Akhirnya, kami berada di ruang transisi lagi. Kami berempat kembali terjun bebas di tempat serba putih dengan dasar tanpa ujung lagi.
Tapi kali ini, ada yang berbeda.
Kami tidak berteriak melengking seperti awal-awal. Aku tidak lagi histeris karena jatuh dari ketinggian tak terhingga. Karena rasanya ... kosong. Kosong sekali sampai-sampai tidak memiliki sedikitpun nyawa untuk berteriak-teriak seperti dulu.
Sekarang aku jatuh terlentang menghadap ke atas. Dan, dadaku sesak.
Bukan sesak karena susah bernapas, bukan. Aku sesak karena Ran Tua sudah tidak lagi ada. Aku sesak karena Ran Tua rela mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan kami semua.
Bahkan dalam keadaan seperti ini pun, kaset memoriku dengan Ran Tua bisa terputar dalam kepala. Bahwa Ran Tua adalah pria yang baik dan penyabar. Ran Tua mendukungku, sangat-sangat mendukungku, seperti memberikan kasih sayang kepada anaknya sendiri.
Mengingat pelukan hangatnya, senyumannya, dan semua perlindungan yang pernah diberikan olehnya ... membuat mataku berkaca-kaca lagi.
Kenapa bukan aku saja yang pergi?
Kenapa harus Ran Tua? Kenapa dia harus mengorbankan dirinya sendiri?
Aku menyayangi Ran Tua seperti rasa sayangku kepada Ayah. Aku bersyukur ia pernah ada, meski tidak tinggal selamanya.
Aku menyesal karena selama ini terlalu egois untuk memikirkan diri sendiri. Aku tidak menyadarinya, bahwa di antara semua orang yang tersesat di frekuensi lain, yang paling menderita adalah Ran Tua. Yang paling dipermainkan adalah Ran Tua. Ran Tua sudah hidup terlalu lama bersama kebingungannya. Membayangkan itu, aku bahkan tidak sanggup. Rasanya seperti dicabik-cabik mengingat Ran Tua selama ini hidup sendirian, tanpa seseorang yang bahkan bisa memberikannya pelukan hangat, senyuman manis, dan semua dukungan-dukungan penting lainnya.
Dan sekarang, dia sudah pergi, dia pergi demi membebaskan kami semua.
Maka kemudian aku menutup wajahku dengan kedua tangan.
Di sana, aku menangis. Aku menangis sesenggukan lagi.
Aku tidak tahu sudah berapa banyak menangis hari ini.
***
Aku terbangun. Ritme denyut jantungku langsung tidak beraturan, sama halnya dengan napasku.
Aku terbangun ... di suatu tempat.
Kuedarkan pandangan. Lalu aku menangkap ada lemari-lemari pakaian dan buku, ada ranjang ukuran satu orang yang aku duduki, ada meja belajar putih, ada tempelan-tempelan menarik soal ...
... soal ringkasan pelajaran fisika.
Aku mengibaskan selimut tebal yang membungkus tubuhku, dan segera menuruni ranjang. Tadi pandanganku menangkap sesuatu yang menarik; sesuatu yang magis.
Langkahku mendekati meja belajar di sisi ranjang. Lantas, bola mataku terbuka lebar-lebar.
Ada banyak catatan-catatan yang ditempel ke tembok dekat meja belajar. Catatan itu tidak tersusun, ia berantakan sekali. Lalu ada satu benang merah yang ditempelkan.
Ujung benang merah sebelah kiri, ditempel pada kertas yang berisi catatan: Bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki keterbatasan untuk memandang dunia.
Aku membekap mulutku. Berusaha menahan haru agar air mata itu tidak tergelincir kembali di pipi.
Kemudian pandanganku mengikuti alur benang merah tersebut. Dan, sampailah pada ujung benang merah pada sisi kanan. Benang itu juga ditempelkan pada kertas yang berisi tulisan, seakan-akan, di sanalah kesimpulannya. Jadi isi catatannya: Hertz jawabannya. Frekuensi adalah jembatan untuk mengetahui itu semua.
"Aku pulang." Nadaku bergetar, karena rasanya seperti tidak mungkin; seperti masih bermimpi.
Jadi sekali lagi, kuedarkan pandangan ke sekitar.
Ranjang yang kukenal, dengan majalah National Geographic favorit-ku di samping bantal. Rak-rak buku yang kukenal. Meja belajar yang sering kugunakan untuk merangkai semua susunan kemungkinan Semesta. Dan terakhir, semua tempelan-tempelan di tembok, semua curahan kepalaku terhadap Semesta di tembok.
Aku benar-benar sudah pulang.
"Aku pulang. Aku pulang. Aku sudah di rumah." Tanganku ikut bergetar.
Kemudian, aku langsung bergegas keluar dari kamarku. Aku pergi ke kamar lainnya untuk menemui Jason dan Chris.
"JASON! CHRIS!"
Daun pintu putihnya segera kudorong. Dan karena itu, pintu kamar mereka jadi terbuka lebar-lebar.
Di dalam kamar, ada pakaian Jason yang bau dan berserakan di lantai. Ada sisa makanan yang membusuk di kolong-kolong meja. Ada konsol game yang belum digulung dan berantakan. Terakhir, ada Jason yang memeluk Chris erat-erat.
Ada Jason yang menangis.
Jadi aku buru-buru mengusap pipiku karena kelewat haru. Selanjutnya berlari untuk menggapai keduanya. Aku memeluk mereka, aku memeluk Jason dan Chris. Aku memeluk sambil menangis dan tersenyum dan bahagia dan sedih. Semuanya di waktu yang bersamaan.
"Kita sudah pulang. Kita benar-benar sudah pulang," lirihku. []
***
a/n: two chapters to go to epilogue, then the question is: ARE YOU READYYYYY?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...