36 || Jason

313 119 2
                                    

Jason. Jason Cather. Dia kembaranku beda lima menit. Dan omong-omong, Jasonlah yang lahir ke dunia lebih dulu.

Karena itu sebetulnya aku punya satu kakak laki-laki dan satu adik laki-laki, tapi entah kenapa aku lebih sering merasa memiliki dua adik laki-laki daripada memiliki seorang kakak—yah kau tahu pasti maksudku.

Jason seringkali bertingkah kekanakan, karena Jason lebih mementingkan dunianya sendiri ketimbang orang lain. Jangankan orang lain, anak itu tidak pernah memedulikan masa depannya akan seperti apa, kenapa nilainya selalu hancur tidak tertolong, dan ya ampun kamarnya saja sering berantakan yang keterlaluan.

Dunia Jason tidak jauh dari game dan film-film fantasi-fiksi ilmiah seperti produksi Marvel.

Yah, tapi Jason cuma penonton saja.

Dia pernah bilang seperti ini kepadaku, "Meski aku menyukai hal-hal berbau ilmiah, bukan berarti aku percaya dengan teorimu!"

Aku ingat betul kalimat itu. Kalimat yang dilontarkan Jason setelah aku selesai menjelaskan panjang lebar soal kemungkinan-kemungkinan yang ada di dunia ini.

Yang mana kesimpulannya ... hidup Jason sangat monoton. Sangat membosankan karena setelah aku bertemu dengan Ran dan Manda, cuma Jason orang yang paling tidak berani mengambil resiko besar demi membuka kedok-kedok yang dirahasiakan semesta.

Kupikir karena dia sudah nyaman dengan gelembung sempitnya; karena dia tidak pernah ada rasa penasaran sedikitpun, seperti kebanyakan orang.

Dan kalau boleh bilang, Jason juga seperti orangtua, karena sudah merasa cukup dengan ilmu yang dia punya. Atau mungkin lebih buruk dari orangtua yang (maaf) sok tahu. Jason tidak sok tahu bukan karena dia lebih baik, tapi karena anak itu memang tidak tahu apa-apa.

Otaknya kosong betul!

Terkadang aku jadi ragu, jangan-jangan kinerja otak Jason masih kalah dengan otak ayam kalkun.

Setelah itu, yang aku herankan pun hanya satu, bagaimana bisa aku hidup bersamanya selama sembilan bulan di dalam tempat yang sama; berbagi ruang dan makanan bersama?

Astaga, membayangkannya saja aku tidak sanggup.

Atau mungkin ... ketika di dalam kandungan, kita berdua sudah sering bertengkar seperti di dunia saat ini?

Hm, yah, tidak ada yang tahu.

***

"Kita sudah sering membicarakan ini, Jason. Dulu, di rumah."

Tidak ada yang berani menyentuh makanan di meja, karena suasana berubah menjadi tidak terkendali. Kurasa hangatnya makanan juga sudah hilang, sama seperti nafsu makan orang-orang di ruangan ini.

Lepas dari itu, Jason juga kurasa agak marah. Aku tidak bisa bilang betul-betul marah, karena ia belum melempari kepalaku dengan bantal dan membentak keras. Jadi bisa dibilang Jason memang sedang agak marah.

Kemudian kulihat Jason menggertakkan giginya sambil mengepalkan tangan.

Dan aku jadi agak takut sedikit. Jangan sampai Jason tidak melempariku bantal, tapi memberikan bogem mentahnya, seperti di masa kecil dulu.

"Lihat apa yang sudah kamu lakukan, Jane," desis Jason.

Aku diam.

"Kita semua berada di sini, tersesat sejauh ini ... semuanya karena siapa?" kata Jason.

Detak jantungku mulai berdegup keras seperti drum. Napasku jadi memburu. Kini Jason menjadikan hal-hal tersebut sebagai senjata, dan aku membencinya.

"Lihat apa yang sudah terjadi dengan Chris."

Sudah, cukup.

Mendadak aku benar-benar muak dan kesal karenanya.

"Aku tahu, aku tahu! Ini semua memang salahku." Aku berdiri dari duduk dan mulai menarik rambutku sendiri.

Jason juga jadi ikut bangkit berdiri untuk melerai tanganku agar berhenti menariknya. "Aku tidak menyalahkanmu, Jane!"

"Kamu menyalahkanku, Jason!" balasku berteriak, tanganku sudah tidak lagi menarik helai-helai rambut. "Kamu terus menyalahkanku! Aku tahu aku salah, karena itu biarkan aku menebus semua kesalahanku!"

Kami bertukar pandangan dengan nyalang. Rambutku acak-acakan, dan Jason mendengus kasar. Rasanya ingin sekali mencakar wajah anak itu.

"Maksudku, jangan bersentuhan dengan itu lagi! Tidak ada yang berubah jadi lebih baik karenanya. Chris sudah koma, dan kedua Ran sudah menjadi gelandangan!"

Mereka yang tiba-tiba namanya disebut (kedua Ran) langsung terbatuk-batuk.

"Mereka bukan gelandangan!" belaku.

"Mereka sudah jadi gelandangan!" bantah Jason dengan telak.

Aku melotot, tidak terima.

Lalu kemudian Jason melanjutkan, "Mereka kehilangan tempat tinggal dan menjadi beban di sini, sama seperti kita!"

Ran Muda semakin terbatuk. "M-maaf boleh kupotong?"

"Tidak!" jawab aku dan Jason bersamaan.

Maka Ran Muda langsung menutup mulutnya lagi.

"Begini Jason, aku tahu betul atas kekhawatiranmu. Aku tahu ini berbahaya, aku tahu .... Aku sebenarnya juga takut dengan cara ini. Tapi mau bagaimana lagi, jika lubang cacing dan radiasi adalah satu-satunya jalan yang bisa kita lalui?" jelasku dengan nada yang turun satu oktaf dari sebelumnya.

Ekspresi Jason jadi mulai melunak. Dan kurasa aku berhasil memberinya pengertian.

"Sejauh ini, kita sudah bisa melihat dunia dengan perspektif yang berbeda karena kedua hal itu. Aku hanya ingin menutup penglihatan ini lagi lewat cara yang sama."

Laki-laki itu mengernyitkan dahi tidak mengerti. "Menutup penglihatan?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk pelan. "Kisah hidup kita menjadi rumit karena terlalu banyak paradoks, Jason. Jika kita semakin lama di sini, kurasa itu hanya akan memperburuk tatanan semesta. Ini semua akan berjalan semakin di luar jalur. Dan, dengan mencari pemecahan masalah lewat jalan manual, kurasa itu bukan cara yang efektif. Jadi kuncinya memang di sana, lubang cacing dan radiasi. Kemudian, mari kita lupakan tentang semua yang ada di sini. Kita semua bisa mulai hidup lagi dari awal."

Jason menggelengkan kepalanya. "Mulai lagi dari awal? Aku tidak mengerti maksudmu, Jane. Aku hanya ingin kita menghindar dari hal-hal berbahaya."

"Aku tahu, tapi prediksiku, kita juga berada dalam posisi berbahaya jika terus ada di sini. Persetan dengan robot-robot berkhianat itu. Ada hal yang lebih penting Jason, yakni keadaan semesta."

Emosi kami telah berangsur-angsur pulih. Aku sudah tidak lagi meletup-letup, begitu pula dengan Jason.

Dengan kepala dingin, kurasa kami mulai bisa memahami satu sama lain.

"Aku bisa jelaskan ini nanti, tapi yang pertama, kau harus yakin terlebih dulu," pintaku kepadanya.

Jason semakin heran. "Kenapa?"

"Karena ... kita satu tim, Jason."

Dan, kurasa, hari ini adalah hari pertama aku menganggap Jason sebagai seseorang yang setara. []

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang