Kursi tandu bergerak cepat menuju halaman kediaman Istana Khusus Raja. Mengabaikan rasa sakit pada kakinya, Yang Jungwon menaiki tangga tertatih-tatih dibantu oleh dayang Lim. Mereka berdua kemudian disambut oleh para pengurus kediaman Baginda Raja yang keseluruhannya menampilkan raut cemas.
Awalnya, Jungwon sudah bersiap untuk tidur. Namun, tiba-tiba saja dayang Lim mendapat kabar mendesak dari Kediaman Raja tentang kondisi Jongseong yang di luar kendali. Jungwon langsung pergi tanpa mempedulikan penampilannya. Dia hanya mengenakan jubah putih polos yang dibalut oleh mantel bulu rubah. Rambut panjang sehitam tintanya tergerai, tertiup-tiup oleh angin.
Ketika pintu kamar Baginda Raja dibuka, jantung Jungwon mencelos. Dia tidak bisa menjabarkan seberapa hancurnya kamar Baginda Raja sehingga dia terkesiap untuk beberapa saat.
Lee Sunghoon berkata, "Yang Mulia, izinkan aku untuk menemanimu."
"Tidak perlu" Pangeran Permaisuri menggeleng. Dia baru saja ingin menggerakkan kursi rodanya untuk masuk, tetapi Lee Sunghoon langsung menghalanginya.
"Kondisi Baginda Raja saat ini tidak bisa diprediksi. Hamba khawatir Yang Mulia mungkin akan terluka."
"Dia suamiku," Jungwon memberikan senyum menenangkan, "Aku bisa menanganinya. Kalian pergilah dulu."
Lee Sunghoon mengangguk, kemudian undur diri dari ambang pintu. Yang Jungwon kembali menggerakkan kursi rodanya, menghindari barang-barang yang berserakan di lantai menuju pintu lain di kamar itu. Di sana, dia melihat sosok Park Jongseong, sedang bersandar pada dinding dengan tatapan kosong.
Jungwon menggerakkan kursi rodanya, menciptakan suara gesekan yang cukup nyaring. Namun, suara itu tidak cukup untuk membangunkan Jongseong dari alam bawah sadarnya. Jungwon mendekat dan mendekat hingga tempurung lututnya hampir menyentuh telinga Baginda Raja.
Tangan Jungwon terulur, secara perlahan menarik kepala Jongseong agar bersandar pada lututnya. Kemudian, dia memanggil dengan suara lembut yang hampir tercekat. Rahang Jungwon mengeras, berusaha menahan isakkan.
"Mengapa duduk di lantai? Tidakkah Yang Mulia merasa kedinginan?"
"Jungwon?" Park Jongseong menoleh linglung. Dia lalu memindai wajah Pangeran Permaisuri dengan bingung, berkata hampir berbisik, "Kaukah itu?"
Ruangan itu sedikit gelap. Hanya ada bias cahaya tipis dari lilin yang berasal dari kamar tidur Raja. Hal itu membuat Jongseong kesulitan untuk memastikan siapa orang di sampingnya ini. Namun, begitu dia mendengar nada bicaranya yang lembut serta terpelajar, Jongseong langsung tahu bahwa orang ini adalah Jungwon.
"Pendampingmu ada di sini," Jungwon membungkuk sejenak, jemarinya bergerak membelai kepala Jongseong. Gerakannya lembut dan penuh perhatian, "Jangan bersandar pada dinding. Kemarilah, mengapa Yang Mulia menjauh?"
Jongseong menggeleng, "Kakimu masih terluka. Aku tidak ingin membuatmu kesakitan."
"Kalau begitu lebih baik kita keluar dari ruangan ini. Dayang-dayang pasti telah merapihkan kamarmu. Kau akan merasa lebih nyaman di sana."
Tidak ada jawaban. Keheningan melanda ruangan yang dingin itu selama beberapa saat. Mata bulat Jungwon bergerak memindai lukisan mendiang Pangeran Permaisuri yang digantung di dinding.
Hatinya mendadak terasa berat. Membayangkan Jongseong yang selalu terlihat keras dan tegas mencairkan topengnya ketika menghadap lukisan appanya, mencurahkan beban serta rasa sakit yang dia derita tanpa membaginya pada siapapun, termasuk pada Jungwon sendiri, Pendampingnya, Pangeran Permaisurinya.
"Jungwon, kau masih marah padaku?" Bukannya menjawab ajakan Jungwon, Jongseong malah melontarkan pertanyaan.
Sulit untuk melihat ekspresi Jongseong di ruangan minim cahaya ini. Jungwon hanya mampu menebak-nebak dari nada suaranya yang terdengar getir.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow ; jaywon au
FanfictionPosisi Pangeran Permaisuri yang ia dapatkan ternyata berlandaskan alasan busuk. Jika memilih menjadi orang bodoh, Jungwon akan bersedia melepas gelar tersebut. Namun, Jungwon tidak akan mengambil jalan itu. Dia akan berusaha mempertahankan kedudukan...