14

2.2K 361 25
                                    

"Kakek," Jongseong mengeratkan jubah tidurnya, "Bukankah sudah terlalu larut untuk sebuah kunjungan?"

Kim Jinseong duduk bersila di hadapan Jongseong tanpa terhalangi oleh meja. Pria tua itu menatap cucu satu-satunya dengan pandangan yang sulit dijelaskan.  Jam kerja para pejabat sudah berakhir begitu matahari tenggelam. Jongseong tentu bertanya-tanya, apa yang membawa kakeknya datang ke kediaman Raja begitu seluruh menteri dan anggota dari tiap bidangnya sudah pulang?

Perasaan Jongseong mendadak tak enak. Jelas Dewan Negara bagian kiri tersebut hendak membicarakan hal serius—yang tentunya bersifat rahasia dan hanya menyangkut antara dirinya, dengan Kim Jinseong. Jika tidak, untuk apa dia berkunjung kemari secara diam-diam? Bahkan Huin Goongmin sama terkejutnya dengan Jongseong.

"Cucuku," Jinseong memainkan janggut berubannya sejenak sebelum memberikan tatapan menuntut, "Kau tahu tahtamu itu sedang dalam kondisi terguncang sejak selir Jungkook naik tahta menggantikan Appamu."

Jongseong mengangkat satu alisnya, "Aku  tahu itu lebih dari siapapun. Lalu apa masalahnya?"

"Apa masalahnya?" ulang Jinseong keki, "Permasalahannya ada pada dirimu, Baginda Raja. Kau terlalu menganggap sepele Paduka Agung dan juga Pangeran Heeseung. Aku tidak pernah melihatmu benar-benar berusaha melindungi tahta."

Urat-urat leher Jongseong mencetak. Tanda jika emosi Sang Raja tersulut, "Kakek pikir aku hanya diam selama ini?!" geramnya, "Aku sudah menjauhkan Pangeran Heeseung dari tahta. Adikku itu, dia ingin menjadi seorang tabib—"

"Manusia bisa berubah-ubah, Baginda Raja," potong Jinseong cepat, "Justru kau harus lebih waspada terhadap Pangeran Heeseung yang terlihat tak menginginkan kursi Raja, tetapi siapa yang bisa menebak isi hatinya?! Dia bisa memotong lehermu kapan saja sementara kau—kau percaya dia hanya akan menjadi tabib kerajaaan?! Mengapa kau begitu naif?!"

Jongseong melotot penuh emosi. Kedua telapak tangannya terkepal kuat di atas paha, "Apa inti dari semua perkataan kakek?" desisnya kemudian.

Jinseong berucap datar, "Bunuh Pangeran Heeseung."

"TIDAK!" tolak Jongseong mentah-mentah. Lelaki itu berdiri dari duduknya. Kemudian menatap kakeknya bengis, "Apa kakek sudah kehilangan akal?! Bagaimana mungkin kakek menyuruhku untuk membunuh adikku sendiri?!"

Sekelebat ingatan tentang hari-hari yang  Jongseong lalui bersama Pangeran Heeseung di waktu kecil melintas dipikirannya. Bagaimana lelaki itu tersenyum bangga untuknya karena berhasil memburu seekor rusa, bagaimana decak kagumnya Heeseung ketika Jongseong berhasil meraih nilai tinggi dalam ujian.

Jongseong bisa merasakan ketulusan Heeseung.

Meskipun membenci adik tirinya itu, Jongseong tak sampai hati untuk membunuhnya. Bagi Jongseong, menjauhi Heeseung sudah lebih dari cukup. Tidak perlu ada pertumpahan darah. Jongseong yakin. Sangat yakin bahwa Pangeran Heeseung tidak akan menginginkan tahta.

"Berhenti menutup mata terhadap kematian putraku," perkataan Jinseong merujuk pada mendiang Pangeran Permaisuri Jihoon, "Pangeran Heeseung dan Paduka Agung hidup sejahtera di atas makam Appamu. Dia menyangkal bahwa Paduka Agung Jeon Jungkook terlibat dalam kematian Appamu. Mengapa engkau masih mempercayainya, Baginda Raja?!—"

"Cukup sampai di sini," Jongseong berbalik memunggungi Dewan Negara bagian kiri, "Aku tidak mau mendengar apapun lagi. Cepat pergi sebelum aku terpaksa menyeret kakek dengan tidak terhormat," ucapnya tegas.

Tubuh Jongseong gemetaran, dan Jinseong mampu menangkap hal itu. Lelaki tua bermarga Kim tersebut mendecih, sedetik kemudian tertawa tanpa suara. Menertawai ikatan batin sepihak antara sepasang adik dan kakak itu. Baginda Raja yang keras kepala, Jinseong tentu tidak akan membuang-buang waktu lagi dengan meminta persetujuan cucunya.

The Shadow ; jaywon auTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang