13 || Paradoks

3.1K 555 48
                                    

"Jason, anggap kertas ini sebagai permukaan alam semesta..."

"Mana bisa begitu! Korelasi alam semesta sangat jauh dari permukaan kertas kosong."

"Bisa, tentu saja. Kenapa tidak?"

"Tidak. Ini sesat. Aku tidak pernah belajar hal semacam itu di sekolah."

Aku memutar bola mata kesal sambil melipat kedua tangan di depan dada. Sebagai kembarannya, aku sangat malu karena IQ Jason lebih buruk dari mamalia laut. Anak menyebalkan itu selalu saja membantah kata-kata Ran Tua ketika ingin menjelaskan tentang lubang cacing lebih jauh. "Jason, hal ini memang tidak bisa kamu dapatkan dari sekolah. Jadi tolong dengarkan apa kata Ran baik-baik," ujarku geram (aku tidak akan menyebutnya Ran Tua secara langsung karena bisa saja aku segera didepak dari rumah ini).

"Yayaya." Dia ikut memutar bola matanya, menyepelekan ucapanku. "Oh, dan bagaimana kalau lubang cacing hanya sihir yang menyamar?"

"Apa katamu? SIHIR?"

Jason mengangguk dengan percaya diri. "Tentu saja. Sihir fisika dan matematika. Ini mungkin juga, 'kan?"

Aku mengesah pelan sambil menyentuh kening, pusing dengan segala kekacauan di dalam pikiran Jason. "Tidak, tentu saja. Jason, jangan membuat konspirasi yang aneh-aneh."

"Hah? Aneh-aneh? Semua ini berasal dari pemikiran yang aneh-aneh, ta..."

"Dan karena kamu yang minta penjelasan terlebih dulu, jadi kamu harus mendengarkan semuanya baik-baik! Atau tidak tahu lubang cacing sama sekali!" potongku.

Dia menggerutu. "Oke, oke. Aku coba dengarkan sekali lagi, nih!" seru Jason lalu mendengus kesal.

Ran Tua akhirnya menepuk tangan sekali sambil tersenyum, memecah suasana sengit yang mengudara di ruangan ini. "Nah, aku harap ini pertengkaran kalian yang terakhir karena aku akan mulai penjelasannya. Oke?"

"Oke," jawab kami bersamaan.

"Bagus. Sampai mana tadi?" Ran Tua berhenti bicara sebentar untuk berpikir di tengah keheningan. Lalu menepuk tangan sekali lagi karena berhasil mengingat apa yang ingin diucapkan. Yah, aku akan memakluminya kalau ia berkata 'aku seorang penderita demensia'. Tapi itu tidak akan pernah terjadi. "Jason, kamu pernah dengar teori Einstein tentang relativitas?" tanya Ran Tua dengan wajah yang amat-sangat ramah untuk para bayi berpopok.

"Tentu saja belum."

Oh, tentu saja tidak sama sekali. Jason adalah seseorang yang terobsesi dengan film-film Hollywood, bukan buku-buku tebal dan informasi semenarik ini (aku yakin kalau Jason mendengarnya, dia akan mengubah kalimat itu menjadi semembosankan ini).

"Nah, teori relativitas Einstein berpendapat ruang dan waktu membentuk panggung. Keduanya membentuk panggung yang sama, tapi tidak selalu sama. Kita memanggilnya ruang, dan ruang yang elastis ini (iya, ini elastis) bisa ditekuk dan menciptakan lubang cacing. Bagaimana? Sampai di sini kamu sudah paham?"

Jason bergumam sambil menyipitkan matanya. "Em... kalau kamu mengubahnya menjadi, 'Sampai di sini kamu sudah mengantuk?', aku akan mengangguk setuju!"

Informasi menarik: aku sudah mengepalkan kedua tangan bersiap untuk menjotos wajah menyebalkan itu.

Ran Tua cuma bisa mengerjapkan mata selama beberapa saat, mungkin dia bingung ingin memberi tanggapan apa selain melempari barang-barang di sekitar ke arah Jason (yah, mungkin).

"Yang aku maksud adalah... apakah kamu, Jason, punya pertanyaan?" kata Ran Tua dengan nada sabar yang dibuat-buat. Lihat, senyum Ran Tua kelihatan amat-sangat terpaksa (atau mungkin hanya perasaanku saja yang berlebihan).

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang