Enam jam setelah keputusasaan ternyata sudah berlalu begitu saja.
Sekarang aku sedang berusaha mengotak-atik komputer mereka, karena siapa tahu ada informasi yang bisa diambil dari sini. Pepatah nenek moyang Jason (yang mana pasti nenek moyangku juga) mengatakan, "Jangan menyia-nyiakan kesempatan di depan mata." Jadi kurasa inilah saatnya menggunakan seluruh kemampuanku untuk meretas sistem mereka.
Dan ... gagal.
Aku tidak bisa meretasnya. Ran Muda dan Ran Tua juga tidak bisa—dapat dilihat dari raut wajah mereka yang menunjukkan ekspresi pasrah.
Aku mengembuskan napas kasar. Sudah berkali-kali kuedarkan pandangan ke sekitar, dan berkali-kali juga aku tidak menemukan pintu keluar. Ruangan macam apa yang tidak memiliki pintu untuk keluar-masuk? Apa ini jebakan?
"Kalau begini kita hanya akan mati kelaparan di dalam ruangan," ujar Ran Muda.
Sial.
Ran Tua bersedekap dada sambil duduk di kursi depan komputernya yang gagal juga diretas. "Sampai kapan kita bisa bertahan?"
"Tiga hari dari sekarang," jawab Ran Muda. Ia melemparkan tubuhnya ke kursi dan bersandar dengan tatapan putus asa. "Tanpa cairan yang masuk, tubuh manusia hanya bisa bertahan kurang lebih selama tiga hari."
Sial. Sial. Sial.
"Tiga hari saja sudah waktu yang lama." Ran Tua ikut bersandar pasrah pada kursinya, kemudian memijat pelipis.
APA-APAAN? Siapa yang mau mati begitu saja di sini?
"Selesai."
Dengan serentak, kami menoleh ke arah Jason seraya terkaget-kaget.
Kami melupakan satu hal: orang yang pikirannya cuma berputar dengan games dan film-film itu sejak tadi diam dan terus berkutat di depan layar dengan fokus. Kini ... ia nyengir kuda. Cengiran yang memberikan kami harapan lagi untuk hidup.
"JASON, BAGAIMANA BISA?" pekikku, saking girangnya setelah melalui masa-masa yang sulit selama bertubi-tubi.
Baru kali ini aku merasakan eksistensi Jason ada gunanya. Chris harus tahu soal ini nanti.
"Meskipun kamu pernah bilang otakku tumpul seperti alas panci, semua komputer-komputer ini bukan tandinganku," sahutnya dengan dada yang membusung bangga.
"Aku tidak pernah bilang kamu begitu."
"Iya, kau pernah."
"Tidak."
"Pernah."
"Aku bilang otakmu seperti otak mamalia laut."
Muka Jason langsung memberengut kesal. Jika di sekitarnya ada bantal, ia pasti sudah melempar bantal itu ke arah kepalaku sampai headshot. "Iya, apa bedanya? Apa lebih baik?"
Jadi aku membalas itu dengan cengiran. "Hehehe." Aku tidak bisa menahan sudut bibirku untuk berhenti tersenyum.
Setelah enam jam yang panjang atau tiga ratus enam puluh menit atau dua puluh satu ribu enam ratus detik (aku sengaja menulisnya lengkap agar penderitaan kami terlihat jelas) yang sangat-sangat panjang ... kami memiliki secercah cahaya di tengah ruangan aneh dengan ratusan monitor tanpa pintu keluar. Kabar baiknya, kami mungkin tidak jadi mati dalam tiga hari dari sekarang. Mati dengan penyebab tidak ada air dan makanan yang masuk ke tubuh adalah hal yang paling konyol dari yang kudengar selama di frekuensi ini.
Dua Ran langsung sigap ke arah komputer Jason. Mereka berdua melihat anak itu yang kembali duduk di depan monitornya sambil mengetik sesuatu di keyboard.
Aku juga ikut. Jadi kami bertiga memerhatikan layar yang dioperasikan oleh Jason secara lekat-lekat.
"Ini lokasi kita, tapi di bawah tanah." Jason menunjuk suatu bangunan besar dalam peta yang terpampang di monitor. Kemudian, Jason mengecilkan peta agar bisa melihat secara keseluruhan frekuensi ini. "Ternyata mereka adalah tipe frekuensi dengan bangunan-bangunan raksasa. Tempat super besar ini bukan hanya satu-dua saja," katanya sambil memindahkan kursor mouse dengan lincah.
Ran Tua menegakkan badannya. Diikuti dengan Ran Muda dan aku. "Bagus, sekarang tolong cari jalan keluar dari sini," perintah Ran Tua kepada Jason, yang langsung diangguki kepala.
Ran Muda memegang pundak Jason sambil tersenyum. "Aku tidak menyangka, aku yang bisa menciptakan lubang cacing, gagal dalam meretas sistem di komputer mereka. Tapi kau malah bisa, Jason."
Jason ikut menarik ujung bibirnya. "Hidupku selama ini di depan layar, Ran."
"Tentu saja kau bisa."
Aku juga tersenyum. Membayangkan Chris pasti akan turut senang jika saja ia ada di sini.
Satu detik setelahnya aku menggelengkan kepala, lalu berkata kuat-kuat dalam hati.
Chris memang ada di frekuensi ini, kita tidak salah tempat!
Kemudian ... Jason menemukan pintu keluarnya. Ternyata kita harus menekan tombol (yang tampak transparan jika dilihat dari jauh) terlebih dulu, karena pintu keluar itu didesain langsung terhubung ke lift agar yang ada di dalam bisa segera ke permukaan.
Jadi, kami mulai menyebar untuk mencari tombol lift tersebut.
Namun tiba-tiba pintu lift terbuka sendirinya.
Persis tak jauh dari arah yang ingin aku tuju. Tepat di depan sana ... beberapa orang menodongkan senjata ke arahku.
"Diam di tempat! Kalian sudah melewati batas dengan masuk ke frekuensi ini tanpa izin!"
Badanku langsung membatu. Aku tidak bisa bergerak sedikitpun melihat senjata yang diarahkan tepat ke tubuhku untuk pertama kalinya.
Dan apa? Melewati batas dengan masuk frekuensi ini tanpa izin?
Mereka benar-benar tahu kami. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...