Rasanya jantungku seperti mencelus ke bawah. Iya, walaupun aku sudah tahu kemungkinan-kemungkinan tentang Ran yang menyembunyikan sesuatu, tapi tetap saja aku terkesiap begitu mendengar langsung darinya.
Maksudku, aku pikir ia akan bersikukuh menyimpan rahasia itu dari kami, persis seperti di kebanyakan novel ataupun film-film aksi yang sering Jason tonton. Namun yang terjadi malah kontradiksi; berlawanan. Jadi, yah, hidup ini memang paradoks. Buktinya Ran tidak seperti stereotipe awal-awal kami. Dan beberapa informasiku tentang frekuensi juga ada yang salah.
Omong-omong fokus Jason beralih dengan sempurna sekarang. Anak itu sudah tidak peduli lagi dengan film aksi yang diputar di televisi. Jarang sekali dia bisa seperti itu.
Hening.
Iya, kami masih tercengang. Keheningan ini membuat ruangan hanya diisi oleh suara-suara dari film (sekarang tokoh utama tengah menembaki musuh dengan senapan). Tidak ada Jason yang meracau ketika menonton dan obrolan aku juga Ran yang menyenangkan. Semuanya berubah jadi lengang. Kini aku dan Jason benar-benar tidak tahu bagaimana cara menanggapinya, selain menganga lebar dengan tatapan tidak percaya.
"Aku yang membawa kalian ke mari ... sebenarnya." Akhirnya Ran buka suara. Berhasil memecah kesunyian.
Eh, tunggu, apa dia bilang?
Aku membelalakan mata kaget. "Jadi kamu? Astaga, kita harus ngobrol banyak! Aku butuh penjelasan!"
"Ran! Kenapa kamu tidak bilang sejak awal, sih?" geram Jason.
Laki-laki itu (si biang kerok dari semua pengalaman tidak menyenangkan ini) mengusap tengkuk lehernya sambil meringis. "Yah, bagaimana, ya .... Aku bingung mau mulai dari mana. Lagipula ini hanya uji coba, aku saja masih kaget kalau kalian benar-benar bisa pindah ke sini."
Aku menghela napas. Berusaha sabar dan menekan dalam-dalam keinginan untuk mencakar wajah Ran sekarang juga.
Jadi barusan dia bilang apa? Ini sekadar 'uji coba'? Semua penderitaan ini: badan lemas, kepala bocor, diagnosis amnesia, pusing memikirkan banyak hal, tersesat di hutan, pingsan, bertemu Dir (orang yang enggan menjawab segala pertanyaanku), hampir mati di tempat transisi, kehujanan, memanjati akar pohon raksasa .... Maka kesimpulanku, Ran pasti gila.
Dia jauh, eh, tidak, tidak. Tapi jauuh ... lebih gila dariku (menurut standar kegilaan Jason). Oke, memang orang gila mana yang mengorbankan manusia tidak berdosa untuk menguji hasil penelitiannya, selain Ran? (Yah, lupakan soal kasus-kasus di frekuensi satu. Aku sedang membahas tentang masalah yang ada di sini sekarang.)
Aku mendengkus kasar kemudian segera melempar bantal sofa tepat di sampingku ke arah Ran. Dan ... headshot! Aku tidak menyangka bisa melakukan hal yang biasa Jason lakukan.
"Duh," keluh Ran sambil menyentuh kepalanya.
"Seharusnya kau bilang dari awal! Rasakan, tuh," kesalku, masih bersungut-sungut.
Jason terkekeh melihatnya. Lalu aku buru-buru menyalak, ini tidak lucu. "Iya, iya. Sori. Omong-omong, Ran, kau sukses membangunkan singa betina!" kata Jason. Malah memperkeruh emosiku.
Aku mengambil bantal sofa lain dan melemparnya lagi, tapi sekarang, tertuju kepada Jason.
Headshot!
***
Saat ini, suasana sudah jauh lebih tenang. Ini semua karena Ran menawariku es krim dari lemari pendinginnya. Ini tidak asyik. Padahal, aku masih ingin marah-marah di depan laki-laki itu.
Oke, memang siapa yang bisa mengelak kalau makanan atau minuman kesukaan (aku masih bingung dalam penggolongan es krim) kita dijadikan sebagai pengalih perhatian?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...