Jiurong Jaeyun membuka matanya perlahan. Sepasang kelopak mata itu berkedut, merasa tertusuk oleh teriknya matahari. Perlu waktu beberapa saat baginya untuk menyadari bahwa saat ini dirinya tengah berbaring di ruangan yang bergerak.
Dia bisa mendengar suara berderak seperti sebuah roda, disusul guncangan ringan seolah-olah ruangan ini sedang bergerak. Guncangan itu muncul berkali-kali, datang dan pergi. Namun, tidak terlalu menganggu.
Asap dupa melayang di atas wajahnya. Jiurong Jaeyun bergeming. Hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang seharusnya dia lakukan daripada berbaring seperti ini.
Kemudian, potongan-potongan adegan muncul di hadapannya. Dia melihat dirinya sendiri terguling dari atas bukit bersalju lalu berhadapan dengan penjahat yang menyeret sebilah pedang.
Pangeran Heeseung menolongnya. Dia melalukan segala upaya yang dia bisa untuk menyelamatkan Jiurong Jaeyun. Pada saat enam buah panah diarahkan padanya, Jiurong Jaeyun tidak memiliki pilihan selain mati.
Ketika Jiurong Jaeyun telah siap untuk menerima rasa sakit, Jiurong Suan muncul pada detik terakhir, tertusuk panah menggantikannya.
"Tuan Muda! Apa yang kau lakukan?!" Tabib Militer berteriak.
Pria tua itu begitu ketakutan ketika melihat pasien yang seharusnya berbaring istirahat, kini tengah meracik obat sendiri di dekat tungku kecil.
Jiurong Jaeyun tidak menghiraukan seruan itu dan hanya fokus membuat obat. Tak lama kemudian, tabib militer kedua datang. Reaksi terkejutnya tak berbeda jauh dari tabib pertama.
"Tuan Muda! Kau belum boleh banyak bergerak!"
Jiurong Jaeyun menoleh cepat. Emosi di matanya mengandung kemarahan sekaligus rasa sakit, "Aku tahu kondisi tubuhku melebihi kalian dan aku tahu hal apa yang harus kulakukan!"
Ucapan sombong semacam ini secara tidak langsung menyinggung dua tabib militer tersebut. Namun, Jiurong Jaeyun tidak peduli. Dia hanya ingin mempersiapkan dirinya sendiri agar mampu kembali ke ibu kota secepat mungkin.
"Dalam empat jam, siapkan kuda untukku," Jiurong Jaeyun berkata sembari bergerak ke setiap sudut untuk mengambil bahan herbal, "Kalian tidak perlu takut pada Lee Sunghoon. Keterampilan medisku jauh lebih baik beberapa tingkat dari kalian."
Tabib militer berjanggut putih menghampiri. Dari segi usianya, dia jauh lebih tua dibanding rekan tabib di sebelahnya, "Tuan Muda, tenanglah! Aku tahu kau tidak ingin melewatkan pemakaman ayahmu, tetapi kau harus memperhatikan kondisimu terlebih dahulu!"
"Dengan kondisi seperti ini, terlebih di tengah-tengah musim dingin, bagaimana kau bisa bertahan mengendarai kuda hingga sampai ke ibu kota?! Pikirkan itu, Tuan Muda!"
Jiurong Jaeyun menghentikan kesibukannya. Dia terdiam membelakangi dua tabib militer. Tak lama kemudian, terdengar isakkan kecil, disusul gerakan bahunya yang naik dan turun.
Air mata Jiurong Jaeyun meluncur---menetes-netes di puncak hidungnya. Anak muda itu menunduk, menumpukan satu tangannya pada dinding kereta yang bergetar. Tubuhnya kemudian merosot, terduduk lemah tanpa ada seorangpun yang dia inginkan ada di sisinya untuk menguatkannya.
"Ayah ... ayah ..." Jiurong Jaeyun tersedak oleh tangisannya sendiri.
Dia mulai mengadu pada udara kosong, "Ayah, cucumu yang tidak sopan itu berani meninggalkanku sendirian. Pangeran Heeseung juga pergi ...."
Pemuda bersurai keemasan itu terisak-isak. Pikirannya kembali memutar adegan ketika enam panah meluncur dari kejauhan dan menusuk tubuh Jiurong Suan. Jiurong Jaeyun kemudian meletakkan satu tangan di dadanya sendiri, merasakan sakit tak tertahankan yang membuatnya kesulitan bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow ; jaywon au
FanfictionPosisi Pangeran Permaisuri yang ia dapatkan ternyata berlandaskan alasan busuk. Jika memilih menjadi orang bodoh, Jungwon akan bersedia melepas gelar tersebut. Namun, Jungwon tidak akan mengambil jalan itu. Dia akan berusaha mempertahankan kedudukan...