"Ini adikmu?"
"Ini si Ran yang kamu bilang?"
Begitulah awal pertemuan kami. Ran, laki-laki berusia delapan belas tahun dengan kepala botak, berkulit kecokelatan (aku tidak rasis), memiliki lesung pipi yang manis dan berjaket putih bersih. Yah, lumayan.
Omong-omong Ran mahasiswa semester dua, wajar ia belum memikirkan skripsi seperti yang Jason bilang. Lagipula dari kesan pertamaku tentangnya, Ran bukan tipikal mahasiswa yang nerd. Dia sangat-sangat santai. Santai ya, bukan asyik.
Sekarang kami bertiga duduk di ruang tengah. Tepatnya di atas karpet berbulu hitam. Sebenarnya ada sofa, tapi mereka lebih nyaman berguling-guling di bawah, jadi aku ikut saja. Di ruang tengah, ada televisi yang ukurannya 42 inch, sofa panjang, meja (lengkap dengan makanan dan minuman di atasnya), ada komik-komik juga dan video game.
Jadi di sini, Jason dan Ran mau nonton film aksi (iya, Jason sering lupa diri kalau sudah diajak nonton film), sedangkan aku sibuk merangkai pertanyaan-pertanyaan untuk Ran sambil memakan camilan yang baru laki-laki itu beli sepulang ke rumah.
"Jadi, kalian kembar?" tanya Ran tiba-tiba, mengalihkan pandangannya dari televisi ke arahku.
Aku nyaris tersedak kentang goreng. Untung, aku pandai membawa diri, jadi aku lekas-lekas mengangguk dan minum segelas air yang ada di meja. "Beda lima menit," lanjutku setelah kentang goreng tadi sudah tertelan sepenuhnya. Selang beberapa menit, aku memberanikan diri untuk bertanya. "Eng ... omong-omong, Ran, aku boleh menanyakan sesuatu?"
"Tanyakan saja." Laki-laki itu berpindah posisi dari tiduran jadi duduk menghadapku.
Aku bergumam. Bingung ingin bertanya dari mana. Tapi kalau mau diurutkan, seharusnya, aku bertanya soal pengetahuan mereka dulu tentang dunia ini. Iya, kan? Seperti aku bertanya pada Dir di awal pertemuan kami. Seharusnya.
"Jurusan apa yang kamu ambil?" tanyaku, tidak sesuai dengan yang direncanakan.
"Fisika murni," jawab Ran. Matanya masih lurus-lurus memandangku. "Kalau kamu tanya kenapa, yah, tidak ada jawabannya. Atau aku yang tidak bisa menjawabnya," lanjut laki-laki itu. Kemudian mengalihkan pandangan ke buku komik yang diambilnya dari meja.
Namun ia cuma membalikkan halaman buku komik itu dari awal sampai akhir dengan cepat. Tampak tidak berniat untuk membacanya ataupun menonton film.
Aku mengangguk-angguk mengerti sebagai tanggapan. Berarti aku tidak akan menanyakan alasannya kenapa. (Padahal aku penasaran setengah mati.)
Lalu tak lama kemudian aku kembali buka suara dengan nada menggebu. "Pasti seru. Maksudku, di sana kamu bisa belajar lebih dalam tentang elektromagnetika, teori kuantum, partikel-partikel ...." Aku berdecak kagum sambil geleng-geleng kepala. "Lulus nanti kamu bisa jadi ilmuwan!"
Ran tertawa mendengarnya. Dan tawa laki-laki itu terdengar hangat. Kurang lebih rasanya seperti sedang minum cokelat panas di tengah musim dingin Minnesota, atau seperti menghirup molekul udara yang padat ketika tubuh sedang demam tinggi (molekul udara yang padat dan berdekatan membuat suhu udara menurun, tahu, kan?). Kemudian entah mengapa, mendengar tawanya membuat sudut bibirku tertarik sempurna.
"Sepertinya kamu yang mau jadi ilmuwan," ucap Ran sambil tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya di sebelah kiri. "Dan omong-omong, fisika murni juga masih terbagi beberapa konsentrasi. Misalnya sekarang, aku mendalami fisika nuklir."
Aku melebarkan mata. "Eh, kok tahu? Kelihatan, ya? Hehe." Kemudian aku mulai tertarik seratus persen dalam perbincangan ini. Jason benar, Ran anak yang lumayan asyik. "Whoa, fisika nuklir! Aku pernah baca buku soal reaksi fusi dan fisi nuklir. Itu keren, serius! Reaksi antar inti atom yang bertubrukan, peleburan atom, radio elektromagnetik, sinar alfa; beta; gamma, senjata bom hidrogen .... Pasti serunya setengah mati!"
Air muka Ran ikut berapi-api sepertiku, dan sesekali dia juga tertawa. "Iya, kurang lebih seperti itu. Masih ada produksi elektromagnetik kaon, interaksi nukleon-nukleon, jadi yah, masih banyak, deh. Ada beberapa topik juga yang harus dipelajari, kosmologi misalnya. Omong-omong, aku boleh tanya, kan? Kenapa kamu gemar dengan fisika?"
Aku mengangguk lalu bergumam. "Kenapa, ya?" Sejenak aku berpikir panjang. Mengingat-ingat kembali mengapa aku bisa sejauh ini, mengapa aku bisa mencapai tempat ini. "Mungkin ... karena fisika menyangkut dengan hukum alam. Dan alam yang kita ketahui hari ini, kan, masih belum sepenuhnya alam yang benar-benar alam di luar sana. Mengerti maksudku? Rahasia alam adalah kasus terbesar yang belum terpecahkan oleh manusia. Jadi mungkin, karena itu semua," jelasku sambil menunduk dan tersenyum. Setelah mengingat ini, entah mengapa perasaanku jadi menghangat. Mungkin karena sadar kalau alam masih butuh manusia untuk membuka seluruh kedoknya.
"Kamu benar. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki keterbatasan untuk memandang dunia," kata Ran.
Jason mendadak mengalihkan fokusnya untuk menoleh ke arah kami. Aku terkesiap. Dan jantungku tiba-tiba berdegup kencang tak keruan. "Ran, kamu ...."
Laki-laki beriris mata cokelat terang itu tersenyum ramah. "Iya, aku tahu semuanya. Omong-omong, selamat datang di Quardon!"
Ternyata memang benar. Semua ini garis lurus. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...