Tawa Cecil terdengar menggema. Dia sangat tergelitik dengan sifat arogan Devan yang sangat buruk itu jika sudah kepepet. "Hahaha. Kamu benar-benar mencintaiku, Mas Devan?"
Devan bangkit. "Apa maksudmu? Apa perlu kamu tanyakan lagi? Bahkan, aku rela bersujud di kakimu, tadi. Agar kamu tetap tinggal."
"Kalau aku menyuruhmu menjauhi Mbak Dela, apa kamu sanggup."
Devan mengangguk mantap. "Bahkan, membunuhnya pun akan kulakukan untukmu."
Cecil mengikuti gerakan Devan, duduk tenang di sofa yang memang tersedia di ruangan pribadinya. "Gak perlu mengancamku. Aku sendiri bahkan rela menyerahkan tubuhku padamu. Terima kasih, sudah bersikeras mempertahankan rumah tangga kita."
"Kamu udah gak benci aku?" tanya Devan memastikan.
Cecil menggeleng. "Awalnya aku sangat benci. Kamu menggauliku dengan paksa. Tapi setelah aku tahu semua kebenarannya. Rasa benci itu seketika hilang entah ke mana. Jangan jelaskan apa pun padaku. Aku tahu, semua kebenaran yang bahkan kamu sendiri belum tentu tahu."
Alis Devan menukik. Benaknya penuh serentetan tanya. "Apa kebenaran yang gak aku tahu?"
Cecil tersenyum devil's. Melirik Devan sesaat, sebelum pandangannya fokus ke depan. "Kebenaran mengenai Mbak Dela dan Mas Aris yang ingin menghancurkan perusahaan milikmu. Mereka bekerja sama, untuk mengeruk hartamu. Apa yang kamu curigai tentang Mbak Dela yang seorang kaki tangan itu, memanglah benar. Mereka berdua punya bakingan kuat orang dalam. Jika tidak, dua pecundang itu gak akan seberani ini."
Devan tercengang dibuatnya. Jadi, kecurigaannya selama ini tidak salah? Lalu, siapakah dalangnya? "Apa kamu yakin?"
Cecil mengangguk mantap. "Sangat yakin. Karena aku sendiri yang melihat dengan mata kepala, jika Mas Aris dan Mbak Dela ketemuan. Mereka membahas, mengenai dokumen perusahaan yang hilang dan CCTV yang sengaja dirusak. Apa kamu masih ingat dengan kebodohan kamu beberapa bulan lalu? Kamu dengan sangat gampangnya, menunjukkan dokumen penting perusahaan pada Mbak Dela. Untuk apa, Mas?!" Cecil mulai geram.
Umpatan kecil keluar dari bibir Devan. Dia benar-benar termakan omongan Dela waktu lalu, jika dia tidak boleh terlalu percaya pada Zaki. Mungkin saja dia bisa jadi pengkhianat, mengingat lelaki itu sudah berani menikung Cecil darinya. Makanya, Devan memberi tahu Dela, jika sewaktu-waktu Zaki kedapatan ingin menghancurkannya, maka Dela bisa lebih mudah membantunya.
"Oh, shit! Aku benar-benar termakan omongannya, Sayang. Maafkan aku."
"Permintaan maafmu tidaklah penting, Mas. Yang paling penting sekarang, kamu harus memberinya pelajaran. Mereka sangat menginginkan data perusahaan ini, karena yang berhasil mereka ambil adalah data cabang perusahaan, bukan perusahaan pusat. Untunglah, aku berhasil mengamankan data itu sebelum pindah ke tangan mereka. Oh ya, aku punya rencana."
"Rencana apa?" Devan mendekatkan tubuhnya. Memasang telinga baik-baik agar tidak salah paham.
"Kamu dekati Mbak Dela, aku Dekati Mas Aris. Kamu kasih tahu Mbak Dela, di mana kamu menyimpan data perusahaan itu. Semetara aku, berpura-pura seolah berhianat sama kamu. Aku akan kasih tahu Mas Aris, lalu mengomporinya agar dia saja yang menjadi pimpinan perusahaan. Dengan begitu, mereka pasti gak akan curiga. Setelahnya, kita taruh dokumen palsu di dalam satu ruangan. Otomatis, mereka akan bekerja sama untuk mencurinya. Saat itulah kita tangkap basah mereka dengan bukti kamera tersembunyi juga, biar mereka gak bisa ngelak lagi. Dengan begitu, kita bisa lebih muda memproses secara hukum."
Devan tampak mencerna ucapan Cecil. "Apa kamu yakin ini berhasil? Maksudku, apa ini bisa buat mereka buka mulut soal siapa dalang semua ini?"
Cecil mengangguk mantap. Dibelainya wajah Devan penuh rasa Sayang. Wajah yang sudah satu tahun sudah tak pernah dia sentuh itu."Kau meragukanku, Sayang?"
"Bukan begitu. Tapi aku gak yakin, mereka berani buka mulut." Devan juga membalas elusan tangan Cecilia dengan gigitan pelan di telinga gadis itu.
"Aku sangat yakin. Orang-orang seperti mereka sangat mudah untuk panik. Jadi, kita bisa lebih leluasa menggertak mereka, dengan mengancam untuk menjebloskan mereka di penjara sampai membusuk."
"Baiklah, lakukan sesukamu." Sambil memainkan lidah di leher Cecilia. Cecilia sendiri sudah menggeliat kegelian.
Tangan Devan sudah nakal, hendak menggerayang di bagian tertentu. Sungguh, dia merindukan istrinya. Istri yang sudah kembali seperti dulu.
Devan hendak membaringkan tubuh Cecil ,tapi dengan cepat, Cecil menahannya. "Kamu gak romantis, Mas! Lanjutkan saja nanti di rumah. Jangan membuatku malu, sekarang."
"Kamu gak asik! Aku sudah sangat rindu, Sayang." Cecil terkikik melihat ekspresi Devan yang entah. Dia lalu mengelus rahang kokoh sang suami. Mengecup pipinya singkat, sebelum Devan membuatnya terlena.
"Sabarlah, sayang. Tunggu sampai jam pulang. Aku milikmu. Cecilmu sudah kembali. Di rumah, kamu bisa mencaplokku hidup-hidup."
Devan menyeringai, tubuhnya semakin merapat. Lelaki itu sudah tak tahan lagi memendam hasrat. Bayangkan, satu tahun sudah dia menekan dalam-dalam gairahnya. Saat ada kesempatan, mana mungkin dilewatkan. "Di sini saja, ya? Nanti di rumah lanjut lagi. Aku janji, gak akan korupsi jatahmu nanti malam. Aku sudah tak tahan."
Cecil menyentil hidung mancung milik Devan. Kewarasannya harus terjaga, meski hatinya juga sangat-sangat rindu. Tapi ... tempatnya tidak pas. "Kamu nakal ya? Aku masih ada banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Aku juga harus melancarkan aksiku. Jangan menggangguku! Kalau kamu terus begini, gak ada jatah nanti malam. Aku gak mau sekamar sama kamu." Cecil memberi ultimatumnya.
Devan merajuk, pura-pura membuang muka. Cecil kembali terkekeh, lalu berdiri dari duduknya.
Saat hendak berjalan ke meja kerjanya, tangan Cecil ditarik. Siapa lagi pelakunya? Tentu saja Devan. Bahkan, lelaki itu merengek seperti anak kecil. "Sekali aja. Satu ronde." Bujuknya.
Cecil menggelengkan kepala sambil telunjuknya bergerak ke kanan dan kiri. "Enggak! Sepertinya, kamu memang ingin kehilangan jatahmu ya, Mas? Jangan ganggu kerjaku dulu. Aku harus segera menyelesaikan tugasku. Ingat! Jam makan siang aku keluar sama Mas Aris. Ini bagian rencana kita. Jangan mengecoh."
Mengingat ancaman Cecil yang tak main-main, Devan melepas tangan itu. Dia tidak mau sampai harus kehilangan jackpotnya.
"Baik, pergilah."
Memang menyuruh pergi, tapi Devan juga ikut mengintili Cecil lalu duduk di hadapan gadis itu.
"Nanti malam, aku tagih janjimu. Gak usah pura-pura tidur, apalagi kabur. Sudah setahun ularku gak makan."
Cecil menghentikan gerakannya yang tengah mengecek proposal. Mata bundarnya, menatap Devan mematikan. "Bisa gak sih, jangan bahas itu dulu? Aku kerja, Mas. Bikin gak konsen aja."
Alis Devan naik turun. Menatap Cecil sensual. "Kamu juga pengen kan? Kalau begitu, ayo! Aku kunci pintunya."
Cecil geram, metrsih bolpoin di depannya, lalu melempar di badan Devan. "DIAM, DEVAN! AKU BERASA DIPANTAU OM-OM PEDOFIL. JANGAN MENGGANGGUKU, ATAU KUBUAT ULARMU PUASA SATU MINGGU."
"Galak! Kayak cewek PMS!" gerutunya.
Cecil tertegun, mendengar kata PMS, dia baru ingat jika tadi pagi baru saja mengenakan portal bersayap 35 cm.
Cecil mendekatkan tubuhnya. Menungging sedikit, sambil membisikkan sesuatu di telinga Devan. "Mas. Aku beneran PMS. Aku lupa memberitahumu. Sepertinya, kamu beneran harus puasa satu minggu."
"Oh shit!" Devan mengumpat sambil menjambak rambutnya.
"Cecil! Semoga bisulan tujuh baris!" Sumpah serapah itu membuat Cecil terpingkal-pingkal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)
Romansa"Jika hartaku tidak bisa membuatmu luluh, maka kupastian benihku akan tertanam di rahimmu," ucap Devan semakin menekan tubuh Cecil dalam tindihannya. . "Jangan. Aku mohon!" Devan semakin gila. "kembali padaku, atau aku akan menghamilimu!" "Aku tida...