"Iya, 'kan? Kamu melakukan semua ini juga untuk dirimu sendiri."
Dan, itu tidak salah. Tidak pernah salah.
Lalu pria itu mengusap wajahnya dengan lelah sambil mengembuskan napas kasar.
Aku jadi ikut membuang napas berat.
"Kita semua di sini karena satu alasan, Jane. Pencarian. Kamu sejak awal sibuk mencari apa yang belum terungkap, Manda sibuk mencari dalang dibalik pengkhianatan di sini, dan aku mencari dunia frekuensiku," jelasnya dengan nada rendah.
Aku mengangguk. "Kita cuma kumpulan pencari."
"Benar."
Lalu aku maju ke arah meja yang banyak sekali buku-buku bertebaran, lantas kemudian segera menutupnya satu per satu. "Kita semua dalam proses mencari. Itu kenapa kita dipertemukan Semesta."
Ran Tua terduduk pada kursi terdekat. Setelah itu tatapannya berubah menjadi kosong. Dan sekarang, ia lebih mirip seperti Jason, seperti seseorang yang sudah kehilangan semua harapan-harapan.
"Ini semua tidak pernah masuk akal," tukasnya dengan nada datar.
"Semesta tidak pernah memberikan skenario masuk akal. Tidak sebelum kita menyelesaikan ini semua. Iya, 'kan?" kataku sambil tersenyum.
Aku sudah berdamai. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...