44 || Lima Menit

318 115 2
                                    

Pintu lift terbuka, lalu aku segera mendorong pintu dan terbirit-birit berlari masuk.

"CHRIS!"

Chris yang masih terbaring di atas kasur karena tubuh terkulai lemas itu membuka matanya. Ia benar-benar membuka kelopak matanya! Lalu dengan pandangan yang sayu dan sembap, ia memanggilku dengan lirih. "Jane ...."

Aku buru-buru menghampiri adikku itu dan memeluknya.

Kemudian, Chris balas memelukku meski lemah.

Jadi aku semakin mempererat pelukan itu, karena rasanya seperti tidak mungkin. Rasanya seperti berhalusinasi bahwa Chris sudah bangun dan ia bisa memelukku setelah koma yang panjang dan kami berada jauh dari rumah. Seperti mimpi. Ini semua seperti jauh dari realitas. Padahal dulu, aku bisa memeluknya kapan saja, dan Chris selalu membalas pelukanku. Tapi sekarang, dengan semua kondisi ini, rasanya seperti langka untuk mendapatkan balasan peluk dari Chris. Aku benar-benar merindukan anak itu.

"Chris, aku minta maaf ...." Air mata mulai menggenang lagi di pipi. Rasanya panas.

"Aku mau pulang. Aku mau pulang, Jane."

Chris mulai menangis ketakutan. Dan aku mulai membenci diriku sendiri karena sudah membuatnya seperti ini.

"Suara itu ... suara yang memanggilku itu dari radio, adalah suara wanita di sini, Jane."

Manda.

Maksudnya pasti Manda.

Aku segera melepaskan pelukan, dan memegang kedua bahunya agar bisa melihat Chris dengan jelas. "Kita akan pulang. Aku usahakan kita akan pulang." Lalu aku menghapus air mata Chris yang mengalir tanpa henti di pipi. "Aku usahakan kita akan pulang," tegasku lagi sambil meyakinkan diri.

Chris mengangguk-angguk sambil sesenggukan sesekali. Sebelumnya, ia pasti habis menangis ketika melihat Jason setelah sekian lama.

"Sekarang istirahat lagi, ya." Kutarik selimut tebal di ranjang agar menutupi tubuh Chris sampai sedada. "Kita butuh waktu sebentar untuk mendiskusikan. Sebentar saja. Dan kita semua akan pulang." Aku mencium kening Chris.

"Janji padaku?"

Aku menatap lurus-lurus mata Chris yang penuh harap dan permohonan. Chris sudah melalui banyak hal. Koma di suatu tempat yang tidak dikenal, tidak ada orangtua di sisi, dan menghilang tiba-tiba pasti bukan hal yang diinginkan oleh anak kecil seumurannya. Aku tahu pasti itu.

Maka aku menarik senyum paksa untuk menenangkan Chris, agar semua terlihat sudah berada pada kontrol dan berjalan dengan sesuai. Demi Chris, aku memalsukan emosiku.

"Janji."

Aku dan Ran Muda sudah sama-sama berjanji.

***

"Kita punya waktu kurang lebih dua puluh menit sampai mereka tiba di sini. Mereka juga pasti masih berdiskusi sebentar." Jason berbicara seraya menatap penuh perhatian kepada monitor di depannya, dan berganti dengan jam di tangan yang entah didapat dari mana. "Berarti keputusan harus sudah diambil dalam waktu kisaran lima menit," putus Jason.

Kami diburu waktu.

Manda dan David (entah siapa itu) akan datang.

Kami harus mengambil keputusan cepat dan tepat sebelum mereka benar-benar menemui kami.

"Kita punya pulpen, jadi kita akan pergi dari sini secepatnya dan mengulur waktu." Ran Muda mulai menjelaskan rencana. "Lalu, kita akan mengambil alat lubang cacing itu di tempat yang disembunyikan oleh Frans—oleh keamanan Derivea."

Ingat dengan meja luas di ruangan pribadi Manda (lebih tepatnya di luar kamar)? Meja dengan monitor itu kini bisa menampilkan hologram untuk menjelaskan lokasi-lokasi di Derivea agar menjadi gambaran umum untuk kami.

Jason menggeser-geser layarnya untuk menunjukkan sesuatu.

"Kemungkinannya ada di sini." Laki-laki itu menunjuk sebuah ruangan yang dibalut oleh besi. "Ruangan paling dijaga ketat oleh Derivea."

Ran Muda mengeluarkan beberapa barang yang ia temukan dan diletakkannya pada meja sehingga tampilan hologram tadi agak terganggu. "Kita punya semua alat ini. Kita pasti bisa memaksimalkannya," kata Ran Muda.

Mereka berdua saling bertatapan sepersekian detik untuk saling mengangguk kemudian.

"Ini rencana kami berdua," tutur Ran Muda lagi.

Jason mematikan mode hologram dan layar pada monitor di meja. "Sudah tiga menit, tersisa dua menit lagi untuk mengambil keputusan," tutup Jason.

Aku diam.

Aku bingung.

Kepalaku sakit.

Semuanya terlalu mendadak.

"Ran, bagaimana denganmu?" tanya Jason kepada Ran Tua. "Kondisimu sudah baik-baik saja, 'kan?"

Ran Tua agak termenung. Sepertinya ia juga kesulitan dalam mencerna semua ini. "Aku sudah baik."

"Lalu keputusannya?" desak Jason.

Ran Tua mengusap wajahnya frustasi. "Ada banyak tugas yang belum kita selesaikan di sini. Kita tidak tahu apa motivasi mereka, kenapa mereka menganggap kita berbahaya, dan—"

"Sudah tidak ada waktu lagi, Ran!" bentak Jason yang berhasil membuat kami semua semakin merasakan suasana tegangnya. "Apa keputusanmu? Kalau kamu tidak setuju, bagaimana rencanamu? Apa kamu ada rencana yang lebih baik daripada ini?"

Ran Tua tampak gamang; tampak sekali ia juga tidak memiliki rencana, sama sepertiku. "Aku mengikuti keputusanku dari masa lalu," jawab Ran Tua sambil bertukar tatap dengan Ran Muda.

Ran Muda memberikan tatapan hangat dan berterimakasih meski sebentar. Tidak lama, karena suasana mencekam itu kembali lagi.

"Satu menit lagi, Jane." Jason memerhatikan jam tangannya lagi. "Kamu punya waktu satu menit untuk menjelaskan rencana cadanganmu seandainya kamu tidak setuju."

Aku tidak punya apa-apa.

Aku tidak tahu hal apa yang harus dibicarakan lagi kalau kondisinya sudah di ujung tanduk seperti ini.

Aku harus percaya kepada mereka.

Aku harus percaya kepada Jason.

Aku harus yakin bahwa ini keputusan paling baik yang mereka rencanakan.

Aku harus yakin.

Cuma itu kuncinya.

"Kita jalankan ini. Aku akan memanggil Chris," ucapku.

Lalu kita semua bergegas.

Dan, waktu lima menit untuk berunding itu sudah habis, diketahui dari jam tangan Jason yang sudah berbunyi. []

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang