3 || Radio

6.7K 975 94
                                    

Yah, karena tidak semua orang pernah ke Minnesota—negara bagian Amerika Serikat, aku akan menceritakannya sedikit.

Bagiku, suhu di Minnesota mampu membuat beruang kutub berkembang biak dengan pesat. Dinginnya yang luar biasa ... sukses membekukan ribuan danau. Kadang-kadang kalau kami tidak malas ke luar rumah, aku, Jason dan Chris suka bermain ice skating di atas danau yang beku seperti orang awam. Konsekuensinya kami pulang dengan badan lebam-lebam. Mungkin sistem adaptasi kami memang agak lambat.

Beberapa hari setelah 'ke minimarket bersama Jason membeli stok sereal', hari yang ditunggu-tunggu Chris tiba. Anak itu mengharapkan bisa ke karnaval musim dingin Saint Paul lagi bersama seluruh keluarganya tahun ini, tapi sayangnya aku tidak tertarik sama sekali. Lebih baik meneliti dan membaca majalah-majalah National Geographic, daripada memakai segala macam lapisan pakaian tebal untuk ke sana. Lebih baik menonton beruang Marsha hibernasi, daripada menikmati suhu ekstrem Minnesota.

"Kau harus ikut! Kau harus ikut! Kau harus ikut!" Chris bersikeras mengajakku pergi. Kedua tangannya menarik lengan kananku sampai mau putus rasanya. "Harus ikuuut...." Terakhir Chris berteriak melengking, semakin mendramatisir agar Ibu juga ikut-ikutan menyuruhku pergi untuk mendiamkannya. Selain itu, ekspresi Jason malah tersenyum miring. Senang melihatku sengsara.

Aku meringis. Chris, anak sepuluh tahun yang manjanya ke lewat batas.

"Aku ada urusan. Ingat? Tentang partikel-partikel zat yang aku ceritakan semalam, hari ini aku mau menyelesaikan semuanya. Tidak ada lagi perspektif baru. Tidak ada lagi percakapan tentang hertz." Aku memberi jeda untuk menghela napas berat. "Hari ini hari terakhir. Janji," ucapku pada akhirnya, meyakinkan Chris sambil mengangkat jari kelingking.

Ekspresi anak itu semakin merengut. Wajahnya ditekuk, kesal. Beberapa detik ia memikirkan pilihan itu sambil bergumam. "Kalau nanti semua sudah selesai, kau harus mau aku ajak ke mana saja," putus anak itu. Lalu aku menanggapi dengan anggukan. Masih berekspresi merengut, kesal, tidak terima, anak itu tetap mengaitkan jari kelingkingnya kepadaku. "Aku mau bawa laptopmu."

"Hah? Untuk apa?"

"Menonton film di mobil. Bosan kalau ngomong sama Jason," jawabnya enteng.

"Sial."

Laptopku diambil, lagi.

***

Ingat soal kerapatan suatu zat? Partikel? Semakin dekat jarak antara partikel-partikel suatu zat, semakin mudah kita menyentuhnya. Lalu, bagaimana dengan udara? Gas?

Yah, unsur-unsur nonlogam tersebut memang memiliki partikel, seperti yang aku katakan ... berarti jaraknya berjauhan. Semakin jauh, semakin kita tidak dapat melihatnya, semakin kita tidak dapat menyentuhnya. Tapi ... bukan berarti tidak ada. Apa yang kita sangka tidak terlihat, tidak bisa disentuh bukan serta-merta mereka tidak ada. Mereka ada, hanya saja butuh penjelasan secara ilmiah agar kita (manusia yang katanya memiliki kecerdasan luar biasa ini) percaya. Dan kepercayaan tidak jatuh dengan mudah.

Aku? Jane Cather bukan seorang ilmuwan, ditambah belum punya gelar apapun. Jadi, siapa yang mau percaya?

Maka hari ini (setelah aku pikir berulangkali) waktunya memberhentikan asumsi-asumsi sebelum aku benar-benar kejadian seperti yang dikatakan Jason. Singkat katanya: gila. Untuk seorang manusia normal, jelas aku tidak mau hal itu terjadi. Aku harap, di luar sana akan ada seorang ilmuwan yang dipercayai masyarakat ... yang menyadari ada berapa banyak frekuensi di dunia. Semoga saja.

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang