6 || Sudut Lain

4.2K 735 117
                                    

a/n: sebelumnya saya peringatkan kalau bab ini berisi 2350++ kata. happy reading :)).

***

Aku tidak tahu sekarang pukul berapa. Aku tidak tahu bagaimana kabar Chris dan Jason di sana. Aku bahkan tidak tahu di mana aku berada.

Iya, aku masih hidup. Agak menjengkelkan sebenarnya, karena itu berarti aku harus melewati semua percobaan panjang ini demi mendapat akhir yang tak pasti, bisa juga demi mendapat jawaban yang selama ini kunanti. Tapi kenapa hidupku tidak diakhiri saja di tempat sebelumnya? Di tempat transisi maksudku. Bukankah ini semua terlalu menyebalkan? Sudah benar-benar memasrahkan diri, eh, malah dipaksa menjalani hidup lagi.

Iya, rencana semesta memang semengejutkan itu rupanya.

Aku menendang bebatuan kecil di depan, sekadar meluapkan rasa kesal yang tak lagi mampu kutahan. Karena sejauh mata memandang, hutan belantara dengan pohon-pohon raksasanya tampak memenjarakan. Dan jujur, ini semua tampak ... seram. Oke, yah, jadi ini sama sekali tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Ini sama sekali bukan sambutan yang baik, membiarkan tamunya tersesat di hutan liar sendirian. Membawa kami ke daerah asing dengan terpisah-pisah. (Aku pernah membuat hipotesa tentang mereka yang—mungkin—berusaha mengambil kami dari satu frekuensi ke frekuensi lainnya, ingat?)

Sebenarnya apa yang mereka pikirkan? Apa ada kesalahan? Oke, mungkin memang ada kesalahan. Lalu sekarang apa yang harus kulakukan? Astaga, coba setidaknya beri aku tanda-tanda atau lebih baik bantuan, deh! Memangnya bagi mereka aku ini kelinci percobaan?

"Hei! Siapa saja! Ada yang bisa jelaskan kenapa aku di sini?" teriakku seraya melihat-lihat sekitar, siapa tahu ada orang atau apapun itu di daerah ini.

Namun nihil. Tidak ada jawaban.

Aku mendengus kesal dan menendang batu-batu kerikil itu lagi. Seandainya aku tahu cara untuk pulang, sudah kulakukan sedari tadi.

Angin kencang meniup, membuat dedaunan yang lebat milik pohon-pohon raksasa itu saling bergesekan. Kalau aku sudah bilang 'raksasa', berarti bentuknya itu benar-benar besar. Tingginya bisa empat kali (atau malah lebih) dari pohon-pohon rindang yang sudah tua di Bumi. Membuatku tampak seperti kurcaci di sini atau malahan seperti serangga yang super imut.

Bayangkan saja, aku bahkan tidak bisa meraih batangnya, cuma akar-akar yang keluar dari tanah saja yang mampu kusentuh. Dan akar-akar itu sangat mengganggu sebenarnya, menghambatku untuk mencari-cari Chris yang siapa tahu ada di sekitar sini juga. Tapi kalau mau berpikir positif, setidaknya ini bukan neraka. Maka tidak akan ada iblis dan antek-anteknya di sini. (Dan soal ini, Jasonlah yang berhipotesis menggunakan otak besarnya itu perihal: perpindahan frekuensi membuat kita bertemu dengan makhluk astral. Ingat? Tapi ternyata coba lihat? Dia salah besar.) Yah, kira-kira begitulah.

Angin-angin itu bertiup kian lama kian kencang, membuat helai-helai rambutku berterbangan, bunyi gesekkan antar pohon juga makin terdengar. Aku melipat kedua tangan untuk memeluk tubuh. Dirasa-rasa hawanya seperti dingin malam. Atau kalau bukan, hawanya seperti hujan deras yang mau turun. Namun karena jauh di atas sana aku masih bisa melihat seberkas cahaya matahari, itu berarti hawa ini bukan udara dingin malam, melainkan pertanda hujan lebat yang akan mengguyur tak lama lagi.

Dan sebenarnya ini termasuk masalah besar—padahal masalah pertama belum terselesaikan. Karena yang pertama, tidak ada tempat untuk berteduh, sebab duduk di bawah pohon pasti tidak akan cukup dan jangan lupakan soal udara dinginnya. Kedua, sampai sekarang aku masih belum menemukan mereka, yang terutamanya lagi Chris, karena anak itu belum bisa menjaga diri.

Sekali lagi aku katakan, situasi ini benar-benar menyebalkan.

Tak lama kemudian rintik-rintik hujan mulai turun. Astaga, aku belum siap! Aku mendongak, rupanya seberkas cahaya matahari tadi benar-benar telah tertutup awan hitam pekat di atas sana.

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang