"Anak-anak!"
Kami tersentak.
Rasanya seperti asing sekali bisa mendengar suara itu lagi.
"Itu Ibu," bisik Jason seraya mengusap hidung karena ingusnya yang hampir jatuh.
Aku menganggukkan kepala. "Itu pasti Ibu," ulangku, menegaskan.
"Aku lupa kalau masih ada Ibu," balas Chris sambil mendekat, ikut berbisik tapi penuh penekanan.
Maka aku menyenggol lengannya karena berbicara kelewatan. "Tentu masih ada Ibu!"
"JASON, JANE, CHRIS!"
Ibu sudah berteriak. Tandanya ada yang genting di luar sana, atau ada kesalahan yang baru saja kita lakukan, atau hal-hal lain yang lupa kita ketahui karena saking lamanya tidak tinggal bersama Ibu. Tapi masalahnya—dan seandainya, kita berbuat salah, memang kesalahan apa yang kita lakukan setelah kita menghilang lama?
Jadi daripada terus berspekulasi, maka kami buru-buru keluar dari kamar untuk menemui Ibu.
Ibu ada di ruang tamu. Maka kami berjalan ke arah sana.
Sampai-sampai di ruang tamu, Ibu sudah berkacak pinggang dengan mata menyalang marah. Ibu marah. Semua orang juga tahu kalau keadaan begitu pasti sudah marah. Namun kami tidak berfokus kepada ekspresi Ibu (yang baru kita temui setelah sekian lama malah marah-marah), melainkan kepada mereka yang duduk di sofa.
"Dari tadi sudah Ibu panggil berkali-kali," desisnya. Lalu Ibu menyapa sopan ke tamu sambil memperkenalkan kami. "Ini anak-anakku, Jason dan Jane, saudara kembar, lalu adiknya itu, Chris. Mereka agak bandel dan suka bertengkar, jadi maaf kalau-kalau rumah ini kelewat berisik, ya." Ibu tertawa canggung.
Tamunya mengangguk-angguk, dan, aku masih tidak percaya. Kami tidak percaya.
RAN?
"Kalian, sapalah, ini tetangga baru kita. Anaknya itu, Ran, dia seorang mahasiswa. Dan ayahnya, Tuan Charles." Mereka tersenyum ramah, membuat mataku membelalak semakin lebar. "Kita sudah ada tetangga jadi harapannya kalian bisa berkompromi untuk tidak berisik, apalagi di waktu malam," lanjut Ibu panjang lebar. Ibu kembali berkacak pinggang jika berbicara dengan kami, sementara itu Ibu akan menurunkan tangannya dengan sopan dan berbicara lembut kepada tetangga baru.
Tapi, aku tidak peduli. Karena semua Ibu di dunia memang begitu perubahan sikapnya terhadap anak-anak dan tamu di waktu yang bersamaan.
Terlepas daripada itu, yang lebih menarik perhatianku adalah kedua Ran ...
... ada di sini.
Mereka di frekuensi kami.
"Aku tinggal sebentar untuk membuat teh, ya." Ibu pergi, meninggalkan kami.
Kedua Ran berdiri. Mereka berpakaian rapi sekali. Ran Tua mengenakan setelan jas hitam anti kusut seperti ingin melamar pekerjaan, sementara itu Ran Muda memakai celana jins hitam dengan turtleneck lengan panjang merah marun seperti mau pergi jalan kencan. Ran Muda, di frekuensi ini, memiliki rambut dengan model undercut yang membuatnya (jujur saja) tampak lebih menawan daripada yang sudah-sudah. Ran Tua menggunakan kacamata bingkai hitam, rahangnya kelihatan lebih tegas dan keren dan aku tidak bisa mendeskripsikannya lagi.
"Hai." Ran Tua buka suara, merasa canggung karena melihat kami hanya mematung.
"Hai!" Chris berlari ke arahnya, lalu memeluk Ran Tua. "Aku senang kau pindah ke sini," kata anak itu sambil menengadah ke atas.
"Aku juga senang dipindahkan ke sini," jawab pria itu, dan mengusap kepala Chris dengan lembut.
Kemudian Ran Tua mengangkat wajahnya. Memandang lurus-lurus ke arahku. "Halo, Jane?"
Aku menggigit bibir. Enak saja dia bisa menyebutku seperti itu. Setelah semua yang dia lakukan, enak saja dia bisa memanggilku tanpa rasa bersalah.
"Aku minta maaf soal waktu itu," kata Ran Tua, matanya tampak memerah, tetapi ia tetap mengusahakan lengkung senyum itu tetap terbit di bibirnya. "Aku janji hal seperti itu tidak akan terjadi lagi."
Tangisku hampir pecah. Tapi aku juga mengusahakannya agar tidak lepas begitu saja. "Janji?" tanyaku dari jauh, masih menjaga jarak dari mereka.
Dan, Ran Tua mengangguk. "Janji."
Maka aku berlari untuk memeluknya. Aku berlari sambil membiarkan tetesan air itu mengalir untuk ke sekian kali di wajah. "Aku kira aku kehilanganmu," ucapku ketika sampai di pelukannya.
Ran Tua terkekeh, aku bisa mendengar tawanya dengan jelas dari sini, dari pelukan hangat di dadanya. "Namaku sekarang Charles. Aku bukan lagi masa depan Ran." Pria itu lantas memegangi kedua bahuku untuk menatapku dan Jason dan Chris dan Ran Muda dengan bergantian. "Semesta menyayangiku. Ia memberiku ruang untuk tetap hidup bersama kalian semua."
Sekarang Ran Muda terkekeh. "Dan ... masa depanku yang dulu sekarang telah menjadi ayahku."
Jason tertawa geli sembari mengusap air di matanya. Ia berusaha menarik udara karena ingus sudah menghambat pernapasannya, lalu Jason berjalan mendekat juga untuk menyenggol lengan Ran Muda. "Sekarang kita bisa menonton film Avengers bersama."
Semuanya tergelak.
Lalu, rasanya seperti mimpi telah menjadi kenyataan.
Rasanya seperti masa-masa ini ingin terus kubekukan.
Supaya terkenang; supaya bahagia selamanya.
"ASTAGA, KITA MENGHILANG BERAPA LAMA?" Jason tiba-tiba menyadari sesuatu, bola matanya hampir menggelinding keluar saking terkejutnya.
Ran Muda melirik kalender yang ada di meja tamu. "Kalian kurang lebih ... tiga tahun," jawabnya datar.
"ITU BERARTI AKU SUDAH DI PERGURUAN TINGGI?"
Dan yah, begitulah dunia alternatif yang diberikan oleh Semesta. Sutradara berbaik hati mengubah realitas demi kami, tetapi konsekuensinya, waktu—selama kami menghilang—tetaplah berjalan.
Tapi itu tidak masalah, karena ini semua sudah cukup.
Lebih dari cukup buatku. []
***
a/n: YA AMPUN SAUDARA-SAUDARA AKHIRNYA AKU MENAMATKAN CERITA RUMIT INI! cuma Hertz, yang bikin cerita kayak bikin skripsi.... :)
bab 52 buat kalian semua yang nanyain Ran sekarang ada di mana. jadiii, gimana perasaan kalian setelah membaca chapter ini?
OIYA GET READY FOR THE EPILOGUE YEAHHH
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz ✓
Science FictionBook Series #1 Ada dunia yang seharusnya tidak kita lihat, ada suara yang seharusnya tidak kita dengar. Frekuensi adalah satu-satunya cara agar kita bisa menyadari semua itu. Karena kadang, bukan mereka yang tidak ada, melainkan kita yang memiliki...