46 || Puncak Kebencian

290 112 3
                                    

Perasaanku berkecamuk. Semuanya bercampur menjadi satu. Antara marah, sedih, terkejut, benci, muak.

Aku tidak lagi prihatin melihat orang-orang di depan sana yang bergelimpangan karena menghirup gas beracun itu. Empatiku tidak lagi tersisa bahkan untuk segelintir orang di frekuensi ini. Mereka, orang-orang di sini, adalah sekumpulan manusia yang memanfaatkan pengetahuan dengan gila sampai-sampai berani mengeksploitasi orang lain. Chris adalah salah satunya.

Bagaimana bisa mereka yang memanggil Chris, yang mengambilnya dari kami, lalu langsung melempari bola tenis berkamuflase bom begitu Chris tiba di tempat yang asing? Bagaimana bisa mereka tidak memiliki sedikitpun rasa empati kepada anak kecil?

Aku masih tidak paham. Bagaimana bisa ... mereka melempari Chris dengan bom ini ketika itu?

Maksudku, ini—ini sama sekali tidak masuk akal! Kenapa mereka melakukan ini kepada kami? Kenapa mereka melakukan ini kepada Chris?

Membuat Chris terkena ledakan gas secara sengaja? Itu kekerasan terhadap anak! Itu pelanggaran hak asasi!

Ini bom! Bom! Bom gas beracun!

Sejak kapan bom menjadi legal untuk dipergunakan sebagai perlawanan kepada anak-anak? Chris tahu apa? Memangnya Chris seberbahaya apa?

Chris tidak pantas mendapatkan semua perlakuan ini. Sama sekali tidak. Bayangkan saja, adikmu yang anak kecil dan tidak tahu-menahu mendadak ikut menjadi korban kekerasan.

Ini gila. Mereka benar-benar gila.

Tanpa sadar, tanganku berubah mengepal ketika memegang ransel itu. Aku mendengar suara mereka yang menjerit-jerit; yang mengaduh kesakitan; yang batuk-batuk sampai sesak napas. Aku mendengar suara kesakitan mereka sambil merasakan perasaan marah yang meluap-luap hebat. Benar-benar marah dan muak. Emosiku naik tidak terhingga lagi, melebihi batas koridor yang ada dalam diri.

Aku benar-benar membenci frekuensi ini; orang-orang di sini. Semakin aku mendengar suara batuk-batuk dan suara orang yang berusaha meraup-raup oksigen, emosiku semakin naik, naik, dan naik.

"BISA-BISANYA MEREKA PERNAH MELAKUKAN INI KEPADA CHRIS!" Aku membanting ransel yang ada pada genggaman, dan berhasil mengambil alih tongkat runcing yang ada pada Jason, kemudian berjalan ke arah mereka.

Kurasa mereka (Jason dan kedua Ran) terperanjat. Karena Jason langsung berlari mengejar dan berteriak kencang, "JANE BERHENTI!"

Tubuhku tiba-tiba merasakan hembusan angin dari kipas portabel yang lebih kuat lagi. Jason yang di belakang sana pasti sedang panik, ia takut aku yang akan menghirup gas itu. Tapi aku tidak peduli.

Aku sama sekali tidak peduli.

Gas lambat laun menipis. Lantas dengan nyali dan akal diambang kegilaan, aku menggenggam erat tongkat itu dan segera mendekati Frans yang kesadarannya mulai melemah.

"JANE!"

Jalanku bergema. Langkah yakinku menggema ke seluruh sudut-sudut lorong. Waktu seakan bergerak melambat. Tapi aku tidak peduli. Aku sama sekali tidak peduli.

Aku melihat Frans yang memegangi tenggorokannya kesakitan. Kadang-kadang tubuhnya juga sampai kejang. Aku tertawa miris, inilah yang pernah Chris alami ketika ia sampai di sini.

Inilah yang mereka pernah lakukan kepada Chris. Lebih parah dari tersesat di hutan raksasa, Chrislah yang menderita lebih buruk dari kita semua.

Dan aku muak. Aku benar-benar muak.

"Jane ... Jane, tolong aku." Frans merintih dengan suara super serak. Kedengaran seperti paru-parunya gagal fungsi sampai-sampai ia kesulitan bernapas. "Aku hanya mengikuti ... mengikuti arahan David. Kami ... kami semua hanya ... melaksanakan perintah."

Namun aku tidak ada sedikitpun rasa kasihan begitu memandangnya. Aku juga tidak merasa bersalah. Aku sama sekali tidak peduli Frans sudah batuk-batuk separah apa; seburuk apa, karena semakin aku mengetahui rasa sakitnya ... amarahku justru semakin terbakar; semakin berapi-api.

Aku menangis.

Aku menangis keras.

Lantas kemudian aku memberanikan diri untuk mengangkat kedua tangan. Sebagian diriku mengangkat tongkat runcing dengan kobaran api yang menyala-nyala. Sebagiannya lagi? Aku menangis. Aku menangis sambil merasa jijik tentang semua ini. "KAMU PANTAS MENDAPATKANNYA!"

Tongkat di tanganku meluncur. Meluncur ke arah Frans.

Aku benar-benar sudah gila.

Tapi aku tidak peduli. Tongkat itu sudah meluncur ke arah Frans dan lurus.

Lalu detik-detik terakhir, sebelum tongkatku menyentuh sesedikitnya tubuh Frans, seseorang menabrakkan tubuhnya kepadaku.

"JANE BERHENTI!"

Itu Jason. Jason yang menahanku dengan mendorong badannya sampai aku kelimpungan dan jatuh.

Aku memberontak. Berusaha memberontak sekuat tenaga. Namun energi Jason lebih kuat lagi dari yang kubayangkan.

Ran Muda juga tak lama datang, ia datang untuk mengamankan tongkat runcing itu dari tanganku.

Dan dijebak seperti ini, aku semakin marah. Aku semakin marah karena tidak bisa membalaskan dendam Chris. Aku semakin marah karena mereka bisa mempermainkan hidup kita seperti bidak catur, tetapi tidak sebaliknya. Aku semakin marah soal alur hidup ini.

"JANE BERHENTI!" bentak Jason, masih berusaha mengunci tubuhku yang jatuh tengkurap. Namun aku tetap bersikeras untuk kabur. "Ini bukan yang diinginkan Chris, Jane. Lihat Chris!"

Chris.

Chris ... kenapa?

Aku perlahan-lahan mulai berhenti memberontak. Jason memberikan kelonggaran atas tubuhku, lalu dari sini, aku melihat Chris yang jauh di sana bersama Ran Tua.

Chris ... menangis.

Dia menangis seperti anak kecil yang janjinya dibatalkan untuk membeli permen. Dia menangis sambil melihatku. Dia menangis karena ... melihatku?

"Ini bukan yang Chris inginkan." Jason mulai beranjak berdiri. Melepaskanku sepenuhnya.

"T-tapi, seperti inilah rasanya menjadi Chris waktu itu," ucapku dengan nada bergetar dan mata yang basah. "Seharusnya kamu tahu..." bisikku, melanjutkan.

Entah kenapa suaraku habis. Aku tidak sanggup lagi berkata panjang di depannya, dan tidak sanggup lagi melihat semua rasa sakit yang pernah Chris rasakan di sini.

Frans terbatuk hebat lagi. Pria itu bernapas terengah-engah. Ia berusaha meraup-raup oksigen menggunakan mulut seakan-akan hidungnya kurang bekerja dengan maksimal. Padahal, itu bukan karena hidungnya, melainkan paru-parunya. Gas beracun itu pasti sudah memenuhi semua rongga dalam paru-paru Frans.

Kondisi para penjaga keamanan lain juga tidak jauh berbeda, beberapa ada yang sudah tidak sadarkan diri, beberapa masih ada yang berusaha setengah mati menahan gas beracun tersebut. Menolak mati-matian supaya efek ledakannya tidak menggagalkan fungsi organ paru-paru, padahal sia-sia.

Melihat ini semua ... membuatku terpuruk; membuatku gagal menjadi seorang keluarga, seorang kakak. Membayangkan Chris terkena gas beracun dan disiksa seperti ini oleh mereka, membuatku rapuh dan menyesal. Membuatku sedih tidak keruan.

"Tetap saja, Jane! Chris tidak ingin melihatmu membunuh orang lain...."

Secara otomatis, tiba-tiba pendengaranku terfokus kepada suara tangis Chris yang jauh di sana. Tangisnya pecah dan seperti tantrum. Chris menangis. Dia menangis hebat. Dia menangis sambil melihatku.

Dia ... menangisiku.

Maka selanjutnya aku berteriak. Berteriak nyaring. Berteriak keras dengan air mata yang luruh di pipi.

Aku membenci diriku sendiri. []

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang