12. Pernikahan Mantan

11.3K 472 0
                                    

Devan menatap pria itu nyalang. Mengisyaratkan untuk tidak main-main dengannya. Atau ia tidak akan segan-segan untuk mematahkan leher pria itu saat ini juga. Pria tak dikenal itu langsung melenggang pergi tanpa pamit. Lantas, Devan berbalik dan mendapati Cecil tengah was-was.

"Dari mana saja? Kamu yang ajak aku  ke sini, kenapa malah ditinggal sendirian? Hampir saja aku dijamah lelaki biadab itu! Dasar egois!" Untung riuh para tamu undangan mendominasi. Suara cempreng milik Cecil tentu saja akan teredam oleh sahutan suara lautan manusia.

"Yang penting masih utuh. Lagian, aku datang tepat waktu. Ayo, ikut!" Tanpa ingin membalas kemarahan Cecil, Devan menarik tangan Cecil untuk mendekat ke arah pengantin.

Diketahui, pengantin itu bernama Alana, sekaligus matan kekasih Devan. Alana terlihat sangat cantik dengan baju pengantin berwarna putih tulang dipadu dengan make up yang membuat wanita itu amatlah menawan malam ini. Tentu saja malam pernikahan yang mewah.

"Selamat menempuh hidup baru," ucap Cecil, sembari menyalami tangan Alana. Namun, bukan sambutan ramah. Alana malah membiarkan tangan Cecil menggantung di udara tanpa berniat untuk menerima uluran tangannya.

Pandangan Alana beralih pada Devan yang diam di belakang Cecil. Pria itu menarik hati Alana untuk bangkit. Menyunggingkan senyum semanis gula, kemudian hendak menghambur ke pelukan. Namun, belum sempat Alana memeluk Devan, pria itu  lebih dulu menarik tubuhnya untuk mundur. Mengeratkan gandengan pada Cecil, persis seperti pasutri muda yang baru saja melaksanakan akad kemarin.

Cecil yang menyaksikan hanya bisa berdiri mematung. Ia terlihat cengo melihat sikap Devan yang cukup aneh menurutnya.

"Maaf, Alana. Saya sudah bertunangan. Sebaiknya, kita menjaga jarak. Saya takut tunangan saya salah paham."Sambil memeluk tubuh Cecil agar semakin merapat.

Saat Alana ingin memeluk Devan, tangan Cecil tiba-tiba terulur menghalangi. "Maaf, Mbak. Ada tunangannya di sini. Tolong hargai sedikit."

Cecil semakin mempererat pelukannya, membuat pria itu tersenyum samar.

"Devan!" panggil Alana keras. Ia berdecak kecewa sebab Cecil menghalangi langkahnya untuk bertemu dengan sosok lelaki tampan yang datang di hari pernikahan yang amat spesial ini.

Tanpa basa-basi, Devan segera mengakhiri pertemuannya pada gadis itu. "Maaf, Lana. Saya dan Cecil permisi dulu, karena ada hal yang sangat penting. Sekali lagi, selamat atas pernikahannya. Bahagia selalu."

Tanpa persetujuan Alana, Devan segera menarik diri dari keramaian sekaligus menyeret paksa Cecil. Cecil tak dapat mengimbangi langkah Devan seketika ngos-ngosan tatkala sampai di basement. Ia menatap Devan penuh selidik mengenai apa yang terjadi barusan. Cecil menuntut jawaban dari Devan, tetapi pria yang akan ditanya justru tengah tersenyum tipis. Sangat tipis, sampai Cecil menyadari dalam sekejap mata berubah menjadi seperti semula. Datar seperti tembok.

"Apa senyum-senyum? Jangan terlalu percaya diri. Aku tadi peluk kamu bukan karena suka. Aku tahu harga dirimu sedang anjlok di depan pengantin. Kamu pasti sudah tidak sabar untuk menanti di posisi itu, 'kan? Makanya cari pacar sana!" ujar Cecil panjang lebar. Gadis itu menatap aneh ke arah Devan yang kembali memasang raut datar. Padahal tadi pria itu ketika senyum, wajah tampannya ditambah manis. Komplit untuk dijadikan suami idaman para warga.

"Siapa juga yang senyum? Kamu lupa, minggu depan kita nikah? Ayo, pulang!" Tak ingin Cecil memperpanjang ceritanya. Devan segera beralih ke kursi kemudi. Dan segera menstater mobilnya. Kemudian melenggang pergi dari riuh warga yang tengah meramaikan acara bersatunya sebuah pasangan.

Jalanan cukup lenggang, Devan memacu kendaraan dengan kecepatan standar. Mengingat hari sudah malam dan tentu tak akan ada aktivitas lalu lalang sebanyak siang hari. Ia tak menatap Cecil sama sekali setelah perdebatan kecil sebelum berada di dalam kendaraan roda empat ini. Cecil enggan juga menatap Devan yang kelewat menyebalkan.

Rambu merah menjadi pertanda bahwa kendaraan harus berhenti. Sesaat, Cecil menoleh. Mendapati muka tak biasa dari Devan. Tidak ada lagi raut datar yang seperti biasanya. Cecil dapat memahami perubahan yang sangat drastis dari dalam diri pria di sampingnya. Seketika, Cecil dirundung ribuan pertanyaan yang siap meledak di otak. Apa yang terjadi dengan Devan?

"K-kamu kenapa?" tanya Cecil gagap. Ia mendadak kelu melihat perubahan raut yang Devan tunjukkan. Ciri khas muka datar seorang Devano menghilang dalam sekejap mata. Padahal sebelumnya pria itu bersikap biasa saja. Seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Seolah kejadian kondangan tadi tak tejadi.

Cecil berusaha paham ketika Devan menggeleng dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun, bagi Cecil ini kelewat. Jadi, ia beranikan diri untuk menepuk pundak laki-laki itu. Devan menoleh, disertai dengan senyum tipis.

"Jangan percaya diri lagi." Cecil mendengkus. Kemudian menegakkan tubuhnya seperti posisi semula. Ia menatap jalanan, tanpa mengalihkan pandangan kepada Devan. Ia biarkan pria itu menenangkan hatinya. "Kamu boleh cerita apa pun ketika sudah siap. Aku pasti akan menunggu dan senang hati mendengar curhatanmu. Asal, jangan menjadi orang yang over percaya diri," sambung Cecil.

Tak ada sahutan dari Devan. Pria itu fokus menyetir. Sampai kemudian ia menepikan mobilnya dan mematikan mesin. Devan menatap lekat ke arah Cecil.

"Kamu tahu Alana? Pengantin tadi? Itu mantanku," ucap Devan tanpa ragu. "Kau mau mendengar sebuah cerita?"

Cecil mengangguk antusias. Ia mencondongkan tubuhnya menghadap ke arah Devan. Namun, pria itu malah menghadap lurus ke depan. Terlihat, Devan menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Cecil paham, pasti teramat berat bagi Devan untuk saat ini.

"Kalau belum bisa cerita, tidak usah dipaksa. Aku pasti akan menunggu kapan pun kamu siap untuk-"

"Aku memiliki seorang kekasih. Lima tahun lalu, sebelum kebangkrutan perusahaan menimpaku. Dan, saat itu, Alana juga kepergok sedang jalan bersama seorang pria. Tentu saja aku murka. Mereka sama sekali tidak merasa bersalah padaku. Apalagi Alena malah menjauhiku karena kegagalan usahaku. Dia menyumpahi aku dengan ucapan buruknya. Dia juga berkata tak akan kembali padaku karena aku sudah menjadi miskin dengan utang yang banyak. Kerugian perusahaanku saat itu memang cukup membuatku benar-benar jatuh ke jurang. Alana memilih pria itu, karena pria itu lebih sukses daripada aku. Aku yang baru saja bangkrut, pasti tidak akan bisa memberikan apa-apa untuknya. Tapi, apakah aku harus menerima perlakuan seburuk itu? Di saat pasangan lainnya akan memberi dukungan pasangannya ketika gagal, mengapa Alana malah meninggalkan aku? Apa aku seburuk itu di mata dia?"

Devan menghentikan ucapannya. Ia menatap lurus ke depan, seolah ada layar lebar yang memutar ulang rangkaian peristiwa lima tahun lalu. Ketika Alana pergi darinya dan perusahaan yang ia rintis dengan jerih payahnya sendiri, hancur bak kepingan beling usai menghantam lantai.

Dadanya sesak bukan main, sampai tak sadar liquid bening berlinangan dari sepasang netra bening milik seorang pria. Sedangkan gadis di sampingnya mengatupkan bibir rapat. Cecil merasa, hidup Devan ternyata penuh lika-liku besar. Setelah mendengar cerita dari mulut Devan langsung. Cecil bukan merasa kasihan pada pria itu. Malah takjub membanjiri hati.

"Kamu hebat! Kudengar, perusahaanmu memiliki kenaikan signifikan dalam dua tahun terakhir. Lantas mengapa kamu masih memikirkan wanita kejam itu?" Cecil memberanikan diri mengelus pundak kekar milik Devan. Di balik paras rupawan, badan kekar, dan tampang datar. Ternyata Devan menyimpan kisah pilu yang membuatnya dilanda sendu.

"Lagipula, siapa yang akan cepat melupakan cinta pertama seorang lelaki setelah ibunya? Gak ada," jawab Devan. Pria itu kembali menyalakan mesin mobilnya. Kemudian memasang muka datar. Sedatar mungkin. Melupakan apa yang barusan terjadi.

Cecil hanya mengangguk. "Iya, aku tahu."

Ternyata manusia yang selama ini terlihat sempurna, menyimpan celah yang amat menyesakkan dada. Cecil tak bisa berkata apa-apa untuk Devan. Mengatakan untuk kuat saja, lidahnya kelu. Hati tidak ada yang tahu.

"Kamu bisa berbagi denganku kapan saja, anggap saja, aku temanmu sekarang. Asal, bawakan aku camilan ketika bercerita, aku pasti akan mendengarkan dengan sangat setia. Bayangkan saja saat ini kamu sedang mendongeng untuk anakmu nanti di masa depan. Pasti mere--"

"Anak? Anakku dan kamu?"

Seketika Cecil cengo.

Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang