Tengah malam, Pangeran Heeseung terbangun karena merasa tenggorokannya kering. Dalam keadaan setengah terjaga, dia meraih cangkir berisi air yang telah disiapkan pelayan.
Saat dia bersiap untuk berbaring kembali, siluet seseorang dari balik jendela tenda menarik perhatiannya. Orang itu sedang duduk sendirian di depan nyala api. Kepalanya bergerak-gerak seolah sedang berbicara pada udara kosong.
Pangeran Heeseung menyipitkan mata. Pandanganya yang semula memburam perlahan-lahan memperjelas sosok bersurai putih itu.
"Mengapa Tuan Jiurong belum tidur?" suara Heeseung serak, menunjukkan jejak kelelahan.
Dia telah bekerja dari siang dan baru selesai ketika permulaan malam. Tuan Jiurong Suan juga memiliki jam kerja yang sama dengannya, tetapi bedanya orang tua itu masih memiliki tenaga untuk duduk-duduk bahkan di tengah gempuran suhu dingin.
Heeseung sangat takjub sekaligus heran.
Meraih mantel, Park Heeseung memutuskan untuk menghampiri Jiurong Suan. Dia bisa mendengar Jiurong Suan berbicara sesuatu yang entah apa maksudnya. Suaranya tidak terdengar begitu jelas. Namun, intonasinya lembut.
Sesuai perkiraan, ternyata dia memang sedang berbicara sendiri.
Setibanya di samping Jiurong Suan, Heeseung menyadari bahwa perkiraannya salah.
Jiurong Suan tidak berbicara sendiri.
Dia sedang berbicara pada seuntai kalung permata hijau.
"Bukankah itu milik Jiurong Jaeyun?" celetuk Pangeran Heeseung.
Pria tua bersurai putih di sampingnya tersentak, terkejut mendengar suara serak di tengah keheningan. Dia tampaknya terlalu asik berbicara dengan batu sampai-sampai tidak mendengar langkah kaki yang sengaja Pangeran Heeseung keraskan.
"Aku bertanya-tanya siapa orang menyedihkan yang berbicara tanpa mendapat balasan dari temannya," Pangeran Heeseung mendudukan diri di samping Jiurong Suan.
Dia menambahkan, "Aku merasa simpati lalu ingin datang untuk menemaninya mengobrol, tetapi sepertinya Tuan Jiurong tidak membutuhkan aku."
Mendengar itu, Jiurong Suan menampilkan raut menyesal, "Aku meminta maaf karena menganggu tidurmu, Pangeran."
Pangeran Heeseung menggeleng pelan. Dia berkata lembut, "Sama sekali bukan salahmu."
Dia lalu menunjuk permata di tangan Jiurong Suan, "Anakmu mungkin akan menangis setelah menyadari bahwa permatanya hilang."
"Ini bukan miliknya," Jiurong Suan menggeleng. Sorot matanya yang terus tertuju pada permata terlihat begitu lembut.
Park Heeseung tertegun sejenak. Selama ini, Jiurong Suan selalu menunjukkan taring dan mengaum seperti singa ketika Jiurong Jaeyun ada di sekitarnya. Begitu sepasang ayah dan anak itu bertengkar, Heeseung selalu menjadi tameng yang diseret ke sana ke mari oleh Jiurong Jaeyun untuk melindungi diri dari lemparan sepatu ayahnya
Baru kali ini dia melihat tatapan Jiurong Suan yang begitu lembut.
"Benda ini ... " Jiuong Suan terdiam sejenak, "Untuk anak Jiurong Jaeyun di masa depan."
Heeseung mengerti. Kalau begitu, Jiurong Jaeyun mungkin telah memiliki calon pasangan hidup tanpa anak itu ketahui, "Apakah memberi permata hijau berbentuk setetes air merupakan tradisi keluarga kalian?"
Setiap kali dia mengobrol dengan Jiurong Jaeyun, Pangeran Heeseung terkadang selalu salah fokus oleh permata yang menggantung di tengah-tengah dahi Jiurong Jaeyun. Permata itu sangat indah. Namun, karena pemiliknya kurang anggun, permata itu jadi kehilangan martabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow ; jaywon au
FanfictionPosisi Pangeran Permaisuri yang ia dapatkan ternyata berlandaskan alasan busuk. Jika memilih menjadi orang bodoh, Jungwon akan bersedia melepas gelar tersebut. Namun, Jungwon tidak akan mengambil jalan itu. Dia akan berusaha mempertahankan kedudukan...