Baru beberapa menit setelah ia masuk ke dalam ruangan ini, Jason sudah cerita banyak. Banyak sekali. Dan terdengar antusias. Antusias sekali.
Air mataku sudah kering (lagipula aku tidak sudi menangis terang-terangan di depannya) dan detak jantungku sudah kembali normal. Jadi, yah, semuanya terdengar jauh lebih baik. Setidaknya untuk saat ini.
Kemarin Jason mendarat (aku rasa kata 'mendarat' lebih cocok untuknya) di pinggir jalan, bukan di hutan liar. Ini menyebalkan. Dia tidak harus berhadapan dengan pohon-pohon raksasa dan hujan lebat seperti yang aku alami kemarin. Lalu kata Jason, dia dibantu oleh seorang laki-laki yang usianya terpaut dua tahun lebih tua darinya (waktu aku tanya bagaimana tampang laki-laki itu, lebih tampan darinya atau tidak, Jason merengut). Laki-laki itu, Ran, memperbolehkan Jason untuk menginap di rumahnya sementara. Dan lagi-lagi sementara itu bentuknya relatif.
"Kenapa Ran tiba-tiba mau membantumu?" tanyaku.
Jason mengedikan bahu. "Mungkin ketika kita berpapasan di jalan, mendadak dia ingin aku jadi temannya. Berhubung aku anak yang asyik," katanya congkak.
Aku mengernyitkan dahi. Aneh sekali. Mana ada orang yang memiliki pola pikir seperti itu di dunia? (Yah, Jason terkecuali.) Jadi kesimpulanku, Ran pasti merasa kasihan, melihat wajah memelas Jason ketika di pinggir jalan kemarin.
Kemudian Jason bercerita panjang-lebar kalau Ran itu seorang mahasiswa yang seratus persen sama asyiknya, bukan mahasiswa seperti pada umumnya yang isi otaknya cuma skripsi, skripsi, dan skripsi.
Kata Jason, di rumah Ran punya video game. Dia juga suka nonton film action, film-film action superhero di sini tidak kalah kerennya dengan film Avengers, jadi kemarin mereka tidur larut malam (hal yang tidak bisa dilakukan di Minnesota karena Ibu akan marah-marah tak keruan) menghabiskan tiga film sekaligus, semalam mereka juga makan fast food yang rasanya sama persis seperti di rumah, tadi pagi mereka sarapan salad, sebelum Ran berangkat ke kampus ia meminjamkan ponsel (laki-laki itu punya dua ponsel katanya), lalu Jason dibuatkan akun Knowing oleh Ran, dan cerita masih berlanjut panjang. Panjang sekali.
"Berhenti, berhenti. Aku sudah tahu arah jalan ceritanya ke mana," putusku sambil menguap kebosanan. Kenapa juga aku harus mendengar semua ocehannya?
Jason kesal. Tak lama kemudian ia mengambil bantal di ranjang kosong sebelahku, lalu berancang-ancang dan ... bugh. Head shot.
"Jason! Kepalaku!"
Yah, rasanya seperti sudah pulang ke rumah.
***
Setelah berbagai drama telah usai—kepalaku pendarahan lagi karena Jason, membuat kamera layang itu mengirim sinyal merah dan dokter-dokter segera datang ke kamarku untuk menangani situasi—ruangan ini kembali tenang. Maksudku, Jason yang tenang. Laki-laki itu duduk di sofa yang tak jauh dari ranjangku. Diam ... menunduk, sambil memainkan jari-jemarinya.
Aku terbaring di ranjang dengan selimut yang membungkus badan, tidak diperbolehkan berkeliaran dan berdiri tegak barang sebentar sebelum darahku kembali normal. Yah, penderitaanku saat ini bertambah satu: anemia. Penderita anemia jika dipaksakan berjalan, bisa pingsan mendadak. Dan aku tidak mau itu terjadi.
"Kenapa kamu bisa ada di rumah sakit?" tanya Jason setelah termenung selama beberapa menit. Dia seperti orang yang shock berat. Aku yakin tadi dia panik setengah mati ketika melihat darah di kepalaku mengalir karena ulahnya.
Aku meliriknya sebentar, Jason masih menunduk sambil memain-mainkan jari, lalu menghela napas. "Kemarin siang aku jatuh pingsan dan terantuk batu. Ada hujan lebat."
Jason terkejut, lalu dia buru-buru mengubah ekspresi wajahnya itu menjadi datar. "Memang kamu dipindahkan ke mana?"
"Hutan."
Sekarang dia benar-benar terkejut. Matanya memandangku, tapi aku tidak balas memandangnya, aku lebih memilih untuk melihat langit-langit putih polos yang membosankan. Langit-langit putih polos yang tidak tahu-menahu ... bahwa kini mataku berkaca-kaca lagi.
"Maaf, Jane, karena tidak mencarimu lebih awal ...." Suara Jason terdengar serak ketika mengatakannya.
Aku tersenyum getir. "Tidak masalah." Air mataku mengalir di pipi, kemudian aku buru-buru menghapusnya sebelum Jason melihat. Aku tidak mau Jason melihatku menangis. "Tapi bagaimana dengan Chris?" tanyaku dengan nada yang tak kalah serak.
Dari ujung mataku, aku lihat Jason menunduk dalam-dalam. Laki-laki itu terlihat putus asa, seolah-olah tidak ada harapan lagi di depan sana. Tapi semoga yang kulihat tidak benar. Semoga aku salah hari ini. Maka aku menelan ludah susah payah, berharap mendengar jawaban baik darinya.
"Aku tidak tahu. Dia tidak terdaftar dalam akun Knowing."
Tangisku pecah seketika. Aku menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuhku. Lantas aku menangis terisak-isak di dalamnya dan Jason tahu itu. Mungkin Jason juga tahu kalau aku sudah susah payah menahan tangis sejak tadi. Kembaranku itu selalu tahu semua hal yang aku sembunyikan.
"Jane ... masih ada hari esok, masih ada harapan. Kita akan mencarinya besok, setelah kamu sembuh." Jason melangkah mendekat, lantas duduk di pinggir ranjangku yang kosong. "Chris baik-baik saja. Chris harus baik-baik saja. Besok kita bisa mencarinya. Cepat sembuh."
Mendengar itu, aku menangis sejadi-jadinya.
Aku tidak sadar, kalau itu kali pertama Jason menghiburku ... di saat aku menangis. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...