Dalam ruangan ini, ada satu ranjang berukuran king yang digunakan Manda untuk masa pengobatan—atau apapun itu—terhadap Chris. Dibandingkan kamar VVIP pada rumah sakit, ruangan ini lebih pantas dibilang kamar model umumnya dengan barang-barang yang mewah.
Kamarnya bernuansa cokelat keperakan dimulai dari tipe ranjang, lampu gantung besar, beberapa pot menawan, gorden, sofa dan meja, sampai almari. Lalu ada juga jendela kaca yang sangat tinggi, ia menunjukkan langit mulai menggelap di luar.
Aku menengadah ke atas, melihat lampu gantung yang memendarkan cahayanya ke seluruh sudut-sudut ruang. Kemudian pandanganku beralih kepada Chris yang masih tertidur di sana, dengan banyak selang-selang yang dipasang pada tubuh anak itu, menjadikannya lebih tampak menyedihkan berkali-kali lipat di mataku.
Jadi kuembuskan napas kasar sambil menautkan kedua jemari tangan. Aku harus berpikir. Sudah enam jam berlalu dan aku harus menemukan jawaban atas permasalahan ini.
Manda telah berusaha mendeteksi penyakit Chris sejak ia ditemukan di Derivea. Namun tidak ada yang bisa dilakukan, karena penyebab Chris koma adalah kondisi mentalnya yang syok berat, bukan indikasi umum seperti pendarahan atau peningkatan tekanan di otak.
Manda datang ke kami membawa nampan berisi teko dan cangkir-cangkir. "Ini kondisi langka. Hasil pemeriksaannya menunjukkan bahwa Chris hanya mengalami trauma psikis, bukan infeksi atau hal-hal yang terjadi pada fisik."
"Kalau begitu ia cuma tidak sadarkan diri," simpul Ran Tua dengan telunjuk yang mengelus dagu.
"Iya, kesadaran yang lepas dalam waktu yang panjang." Manda menuangkan air teh hangat dari tekonya pada kelima cangkir. "Itu sama saja dengan kondisi koma."
Manda menyuguhkan tehnya kepadaku, yang langsung kusambut dengan anggukan kepala sambil berterima kasih. Aku mengangkat secangkir teh tersebut dan segera menegaknya, merasakan air hangat yang menjalar di tenggorokan.
Tehnya enak. Manis dan rasa khas teh mengurangi hormon stressku di kepala. Ini adalah perasaan terbaik sejak enam jam sebelumnya.
"Makan malam akan datang sebentar lagi. Untuk hari ini sebaiknya kalian beristirahat." Manda ikut menyesap teh. "Lalu kita membahas hal beratnya besok."
Kemudian aku termenung. Melihat bayangan samar-samar wajahku pada air teh yang berwarna cokelat terang.
Aku menghela napas berat. Meskipun rasa sesaknya masih ada, tapi paling tidak sekarang sudah jauh lebih baik. Otak lama kelamaan mulai menerima situasi yang terjadi, dan ritme napasku juga sudah mulai normal kembali. "Semuanya akan segera membaik. Apapun yang terjadi, semuanya harus lekas membaik." Aku meneguhkan kalimat itu berulang kali dalam hati.
Selain itu, Jason juga masih terdiam. Mata sembapnya tidak mau lepas dari arah Chris yang tertidur, kendati ia sedang duduk bersama kami pada sofa di sini.
Selanjutnya, melihat keadaan yang beku dan hening tak berujung, Ran Muda memilih membuka obrolan. "Sepertinya kamu sudah mengetahui seluk-beluk kita semua di sini, Manda. Hanya kita yang belum tahu apa-apa tentangmu dan Derivea."
Manda tersenyum, dan meletakkan cangkir tehnya di meja. Ia melipat kaki kanan di atas kaki kiri, lalu memandangi Ran Muda untuk menunggu pertanyaan berikutnya.
"Jadi ... siapa kamu dan Derivea itu seperti apa?"
Wanita itu melepaskan kacamata dan menggantungkannya pada kerah leher pakaian, memperlihatkan bola matanya yang bulat dengan iris cokelat terang yang memukau. Kemudian ia bergumam. "Hm ... aku tadi sudah berjanji untuk tidak membahas hal-hal berat hari ini. Jadi mari membuatnya terdengar menyenangkan."
Kedua Ran terkekeh samar lalu mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman. Setelah itu mereka fokus mendengarkan Manda, terlihat dari tatapannya yang tidak teralihkan barang sedetikpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...