Jungwon benar-benar melewati hari-hari dengan kegiatan berulang. Makan, minum ramuan herbal, berjemur lalu tidur. Betapa membosankan. Jongseong akhir-akhir ini agak sibuk sehingga hanya mengunjunginya ketika pekerjaannya selesai. Kerutan di wajah Jongseong terlihat jelas. Kantung mata lelaki itu menandakan jam tidurnya yang berkurang. Jungwon khawatir kesehatan suaminya akan memburuk.
"Dayang Lim, biarkan aku melihat perkembangan wabah cacar atau setidaknya bawakan alat-alat melukis. Aku bisa mati kebosanan lama-lama. Kalian tidak membiarkanku melakukan apapun, bahkan nenek tua biasa menyapu halaman ketika pagi dan sore hari," Jungwon mengomel.
Dayam Lim duduk di depannya-terpisah oleh meja berbentuk persegi paniang. Wanita itu menggeleng, "Pekerjaan Yang Mulia sepenuhnya dialihkan pada Baginda Raja atas perintahnya. Kami tidak memiliki kuasa untuk menolak. Bertahanlah sebentar demi kebaikanmu, Yang Mulia."
Jungwon menarik napas dan mengembuskannya perlahan, "Ya, tentu aku mengerti niat baik kalian, tetapi-ah sudahlah. Bagaimana kabar Baginda Raja? Apa semua baik-baik saja?"
"Majelis rapat berjalan seperti biasa. Dari yang Saya dengar, sejauh ini tidak ada hambatan. Anda tidak perlu mencemaskan Baginda Raja."
Sebenarnya ia merasa ragu dengan perkataan Dayang Lim. Kondisi Jungwon belum sepenuhnya membaik, masuk akal jika Dayang Lim mengarang cerita berakhir baik seperti dongeng penghantar tidur. Tujuannya agar Jungwon tidak memiliki beban pikiran. Sesuai pesan utama tabib kerajaan. Semoga saja Dayang Lim mengatakan yang sebenarnya.
Pertama kali Jungwon masuk ke ruang majelis rapat itu ketika dia menikah. Sudah bertahun-tahun berlalu. Tempat itu digunakan oleh Raja dan para pejabat untuk menuntaskan permasalahan yang melanda Tanah Penunjang. Tidak ada alasan baginya untuk datang ke sana. Hanya kantor pribadi Raja yang bisa Jungwon datangi. Itu pun tidak boleh terlalu lama.
Tangan Jungwon menyangga pelipisnya. Dia menghela panjang, kembali mengeluh, "Hah ... kalian enggan melihatku mempunyai beban pikiran, tetapi berdiam diri seperti patung bukanlah solusi yang tepat. Aku mengkhawatirkan segala hal jadinya. Masa laluku, wabah cacar, keadaan ayah dan ibuku, kenangan memalukan, segalanya bercampur menjadi satu."
"Maafkan hamba, Pangeran Permaisuri, tetapi yang kami inginkan adalah Yang Mulia bermeditasi sepanjang hari demi mendapatkan pikiran jernih," Dayang Lim tak kalah beragumen, "Jika Yang Mulia ingin mengajukan protes, maka Saya akan memberitahu Baginda Raja."
"Jangan! Lupakan saja kata-kataku barusan," Jungwon menjawab cepat, "Aku tidak ingin membuat Baginda Raja semakin kesulitan."
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sosok Jongseong muncul tanpa mengumumkan kedatangannya. Jubah merah delima yang dia kenakan berkibar pelan begitu dia masuk. Dayang Lim segera berdiri di sudut ruangan. Namun, Jongseong menyuruhnya pergi melalui gerakan mata.
"Yang Mulia, apakah pekerjaanmu selesai lebih awal?" tanya Jungwon lembut.
Ekspresi Jongseong tak terbaca. Ini adalah raut tembok yang selalu dia tampilkan di hadapan para pejabat, juga pada dirinya di masa lalu. Jungwon tahu suaminya sengaja memasang tampang begitu agar Jungwon tidak bisa menebak pikirannya. Sayangnya, sesuatu yang berusaha dia sembunyikan malah semakin terendus.
"Hm. Hanya laporan-laporan biasa. Tidak begitu penting," jawab Jongseong.
"Apakah kamu menjadi lebih sering mencurahkan isi hati pada danau dan mengatakan hal yang sebaliknya padaku?" Jungwon mengatakan hal itu sambil tersenyum teduh seperti biasa, tetapi Jongseong mampu menangkap kejengkelan dalam intonasinya.
"Kau bisa pergi ke kantor pribadi Raja jika tidak bisa memegang kata-kataku."
Jungwon berdiri dengan semangat. Namun, tubuhnya kembali merosot saat Jongseong berkata-
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow ; jaywon au
FanficPosisi Pangeran Permaisuri yang ia dapatkan ternyata berlandaskan alasan busuk. Jika memilih menjadi orang bodoh, Jungwon akan bersedia melepas gelar tersebut. Namun, Jungwon tidak akan mengambil jalan itu. Dia akan berusaha mempertahankan kedudukan...