40 || Ingatan

273 117 1
                                    

Ran Tua membalas senyumku dengan lengkung hangatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pria itu mulai menerima dan berdamai atas semua yang menimpa.

Lalu tidak lama kemudian kudengar suara daun pintu yang terbuka. Ah, Ran Muda pasti sudah selesai mandi.

Tapi sebelum ia benar-benar bergabung di sini, dan membuat jantungku jumpalitan lagi, ada suatu hal yang harus kutanyakan kepada Ran Tua dengan serius.

Soal ingatannya.

"Ran, kamu dari masa depan, apakah ada sesuatu yang bisa kamu ingat soal perjalanan ini?" tanyaku.

"Ingat?"

"Iya, karena kamu dari masa depan, seharusnya kamu bisa memberi kita kunci jawaban, 'kan?"

Ran Tua mengusap dagunya seraya bergumam panjang, sementara itu otaknya bekerja keras untuk mengingat-ingat semua kepingan memori. Tapi beberapa saat kemudian, setelah melihat ekspresi Ran Tua yang tidak berubah sama sekali, maksudku tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang menemukan ingatan yang penting, maka aku langsung mengembuskan napas kecewa.

"Tidak ada, ya?" tanyaku, memastikan.

Ran Tua menaikkan kedua bahu. "Tidak ada."

Yah, sayang sekali.

Padahal, kalau Ran Tua yang berasal dari masa depan dapat menemukan pecahan memori dari masalah yang kita hadapi saat ini, semestinya ia juga tahu pemecahan masalah yang tepat, 'kan?

Semua masalah yang kita hadapi sekarang, dengan kehadiran seseorang dari masa depan, seharusnya ia bisa membawakan kunci jawaban. Sehingga paling tidak, kita tak perlu lagi kesulitan menempuh beban-beban hidup yang ada di masa sekarang.

"Ingatanku berubah, Jane."

Aku membelalakkan mata terkejut. "Berubah? Berubah bagaimana?"

Ran Tua tiba-tiba termenung. Raganya memang ada di sini, tetapi pikirannya tampak seperti jauh, jauh sekali dan tidak ada yang bisa menyentuhnya.

"Aku jadi tidak memiliki ingatan setelah kita pergi ke frekuensi Derivea. Semuanya berubah, Jane."

Aku tercengang. Bagaimana bisa?

Apakah ini ... juga dampak dari paradoks yang kita buat?

Ran Tua mengerang keras sambil menyentuh keningnya. Aku langsung panik dan bergegas menghampiri pria itu, takut sesuatu yang buruk terjadi.

"Tidak usah dipaksakan, Ran," peringatku khawatir.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari ada gelas bersih dan teko berisi air di meja. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengambilkan segelas air minum untuk Ran Tua.

"Tolong minum dulu," serahku sambil agak menunduk supaya sejajar dengan Ran Tua yang duduk di kursi.

"Terima kasih."

Setelah dihabiskan, Ran Tua mengembalikan gelas itu kepadaku yang otomatis kuletakkan di meja. Kemudian pandanganku kembali ke pria itu, tidak lepas sedikitpun. Dalam benak, aku bertanya-tanya, Ran Tua kenapa? Bagaimana bisa ia kehilangan semua ingatannya ketika sampai di sini?

Namun tidak mungkin juga aku menyerbu Ran Tua, sedangkan ia sendiri tengah kesakitan.

"Ran, kamu tidak apa-apa?"

Ran Tua menggeleng lemah sembari mengangkat tangannya, semacam memberi isyarat. Lantas benar saja, karena ia berkata, "Sepertinya aku butuh istirahat."

Dan, aku membantu untuk membopongnya ke kamar tempat Chris dan Jason tidur.

***

"Dia kenapa?"

Aku berdeham keras sambil menyedot sekotak susu yang kutemukan dari lemari pendingin di sini. Siang tadi aku melihat pelayan mengisi lemari pendingin yang kosong dengan beragam camilan dan minuman, jadi kurasa, isi lemari itu tentu ditujukan untuk kami.

"Dia kesulitan mengingat," ujarku sambil menunduk sebentar untuk melihat kakiku yang digerakkan demi menutupi kegugupan.

Ran Muda mengangguk-angguk dan mengunyah lagi camilan yang ia ambil juga dari lemari pendingin. Kami tidak duduk di kursi, tapi hanya menyandarkan tubuh pada meja lebar dengan bersisian. Tidak saling berhadapan, tetapi sama-sama menghadap ke arah jendela yang tirainya dibuka dan memperlihatkan gemerlap lampu-lampu kota, mengingat ruangan pribadi Manda termasuk di lantai atas.

Menyadari respon Ran Muda yang cuma sekenanya, aku jadi bertanya-tanya. "Kamu tidak khawatir?"

Dari samping, aku bisa melihat rahang tegas milik laki-laki itu yang sibuk mengunyah kue cokelat kering. Mata teduhnya menatap dengan pandangan hampa ke arah luar jendela. Lewat sudut pandang ini pula, aku juga jadi bisa melihat bulu mata lentiknya meskipun sedikit, dan alis yang membingkai tebal di kisaran matanya, selain daripada itu, helai-helai rambut Ran Muda juga basah sehabis keramas, sama sepertiku.

Kesamaan terakhir entah mengapa mampu membuat pipiku terasa hangat lagi.

Aneh.

"Tidak," kata Ran Muda, menjawab pertanyaan sebelumnya.

Meski jantungku berdebar tak wajar lagi, aku tetap meneruskan percakapan itu dengan nada ragu dan lemah. "Kenapa?"

Ia sempat melamun selama beberapa saat. Mungkin memilih untuk menelan habis semua makanan yang ada di mulutnya baru ingin menjawab.

"Konsekuensi membuat paradoks," jawabnya dengan suara serak khas laki-laki—yang tentu saja baru kusadari.

Sehabis itu Ran Muda akhirnya menoleh, dan ... tatapan kami saling bertubrukan.

Waktu seperti bergerak melambat, adalah hal yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

Denyut jantungku memompa aliran darah dengan deras, rasanya aku juga bisa mendengar suara detakan dari jantungku sendiri yang bunyinya seirama dengan jarum jam di ruangan.

Aku menyedot lagi susu kotakku, dan kurasakan susu dinginnya masuk ke dalam mulut, lalu mengalir dengan mulus dan menyegarkan tenggorokan sampai akhirnya tiba di lambung.

Semuanya berjalan sangat-sangat lambat ....

Aku juga bisa merasakan tatapan hangat Ran Muda yang sangat intens; yang tidak berpindah barang satu detik pun.

Menyadarinya ujung-ujung jemariku mulai bergetar seperti tremor ringan. Napasku juga sudah mulai tidak beraturan.

Ini semua ... benar-benar di luar nalar.

Setidaknya semua berjalan di luar kendaliku sampai pada akhirnya Jason tiba-tiba keluar dari kamar dengan mendobrak pintu, lalu berteriak, "MANDA KE MANA?"

Yah, ia menghancurkan suasana begitu saja. []

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang