Titik-titik cahaya menembus jendela dari bahan kertas. Kepak sayap burung terdengar di atap paviliun, disertai dengan cicitan yang menyambut datangnya fajar. Pada satu sisi kamar, Pangeran Permaisuri duduk bersandar pada bantalan. Satu kakinya ditekuk, menopang satu tangannya. Mata bulatnya terpejam ketika merasakan sapuan kain lembab yang menyapu wajah serta bagian tubuh atasnya.
Tadi malam, Jungwon mengalami mimpi buruk. Dia kembali melihat orang-orang Shou Wen Nuan yang dibantai tepat di depan matanya. Mimpi itu berakhir dengan dia yang memangku mayat Chaegyung, lalu ketika dia terbangun, dia sadar bahwa dia tidak bisa melihat wajah penghuni Shou Wen Nuan lagi.
Dan dialah yang mengantar mereka pada gerbang kematian.
Andai saja dirinya lebih kuat, dia pasti bisa menyelamatkan mereka. Jungwon merasa dirinya sangat tidak berguna.
Malam itu dia bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Jika Jongseong tidak datang tepat waktu, dia pasti sudah mati.
Jungwon tidak menghabiskan banyak waktu dengan orang-orang Shou Wen Nuan, tetapi waktu yang Jungwon lalui bersama mereka memiliki tempat tersendiri di sudut hati Jungwon.
Tidak peduli bagaimana dirinya diperlakukan buruk, Jungwon hanya mengenang masa-masa menyenangkan.
Dia belum sempat memberi salam perpisahan yang layak, dia bahkan belum sempat mencicipi lebih banyak masakan Chaegyung.
Kini, Jungwon hanya bisa menatap kosong pada dinding kamar. Perasaan bersalah telah menggerogoti hatinya sejak awal, dan sekarang rasa bersalah itu tumbuh menjadi lubang besar di hatinya.
Apa yang harus kukatakan pada Yi Yu? Anak itu akan sendirian begitu Lee Suyeon dibawa kembali oleh keluarganya.
Dua orang tabib memasuki kamar Jungwon untuk mengganti perban dan mengolesi lukanya dengan salep khusus untuk luka logam. Jungwon kemudian meminum ramuan herbal yang disiapkan, dan dia mengerutkan kening ketika merasakan betapa pahitnya cairan itu.
Tak lama kemudian, penjaga pintu mengumumkan kehadiran Baginda Raja. Karena tidak bisa berdiri, Jungwon hanya bisa menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada bantalan.
Park Jongseong, dengan jubah merah kerah silang mengambil tempat di seberang Jungwon, duduk dengan kaki bersila. Dia masuk bersama para pelayan yang membawakan sarapan pagi.
Jungwon tersenyum melihat mangkuk di atas mejanya, "Bubur abalone."
Sebagian besar bubur itu berwarna pucat, didapat dari nasi yang digoreng terlebih dahulu dan dicampur dengan potongan abalone sebelum ditambahkan air. Potongan wortel segar dan juga daun bawang tersebar di dalamnya, membuat tampilan bubur itu semakin menggugah selera.
"Tanganmu ... apakah masih sakit?"
Jongseong bertanya ragu-ragu. Dia menatap bergantian pada sendok perak dan kesepuluh tangan Jungwon yang diperban.
Yang Jungwon menggerakkan jari-jarinya. Ujung matanya tampak berkedut, "Bukan masalah besar. Hanya sedikit perih."
Jongseong tiba-tiba marah, "Kau sebut itu bukan masalah besar?! Jarimu bahkan bergetar ketika mengambil sendok! Mana lagi yang bukan masalah besar?! Jangan bilang kalau luka punggung dan patah kakimu itu juga bukan masalah besar?!"
Diomeli seperti itu, Jungwon menegang sesaat karena terkejut, tetapi beberapa saat kemudian dia merasa Jongseong sangat lucu. Jungwon menggigit bibir, berusaha menahan tawa. Sayangnya hal itu tertangkap jelas di mata Jongseong.
Jongseong memasang wajah cemberut. Tangannya meyendokkan bubur ke mangkuk Jungwon, "Apa yang kau tertawakan?! Kau merasa senang karena berhasil membuat Yang Mulia Ini direpotkan setiap saat?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow ; jaywon au
FanfictionPosisi Pangeran Permaisuri yang ia dapatkan ternyata berlandaskan alasan busuk. Jika memilih menjadi orang bodoh, Jungwon akan bersedia melepas gelar tersebut. Namun, Jungwon tidak akan mengambil jalan itu. Dia akan berusaha mempertahankan kedudukan...