Para pria berseragam (mereka tampak seperti polisi di frekuensi ini) maju dengan barisan segitiga yang rapi dan masih menodongkan senjata. Tangan mereka siap membidik kami kapan saja jika bergerak barang sedikitpun.
Aku yang berdiri paling depan memejamkan mata, berusaha mengatur ritme detak jantungku yang kacau seraya menenangkan diri. Tenang saja, ini bukan masalah besar. Ini bukan masalah besar. Kamu pernah berada di posisi yang lebih sulit lagi ketika dalam hutan raksasa sendirian. Ini bukan masalah besar.
Aku mengulanginya berkali-kali, tapi tetap saja, kecemasan itu menggelayut di tubuhku sehingga aku kesulitan untuk bernapas normal. Keringatku juga mulai mengalir di pelipis, bersamaan dengan ujung jari-jari tangan yang terasa seperti sedang tremor.
"Kalian semua bisa terkena pasal. Menyelinap masuk ke Derivea tanpa izin adalah salah satu bentuk kejahatan yang berat," ucap pemimpin mereka yang baris di paling depan. "Geledah mereka!" Dan pasukan itu langsung merebak untuk memindai kami berempat dengan kacamata inframerah.
Kacamata inframerah. Aku mengulanginya lagi dalam kepala, memerhatikan mereka menjalankan operasi pemeriksaan.
Cahaya inframerah adalah radiasi elektromagnetik dengan gelombang terpanjang daripada cahaya radiasi lain yang dapat terlihat. Mereka memanfaatkannya dalam kacamata untuk sistem keamanan. Betapa praktis dan cerdasnya.
Setelah beberapa saat, satu orang berlari mendekat ke pemimpin pasukan itu. "Lapor, tidak ada barang-barang yang mencurigakan selain dua perangkat berupa ponsel dan laptop."
Pemimpin pasukan yang bernama Frans (aku melihat dari seragamnya), menganggukkan kepala. "Simpan barang bukti, kita harus menyelidikinya nanti."
"Siap!"
"Tidak, jangan!" Ran Muda berteriak panik. "Tolong jangan," kini suaranya memelan.
Aku menoleh ke belakang, melihat Ran Muda yang dijaga oleh dua polisi dengan dua senjata yang ditodong ke tubuhnya karena ia bersikap impulsif.
Aku menggelengkan kepala samar-samar. Ran Muda tidak boleh mati. Jika ia mati, Ran Tua tidak akan pernah ada dan kami akan menciptakan paradoks yang lebih rumit lagi untuk diterima bagi Semesta. Aku juga tidak mau ia menjadi korban karena membantuku dalam mencari Chris. Aku akan menyalahkan diri sendiri selamanya jika hal itu sampai terjadi. Namun jika dua perangkat itu diambil oleh keamanan, kesempatan kami untuk pulang akan semakin kecil karena untuk membuka lubang cacing dimulai dari keduanya.
Frans menatap Ran Muda dengan sinis. Ia berjalan melewatiku untuk berhenti tepat di depan Ran Muda. "Kami harus memastikan penyelinap kali ini ancaman bagi kami atau bukan," katanya seraya menggeram marah. "Bawa mereka semua!"
Lalu kami ditarik paksa ...
... ke suatu tempat.
***
"Lapor, empat orang masuk ke Derivea tanpa izin. Kehadiran mereka juga tidak terdeteksi. Salah satu komputer berhasil mereka operasikan di ruang rahasia bawah tanah, jadi selain datang tanpa terlacak, mereka juga bisa membobol sistem keamanan begitu saja." Frans memberikan laporan dengan tubuh tegak menghadap seseorang yang duduk membelakanginya. "Kami menganggap ini ancaman bagi Derivea."
Sekarang kami berempat berada di dalam ruangan yang lebih kecil dari tempat sebelum ini. Kira-kira sama seperti ruang kerja standar pada umumnya; ada satu meja panjang dengan kursi-kursi di kanan-kiri dan satu meja khusus dengan setup yang membuat mata Jason berbinar-binar.
Ruangan yang didominasi oleh abu-abu dan cokelat bersamaan dengan perangkat yang disusun menarik pastilah impian bagi Jason. Tapi, bukan itu yang penting.
Hal yang membuatku khawatir adalah mereka menganggap kami sebuah ancaman. Jadi bagaimana kabar Chris saat ini?
Seseorang yang duduk di kursi itu membalikkan tubuhnya, dan barulah kusadari bahwa ia seorang wanita berkacamata (kali ini kacamata transparan seperti kacamata baca atau minus atau silinder) dengan jas putih panjang yang terbalut di badan.
Begitu melihat kami, matanya menyipit. Lalu aku menangkap sebuah nama yang tertera pada jasnya: Manda.
"Laporanmu salah, Frans."
Pria bertubuh tegap itu terbelalak tidak mengerti. "Maaf, apa?"
"Mereka tiga orang, bukan empat. Satu di antaranya adalah orang yang sama dari masa depan." Manda melangkahkan kaki jenjangnya ke arah kami. Sepatu hak tinggi wanita itu menggema ke penjuru ruangan karena semua polisi tercekat kaget dengan apa yang dikatakannya barusan. "Aku tidak bisa ditipu dengan ketiga anak ini."
Degup jantungku kian tidak beraturan begitu Manda tepat berada di depanku dengan tatapan penuh selidik. Matanya seolah-olah bisa membunuh orang lain di tempat.
"Kalau begitu spekulasinya benar: mereka adalah ancaman."
Manda bergumam panjang sambil memerhatikanku lekat-lekat. "Begitu ya ...."
"Maaf, tapi kedatangan kami ke sini tidak bermaksud—"
"DIAM!" Frans langsung menyentak Ran Tua yang berkehendak untuk memberikan penjelasan.
Dan mendengar suara bariton itu, aku jadi menunduk semakin dalam. Entah mengapa nyaliku jadi berubah ciut seketika.
"Frans, tidak usah seperti itu," ingat Manda dengan suara halusnya. "Kini serahkan mereka saja kepadaku. Jika mereka memang betul-betul ancaman bagi Derivea, aku akan langsung mengabarkannya kepada David. Jadi sekarang laporanmu sudah selesai, maka kau dan regumu bisa segera keluar. Terima kasih."
"Tetapi mereka berbahaya ...."
Tatapan Manda berubah tegas dan menajam. "Frans, aku yang diberikan kepercayaan oleh David untuk mengurus orang-orang asing yang masuk. Kini serahkan kepadaku." Di ujung kalimatnya, Manda menganggukkan kepala berusaha untuk meyakinkan Frans.
Tak berselang lama, rahang Frans yang mengeras berubah melunak, begitu pula dengan tatapannya yang lurus kini berubah menjadi teduh. "Kabarkan juga kepadaku jika terjadi sesuatu."
"Tentu saja. Terima kasih."
Dan Frans dengan sembilan orang dalam timnya pun berangsur pergi dari ruang ini. Menyisakan kami berempat (atau bertiga seperti katanya) dan Manda yang bersedekap dada.
"Jane, Jason, juga dua Ran." Ia sukses menyebut nama kami tanpa kesalahan sedikitpun. "Aku Manda, peneliti di frekuensi ini dan pihak pertama yang mengurus orang asing. Basa-basinya nanti saja. Kini kalian ikut aku, ada yang ingin aku tunjukkan."
Manda mulai mengambil langkahnya ke pintu dekat meja kerja, tepat di samping kirinya. Tapi sebelum tubuh Manda mendorong daun pintu itu sampai terbuka penuh, aku menyempatkan diri untuk bertanya dengan ragu. "Ada apa?"
Manda menoleh, menahan daun pintu kayu jati yang sudah terbuka setengah. Tatapannya di balik kacamata transparan itu seperti penuh makna yang tidak bisa kuartikan.
"Chris," jawabnya kemudian.
Aku menutup mulut dengan telapak tangan menahan tangis. Rasanya aneh. Rasanya seperti ada beban besar yang terangkat, tapi juga merasa berat sekaligus karena mengetahui kami tidak bisa langsung pulang ke rumah. Tubuhku bergetar penuh haru. Aku sudah sampai. Aku sukses menjemput Chris. Bagaimanapun caranya aku pasti akan membawa ia pulang sampai rumah. Aku sudah sampai, Chris ....
Ran Tua maju beberapa langkah sampai sejajar dengan posisiku. "Ada apa dengan Chris?" tanyanya dengan ragu.
Aku langsung menyadari sesuatu yang ganjil. Ran Muda dan Jason ikut berjalan mendekat sampai kami semua berdiri sejajar, tinggal lima langkah lagi untuk mengikuti jejak Manda tiba di ruangan selanjutnya.
Jason menyentuh pundakku, ia juga takut untuk mendengar jawaban Manda selanjutnya, sama sepertiku.
Selanjutnya, Manda mendorong dua daun pintu agar terbuka lebar-lebar. Memperlihatkan kondisi di dalam yang sudah menjelaskan semua tanpa perlu wanita itu menjawab.
Namun, ia tetap menjawab. Memberikan penegasan atas situasi yang sedang terjadi. Dan jawabannya bukan lagi menjatuhkanku sampai permukaan, tetapi menenggelamkanku sampai ke lahar panas paling dasar.
"Dia koma."
Dan aku menangis. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...