1 || Rumah

16.6K 1.6K 141
                                    

"Hertz?" Ia mengernyit bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Apa itu? Apa hubungannya sama hertz?" tanya anak laki-laki itu penasaran.

"Hertz itu satuan frekuensi. Kamu tahu seberapa besar ambang batas pendengaran manusia?" Aku memberi jeda agar Chris bisa menjawab, tapi begitu melihatnya mengesah pelan lalu berkata lupa, maka aku menjelaskan kembali. "Kapasitas pendengaran kita sekitar 20 Hz - 20.000 Hz. Berbeda dengan lumba-lumba, anjing, dan seterusnya. Dengan mampu menangkap bunyi ultrasonik, lumba-lumba dapat mendengar dengan baik di dalam air bahkan mengenal sumber suara tersebut. Sedangkan anjing, kita bisa memanggilnya dengan peluit ultrasonik, peluit yang suaranya tidak dapat di dengar oleh kita sendiri. Oh, iya! Malahan kadang-kadang, anjing dapat menyadari keberadaan sesuatu yang tak terlihat."

Aku melihat Chris bergidik ngeri lalu menelan ludah. "Makanya dalam film-film horor, anjing selalu menjadi yang pertama tahu kehadiran mereka," timpal Chris mulai nyambung dengan penjelasanku.

"Betul." Aku menyetujui.

"Aku pikir kita butuh anjing sekarang juga," kata Chris. "Siapa tahu di rumah ini ada penghuninya, 'kan? Tahun kemarin Kakek meninggal, bagaimana kalau arwahnya mengikuti kita selama ini?"

Jason tiba-tiba melempar bantal terdekatnya ke arah kepala Chris. "Musim dingin membuat otakmu beku. Tidak ada hal-hal seperti itu di dunia!" komentarnya dengan jengkel. "Jane! Berhenti meracuni pikiran adikmu!" perintah Jason untuk yang ke sekian kali. Namun pada akhirnya, aku tetap mencerocos soal perspektifku dalam memandang dunia ke semua orang.

"Kamu tahu ekolokasi?" tanyaku kepada Chris lagi, tak mengacuhkan perkataan Jason baru saja.

Ia mengangguk mantap. "Hewannya mengeluarkan bunyi, terus menangkap suaranya lagi yang sudah terpantul sama benda-benda di sekelilingnya. Jadi, dia bisa tahu ada mangsa atau benda apa di depan."

Aku tersenyum lalu mengiakan. "Betul. Coba bayangkan kalau manusia punya kemampuan ekolokasi atau bisa mendengar suara-suara ultrasonik."

Chris mengerutkan dahi, berpikir sebentar. "Manusia bisa melihat di tempat gelap," jawabnya agak ragu, masih memikirkan kemungkinan lain.

"Secara teknis bukan melihat, tapi memang benar, kita pasti bisa tahu objek-objek sekitar walau di tempat yang minim cahaya." Aku bergumam panjang. Agak bingung bagaimana cara menjelaskannya kepada Chris. "Lagi pula bukan cuma itu, hal lainnya ... kita bisa mengetahui ada apa saja di sekitar kita. Maksudku, hal-hal yang tidak terlihat. Itulah gunanya frekuensi, 'kan?"

Chris menatapku sambil mengerjap-ngerjapkan mata, entah kebingungan atau merasa tidak percaya bahwa kakaknya bisa sehebat ini.

"Jadi, penyebab kita tidak bisa melihat mereka karena frekuensi kita dengan mereka berbeda."

"Dari mana kau tahu semua ini?" tanya anak laki-laki itu (yang tidak aku sangka-sangka) dengan pandangan kagum. Matanya yang berbinar-binar berhasil membuat senyumku mengembang seketika.

Masih tersenyum lebar (merasa senang mendapat antusiasme dari orang lain) dan dengan bangga menjawab. "Riset."

Bantal lain mendarat di kepalaku. Dan tanpa melihat si pelaku pun aku sudah tahu ini ulah Jason. "Aku akan bilang Ibu kalau waktumu selama ini cuma dipakai oleh riset-riset tidak berguna!" ancamnya kekanakan. Setelah itu ia kembali fokus dengan filmnya sambil memakan camilan di meja. Aku heran. Matanya sejak tadi fokus ke arah televisi, lalu bagaimana pendengarannya dapat menangkap jelas apa yang kami bicarakan?

Oh, bahan riset baru. Mungkin saja Jason memiliki kemampuan unik untuk menguping pembicaraan satu ruangan—mengingat telinganya selebar kuping gajah, jadi daun telinga yang lebar itu pasti bermanfaat untuk menangkap pelbagai suara di satu tempat.

Tiga detik yang lalu aku baru saja melupakan dua fakta: pertama, Jason adalah kembaranku tak identik, dan kedua yang mana telingaku pasti juga ikut besar seperti miliknya.

Lupakan.

Di sudut lain, setelah meneguk jus jambu yang aku buat sendiri, aku kembali menekankan kalimat-kalimat awal. "Chris, dunia yang kita tempati itu besar. Jangan naif dengan menganggap manusia sebagai penguasa di muka bumi. Penguasa dari segi rantai makanan sampai cara berpikir kita saat ini. Karena bisa saja, di luar sana ada makhluk yang lebih cerdas daripada manusia. Siapa tahu, bukan?"

Chris tercenung sejenak. Untuk anak laki-laki usia sepuluh tahun, persepsi ini mungkin agak sulit diterima oleh logikanya. Jangankan anak sepuluh tahun, Jason saja tidak bisa menerima semua ini. Kata Jason aku gila, tapi kalau penjelasannya saja sudah sedetail ini, sekarang siapa yang lebih gila?

Gila.

Cukup kegilaannya. Karena Chris tiba-tiba saja bertanya perihal sesuatu yang belum bisa aku ketahui kebenarannya.

"Kalau begitu ... ada apa saja di dunia ini?" []

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang