9 || Quardon

2.6K 584 29
                                    

Keesokannya (iya, setelah aku terang-terangan menangis di depan Jason) aku diperbolehkan pulang.

Omong-omong masih ingat dengan pria berjas putih? Itu lho, yang mengataiku memiliki gangguan kejiwaan. Ternyata namanya Dir. Lucu juga. Tadi aku melihat tanda pengenal pria itu dan di sana tertulis dr. Dir, aku hampir tertawa ketika membacanya. Maksudku, coba bayangkan kalau kata 'i' terhapus di tanda pengenalnya, pasti jadi dr. Dr (baca: dokter Der atau dokter Drrr atau dokter Dokter). Oke, lupakan soal pikiran kekanakanku. Sedetik kemudian aku sadar kalau diagnosa dokter Dokter ada benarnya juga.

Sial. Aku melakukan itu lagi.

Tadi, Dir (mari kita menyebut namanya langsung agar tidak ada kekacauan) kaget begitu melihat Jason ada di kamar inapku. Mungkin dia tidak biasa melihat orang asing, jadi Dir langsung menanyakan nama Jason kemudian buru-buru mengecek identitasnya di aplikasi Knowing.

Tak selang berapa lama, pria itu menghela napas. "Ah, kau saudaranya," kata Dir sambil tersenyum ramah kepada Jason. "Aku kira kau siapa. Soalnya Jane sedang dalam masa penyembuhan, dan akhir-akhir ini pemerintah Quardon sedang riuh akan .... Eh, astaga, kenapa aku bicara soal pemerintahan di depan anak kecil. Yah, intinya kalian harus berhati-hati," kata Dir mengingatkan, sambil membenarkan kacamatanya yang longgar. "Dan Jane, bagaimana keadaanmu sekarang?"

Aku dan Jason saling berpandangan.

Omong-omong, Quardon adalah sebutan kota ini. Kemarin aku sempat mencari-cari informasi tentang Quardon Hage di internet. Iya, mirip-mirip dengan nama salah satu desa di Inggris, Quarndon. Yang ini mungkin kebetulan. Balik lagi ke awal. Tapi, aku tidak menemukan satupun soal kabar pemerintahan mereka. Ini aneh. Memang ada apa dengan pemerintah Quardon?

"Hati-hati akan apa?" tanyaku penasaran.

"Memangnya berhati-hati harus punya alasan?" tanya Dir balik. Iya, dia masih suka membalas pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya. Menyebalkan. Dir tidak cocok jadi dokter. Bahkan usianya terlampau muda dan mustahil untuk menjadi seorang dokter apabila ia tinggal di frekuensi 1. "Jadi, Jane, bagaimana kondisimu sekarang? Sudah lebih baik?"

Aku mendengus. Lalu aku ingat, tidak sopan mendengus di depan orang yang sudah membantuku, jadi aku buru-buru meralat ekspresi wajah. "Jauh lebih baik. Malah sudah sehat sekarang." Bukan aku yang menjawab tentu saja, tapi Jason. Entahlah apa yang laki-laki itu rencanakan. Aku diam saja, walau jawabannya tidak merepresentasikan kondisiku yang sesungguhnya. "Jadi, apa dia boleh pulang hari ini?" tanya Jason harap-harap aku diperbolehkan.

Dir bergumam panjang, tampaknya sedang menimbang-nimbang apakah sebaiknya aku dipulangkan saja atau menetap di sini dan terus-menerus merepotkannya. Tapi tak lama kemudian dia menjawab. "Boleh, asal dia rutin meminum obat."

Sepertinya Dir benar-benar membenciku.

***

Dan di sinilah aku sekarang. Ikut-ikutan terdampar di rumah milik Ran. Aku juga sudah tidak pegang tab milik Dir. Tentu saja sudah aku kembalikan.

Oh iya, katanya, Jason sudah izin kepada Ran, kalau dia akan mengajak 'adiknya nan cantik' ini yang baru saja keluar dari Rumah Sakit untuk turut mengungsi di rumah Ran. Entahlah bagaimana Jason menjelaskan hal ini lebih lanjut. Karena kalau aku sungguhan jadi Ran, aku tidak akan menurutinya. Serius. Ran pasti orang yang aneh.

"Nah, ini," dorong Jason kepadaku di meja makan. Dia memberikan salad yang diambil dari lemari pendingin dan segelas air. "Katanya, Ran akan pulang tak lama lagi. Dia sedang menyelesaikan kelas terakhir."

Aku menerima sepiring salad dan segelas air itu sambil mengangguk-anggukan kepala. "Kamu tadi bilang apa saja sama Ran? Kok, dia bisa-bisanya menerimaku dengan mudah? Kalau aku jadi dia, aku akan tolak mentah-mentah keinginanmu. Merepotkan." Lalu aku menyuap sesendok salad ke dalam mulut, mengunyah seraya menatap Jason lurus-lurus, menunggu jawaban dari laki-laki itu. Omong-omong, salad ini enak juga.

Jason mengedikan bahu. "Yah, tidak usah dibahas. Panjang ceritanya. Yang harus kita urus sekarang adalah Chris."

Benar juga. "Jadi kalau begitu, apa rencanamu?" Aku menyuap satu sendok lagi.

"Hei, harusnya aku yang bertanya, dong! Kan, kamu yang membawa kita ke sini."

Aku mengesah pelan sambil mengaduk-aduk salad. Itu masalahnya, aku tidak punya ide sama sekali untuk mengatasi hal ini. Mendadak nafsu makanku jadi hilang, padahal salad ini enak sekali, jauh lebih enak daripada makanan di rumah sakit. Tapi sekarang rasanya jadi hambar. Karena sadar aku tidak bisa memakan sepiring salad ini, aku meminum segelas air untuk menyudahinya saja. Lalu merenung sambil melihat-lihat isi rumah Ran.

Untuk seorang mahasiswa laki-laki yang tinggal sendirian, rumah Ran sangat rapi, seolah-olah dia memiliki pembantu di sini. Padahal nyatanya tidak sama sekali. Dan aku yakin kehadiran Jason tidak membantu. Jason anak yang jorok, dia pernah menyimpan baju kotornya di kolong ranjang selama sebulan lebih. Menjijikan. Berkebalikan dengan personalitas Ran. Oke, aku sok tahu.

Perlengkapan di rumah Ran juga terbilang lengkap. Untuk seorang mahasiswa yang tinggal tanpa orangtua, dia punya meja makan, peralatan dapur yang komplet, rak-rak buku, televisi, dan masih banyak lagi. Kesimpulanku, Ran pasti berasal dari keluarga mampu.

Eh, tunggu, televisi! Pasti ada berita-berita terbaru di sana! Kita, kan, bisa mulai dengan mendalami kota Quardon lebih dulu.

"Jason ... menurutmu ada apa dengan pemerintah Quardon yang riuh, Dir yang tiba-tiba khawatir akan kehadiran orang asing, Dir yang membiarkanku pergi begitu saja, kita yang dipindahkan ke sini, dan Ran yang menerima kita tanpa curiga? Menurut pendapatmu, mereka semua berkaitan tidak?" tanyaku memancing Jason.

Dia memang butuh waktu sedikit lebih lama untuk mencerna semuanya. Baru ketika mata Jason membulat sempurna, aku langsung tahu kalau dia sudah paham. Lalu aku nyengir. Iya, semua ini garis lurus.

Tapi, Ran tiba-tiba pulang. Jauh lebih cepat dari dugaan.

***

a/n:

Hai! Saya bacain komentar dan saya ketawa (baca: ngakak) lihat responsnya. Tapi sori, saya enggak bisa balesin komentar lagi karena takut spoiler Hertz ke depan. Saya anaknya suka enggak sengaja 'menebar spoiler' XD. Iya, saya udah mikirin endingnya. #2020Hertzselesai!

Terima kasih banyak kalian! You are guys, is my reason why I have to finishing this project in 2020. Spread loves!

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang