Aku terduduk tepat pada samping ranjang Chris, di mana ia sedang tertidur panjang. Sedangkan Jason, kedua Ran, dan Manda berdiri di sisi yang lain.
Sejak tadi aku menggenggam telapak tangan anak itu, harap-harap ia akan bangun dan menyadari bahwa kakak-kakaknya sudah di sini untuk menjemputnya kembali ke rumah. Tapi Chris memang menyebalkan, dia nyaman dalam keadaan seperti ini, jadi ia tidak mengacuhkanku yang entah sudah berapa kali memanggil namanya sampai merintih putus asa.
Omong-omong, aku sudah berhenti menangis meraung-raung. Sudah dua jam berlalu sejak itu terjadi, dan kini emosionalku berada dalam keadaan stabil.
Atau mungkin agak stabil—lebih tepatnya, karena air mataku masih mengalir satu per satu melihat mata Chris yang terpejam dan tidak merespons apa-apa.
Aku sudah kelelahan. Aku betul-betul sudah tidak memiliki energi lagi untuk menghadapi apa yang terjadi.
Rasanya memang seperti dijatuhkan oleh kenyataan itu sendiri; seperti ingin mengutuk dunia, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena memang demikian adanya.
Seperti merasakan kegagalan satu juta kali dalam waktu yang sama: patah, hancur, sakit, runtuh, putus asa .... Semua perasaan-perasaan itu datang menyerbu tanpa ampun. Mereka seperti belati yang terus menyayat tubuhku. Tidak peduli sudah berapa banyak darah yang keluar, mereka tetap menyayat tubuhku. Tanpa ampun.
Aku menunduk dalam-dalam, tidak kuat melihat wajah anak itu lebih lama lagi.
"Chris, tolong bangun, Chris ..." rintihku sambil mengeratkan genggaman pada telapak tangannya yang lemah dan hangat. Lalu membayangkan kemungkinan tubuh Chris akan kehilangan suhu panas secara perlahan, membuatku menahan diri dengan menggigit bibir bawah kuat-kuat seraya menggelengkan kepala. "Tolong segera bangun, Chris .... Sakit rasanya. Sakit."
Aku semakin menunduk sampai genggaman tangan pada Chris menyentuh keningku. "Ma—maaf sudah membuatmu seperti ini. Semuanya salahku ...."
"Jane," panggil Jason. Ia menyentuh pundakku, dan aku berangsur-angsur menarik badan dengan tegap untuk menghadap ke arahnya. "Jangan bilang seperti itu lagi, semua akan baik-baik saja," katanya.
Dan mata Jason memerah.
Lantas bibirku bergetar, kemudian pundakku juga ikut naik-turun untuk menahan isakkan. Bagaimana bisa aku tidak mengatakannya, jika semua ini memang salahku? Bagaimana bisa merasa baik-baik saja, ketika Chris sedang di ambang batas antara hidup dan mati?
Semua harapanku sudah hancur lebur. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi, selain merasakan sakitnya yang teramat sangat.
Aku juga ingin berhenti menyalahkan diri. Aku juga ingin begitu. Sangat-sangat ingin. Aku juga tidak mau terus-menerus merasakan semua rasa pedih ini dalam waktu yang lama. Namun bagaimana jika penyebab Chris koma memang bersumber dariku?
"Chris ... Chris ...." Aku tergagap karena napas yang sudah tak lagi beraturan. Air mataku juga terus mengalir deras tanpa kenal henti. "Ini semua tetap salahku, Jason. Bagaimanapun tetap salahku."
Kepalaku pening hebat. Rasanya seperti ada benang-benang yang kusut di dalam kepala atau apapun itu yang mengganggu, sehingga aku menarik-narik rambut dengan harapan rasa pening di kepala itu segera berkurang.
"Jane! Jane!" Jason menarik kedua tanganku untuk berhenti. "Jangan seperti ini."
Aku menundukkan kepala berusaha menahan rasa sakit yang menekan otak. "Ba—bagaimana ini, Jason? Aku tidak punya kekuatan untuk membangunkan orang koma. Bagaimana ini? Ba-bagaimana ini? Tidak ada lagi yang bisa kita perbuat .... Chris hanya akan tidur seperti ini karenaku, dan kita tidak akan pernah bisa pulang lagi .... Bagaimana ini, Ja—Jason?"
Dan Jason langsung bergerak untuk memeluk.
Ini kali pertama Jason memeluk tubuhku ...
... dan memilih menangis bersama.
Aku sempat termenung untuk beberapa saat.
Termenung sejenak untuk merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku.
Hangat yang seakan-akan menunjukkan masih ada harapan; masih ada secercah cahaya, atau apapun itu di depan sana. Hangat yang memberikan rasa nyaman. Rasa nyaman yang kubutuhkan.
Kemudian merasakan tubuh Jason yang lama-kelamaan terisak hebat dari pelukan, membuat gelembung imajinasiku pecah dan tersadar lagi. Lantas merasa semakin ditusuk oleh banyak pisau-pisau tajam.
"Jangan seperti itu lagi Jane, aku juga sakit melihatnya. Aku juga sakit ...."
Aku tidak sadar bahwa Jason juga pasti merasakan kesedihan yang sama. Jason juga merasakan semua rasa sakit, semua rasa sesak, dan semua rasa hancur berkeping-keping itu. Ia juga pasti merasakan semua apa yang kurasakan.
Atau mungkin Jason merasakan hal yang lebih menyakitkan lagi.
Karena sejak tadi Jason hanya menahannya kuat-kuat dalam diam. Ia cuma berpura-pura tegar di depan orang lain. Ia cuma berusaha keras untuk menjadi Jason yang seperti biasa.
Jason berusaha menahan air matanya demi tetap terlihat baik-baik saja; demi tidak memperburuk kondisi atau alasan lain Jason. Dan mungkin itu yang semakin menyakitinya.
"Tolong jangan begitu lagi, Jane ...."
Dan aku baru sadar ketika Jason ikut menangis dalam pelukan. []
***
a/n: haii teman-teman, ini bab bonus! btw dua bab baru sudah aku upload di akun KaryaKarsa! kalau masih bingung, kalian bisa baca bab sebelum ini. dan kalau tertarik, tentu saja kalian bisa langsung klik link di profil wattpadku agar lebih mudah pencariannya!
dua bab yang tayang di karyakarsa, akan aku upload di Wattpad pada hari Jum'at dan Sabtu depan yaa....
(ini keuntungan yang didapatkan jika kamu membaca ceritaku di KaryaKarsa dengan membeli paket)
sending a big hug,
Fai
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...