22 || Transisi

392 160 3
                                    

Angin berseru kencang. Rasa-rasanya seperti akan ada angin puting beliung yang menarik kami dari jarak dekat.

Jason berusaha keras untuk berdiri. Mungkin obatnya sudah mulai bekerja, tapi meskipun begitu ia masih agak kesulitan, jadi aku berbaik hati untuk membantunya dengan mengulurkan tangan sampai Jason bisa berdiri sempurna.

Ran Muda juga ikut berdiri sehabis mengurus atau mengetik sesuatu dalam laptopnya, kini laptop tersebut sudah dimasukkan kembali ke dalam ransel. Dan Ran Tua sama-sama mematikan ponsel.

Kami menghadap ke satu arah, seakan-akan kami ingin melawan sesuatu di depan sana.

"Ini seperti adegan dalam Avengers," bisik Jason penuh penekanan sambil mendekat kepadaku yang disambut hangat dengan tatapan sinis.

Aku mendelik, menyuruhnya agar diam. Karena siapa tahu, kita berada di kondisi yang genting. Posisi ini menunjukkan kita harus bersiap dengan apapun yang akan terjadi, sebab ada banyak kemungkinan, itu bisa hal baik atau buruk—atau malah keduanya. Kita tidak akan pernah tahu.

Lubang cacing itu muncul. Ia bergerak maju ke arah kami dan membesar secara perlahan-lahan.

"Tidak ada yang bilang kalau lubang cacing dimulai dari seukuran cacing dan membesar sampai bisa menelan manusia," cetus Jason asal sambil mengedikkan bahu.

"Tidak ada yang bilang kalau lubang cacing tampak transparan," tambahku dengan bola mata membesar karena kagum.

Ini kali pertama aku melihatnya dengan jelas. Lubang cacing itu berbentuk lingkaran yang transparan, seperti gelembung atau air. Aku juga heran pada awalnya, kenapa ia berbentuk seperti itu? Tapi kusadari bahwa tampilan transparan jauh lebih baik daripada kita harus ditelan dengan tampilan seperti lubang hitam.

Jadi kesimpulannya, memang tidak ada warna yang mencolok dari lubang cacing, tapi dari teksturnya kita bisa mengerti bahwa ia ada.

"Bersiaplah!" teriak Ran Muda memberikan aba-aba.

Kemudian kami segera membuat kuda-kuda, karena lubang cacing itu bergerak semakin mendekat dan membesar. Ia sepertinya sudah siap untuk melahap kami, berhubung lubang cacing juga memiliki kaitan erat soal gravitasi.

Dan omong-omong perihal gravitasi, ia berusaha menarik kami dengan kuat. Lebih kuat daripada tarikan gravitasi Bumi.

Lalu ... kami lenyap.

Dan lubang cacing itu tertutup. Menelan suara pekikan kami yang nyaring.

***

Kami terpental, terguling, terhuyung-huyung, terjun atau apapun itu. Sekeliling kami adalah warna putih tidak berujung. Tidak ada yang tahu ini lorong transisi berbentuk lingkaran, kotak atau malah tidak terbatas.

Yang jelas aku benar-benar seperti ingin mati karena berada di tempat transisi lagi.

Jason yang sejak tadi berteriak paling nyaring setelah aku, kini berseru, "INI BENAR-BENAR GILAAA!"

Meskipun kepalaku sudah cukup pusing karena terjun bebas dari ketinggian entah berapa meter, tapi aku bisa melihat dengan jelas ke arah suara itu: Jason terlampau banyak tingkah. Tubuhnya yang banyak bergerak dan berusaha menggapai-gapai membuatnya ia semakin menjerumuskan diri. Atau maksudku, membuat kepalanya malah terjun lebih dulu daripada kaki.

Aneh. Dia yang gila.

Sementara itu posisiku, yang kiranya sudah cukup ahli, sama seperti Ran Tua dan Ran Muda: kami berbaring layaknya tiarap di atas angin. Tubuh kami terhempas seutuhnya, tapi paling tidak ini mengurangi gejala pusing dan mau muntah karena kepala kami tidak dalam kondisi terbalik.

"AKU TAK PERCAYA ADA DI SINI LAGI!" pekik Jason, lagi, masih banyak tingkah sehingga posisinya tidak berubah-ubah.

"SUDAH CUKUP, AKU MAU MUNTAH!"

Dan Jason pingsan.

Pingsan dengan elegan, karena Jason hilang kesadaran ketika sedang terjun bebas. []

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang