Tidak tahu apa yang kupikirkan sebelumnya, tapi kurasa aku tadi sedang dirasuki arwah pintar dari Derivea. Karena jujur, aku sendiri terkejut dengan apa yang kukatakan kepada Jason, sebab ... semuanya benar.
Tapi, karena kamu mungkin kebingungan, mari kita mengurainya.
Terlepas dari robot-robot menyebalkan itu, aku justru ingin kita mengambil dari sudut pandang yang lebih jauh. Maksudku, ingat 'kan, bahwa semesta ini sebetulnya adalah susunan skenario yang sudah dibuat? Dan perihal makhluk hidup adalah pion-pion yang dimainkan oleh sang sutradara? Seharusnya kamu ingat, karena aku akan memperlebar definisi tersebut.
Jadi maksudku, tatanan semesta adalah panggung dengan skrip yang sudah diformasi. Semesta kita, tidak berjalan bebas begitu saja dan tanpa aturan. Kamu salah kalau berpikir begitu.
Buah jatuh, itu sudah atas rencana sutradara. Kamu terjatuh dari sepeda juga sama, sebenarnya itu sudah ada di skenario semesta.
Yah, ibaratnya, kita cuma pemain film saja. Kita tidak benar-benar hidup nyata di dunia. Malah kadang kala, isi kepala kita; pikiran kita, itu juga sudah berdasarkan rancangan sang sutradara. Jadi pada akhirnya, tidak ada makhluk hidup yang betul-betul merdeka atau terbebas dari skenario di dunia ini.
Tidak ada sama sekali.
Kecuali kita. Atau kami. Aku, Jason, Chris, kedua Ran, dan Manda.
Tatanan semesta adalah tatanan kehidupan yang diinginkan oleh sang sutradara. Maka pada akhirnya, tatanan semesta sengaja diciptakan agar dunia ini tetap terhubung ke arah yang sama, yakni masa kini menuju masa depan.
Kami? Kami sudah menghancurkan tatanan itu. Dengan lubang cacing, kami menghancurkan garis-garis yang sudah ditetapkan. Kami bisa mengubah hal-hal tidak mungkin menjadi mungkin, seolah-olah kuasa berada di tangan kami.
Dan, ini yang parah: kami menghancurkan garis sakral itu sendiri.
Bukan cuma waktu, tapi antara frekuensi.
Batas-batas yang seharusnya tidak boleh dilewati, justru kami lalui begitu saja. Dan, dunia jadi tempat yang jauh lebih transparan dengan adanya lubang cacing.
Konsep transparan ini, sepertinya bukan hal yang disukai oleh sang sutradara. Karena kalau ia memang menyukainya, dunia pasti sudah diciptakan transparan dan apa adanya.
Tapi dunia kita tidak. Tidak sama sekali. Dunia kita tidak dibiarkan terhubung dengan frekuensi-frekuensi lain, entah kenapa.
Tapi aku punya pikiran, alasannya untuk menjaga stabilitas dunia ini. Karena jika dunia menjadi transparan bagi semua umat manusia ...
... mungkin itu hal yang berbahaya.
Oke, mungkin kamu sudah mulai bingung, jadi mari coba kita sederhanakan.
Intinya ... kita sudah keluar dari jebakan ini; dari skema semesta yang sudah terstruktur (seperti yang pernah kubilang sebelumnya, ketika masih ada di Quardon). Kita sudah membuat paradoks yang rumit bagi semesta, dan mungkin ini bisa jadi hal yang berbahaya.
Ya ampun, coba saja ingat-ingat, lubang cacing adalah mesin pembuat kesempatan. Ia membuka kita ke hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin! Sutradara mana yang ingin pemain filmnya bergerak-gerak sendiri tidak sesuai dengan skrip awal?
Kurasa, tidak ada sutradara di dunia yang berpikiran segila itu.
Jadi, tentu saja, paradoks itu ada. Dan akar-akar dari kehancuran tatanan semesta mungkin benar-benar akan terjadi ... jika kita tidak mencegahnya dari perkembangan akar yang menjadi lebih parah lagi.
Astaga, ini rumit.
***
"Kamu sendiri yang selalu menjelaskannya dengan rumit, Jane. Sungguh," ucap Jason dengan mulut penuh makanan.
Setelah bersitegang sebelumnya, kami memutuskan untuk kembali fokus memakan makanan yang sudah diantar di meja, makanan yang bahkan hangatnya sudah dimakan oleh waktu. Tapi tidak apa, makanan dingin jauh lebih baik daripada tubuh kita jadi mendingin karena mati kelaparan.
"Jadi maksudmu, kita sekarang berada di dalam skrip begitu?" tanya Manda memastikan.
Aku tidak lekas menjawab pertanyaan yang dilontarkan Manda. Namun begitu makanan di mulut sudah berhasil dikunyah sempurna dan kutelan, aku kembali menjelaskan.
"Iya, awalnya. Awalnya kita berada di skrip, kecuali setelah insiden lubang cacing itu yang mengubah hal tidak mungkin menjadi mungkin. Jadi yah, kau tahu, kita sudah keluar dari jalur," jelasku.
"Jalur seperti apa?" tanya Manda, tidak paham.
"Tatanan semesta, atau kehendak sutradara."
Kemudian Manda tampak seperti memikirkan sesuatu di kepalanya—terlihat dari ekspresi wanita itu yang tiba-tiba menjadi entahlah, mungkin murung dan pemikir(?). Tapi, aku tidak tahu apa yang ia pikirkan. Tidak ada yang bisa menembus isi pikiran manusia.
Ada apa dengannya? []
***
a/n: iya aku tahu konfliknya jadi kompleks sekali. mungkin itu kenapa aku tiga tahun yang lalu nggak sanggup menyelesaikan hertz ini. aku nggak tahu juga mau ada yang baca sampai selesai atau enggak. proyek ini bisa selesai tepat waktu aja aku bakal girang nggak karuan.
well, menulis hertz adalah tantangan yang luar biasa besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...