57. Kita Cerai Saja

6.3K 197 0
                                    

Di ruangan Dela, Zaki sangat tidak betah. Gadis itu sangat tidak asik, tidak seperti Cecil yang selalu ceria.

"Membosankan." Satu kata itu keluar dari bibir Zaki.

Dela merotasikan bola matanya. "Aku gak nyuruh kamu di sini. Pergi saja kalau gak betah! Ribet amat!"

Zaki menarik napas dalam-dalam. Tidak habis pikir dengan Devan. Mengapa lelaki itu bisa betah berlama-lama dengan mak lampir? Mending sama Cecil. Ditinggal berduaan satu minggu pun sanggup, karena gadis itu selalu punya cara untuk membuatnya terpingkal. "Kalau bukan karena Devan. Aku juga gak sudi ada di sini."

"Terus, itu salahku? Salah sendiri kamu jadi bawahan Devan. Padahal, kalian sama-sama kaya." Dela meraih buah lalu mengulurkannya pada Zaki. "Aku ingin apel ini. Tolong kupaskan."

Zaki melempar tatapan sinis. Kalau mungkin di hadapannya ini Cecil, Zaki pasti akan melakukannya tanpa disuruh. "Kupas sendiri, jangan manja!"

"Dasar gak guna! Apa gunanya kamu di sini?" Cibir Dela ketus. Benar-benar mirip mak lampir.

"Lalu, apa gunanya kaki dan tanganmu?" Balas Zaki tak kalah ketus membuat Dela mengerang kesal. Percuma saja minta tolong padanya.

Dela pun memilih diam. Dengan sangat terpaksa, dia mengupas apel itu sendiri.

"Semua gara-gara perempuan sialan itu! Coba saja dia gak ke sini, Devan pasti masih di sini," gumam Dela tapi masih bisa tertangkap pendengaran Zaki. Zaki pun tak terima jika perempuan yang dia sayang, dihina pelakor.
.
"Siapa yang kamu maksud perempuan sialan? Cecil? Jelas, dia lebih terhormat dibanding kamu. Simpanan gadun!" Dela melotot dikatai seperti itu. Kurang ajar sekali Zaki? Awas saja, akan dia laporkan pada Devan.

"Tutup mulutmu! Jangan asal bicara kamu, ya. Aku laporin Devan baru tau rasa, kamu?"

"Rasanya apa? Coklat, strawberry, apa leci?" Ejekan Zaki benar-benar membuat Dela kehilangan harga diri. Gadis itu menjambak rambutnya. Untung, tidak melempar pisau di tangannya.

Segera, dia berusaha memulihkan kewarasan, sebelum lelaki sialan itu kembali mengaduk emosinya.

"Maumu apa sih? Cari gara-gara terus sama aku. Mau aku buat kamu dipecat sama Devan?" Dela terlihat sangat angkuh. Cih, tidak tahu diri. Padahal, Cecil saja yang lebih berhak atas hidup Devan tidak berani mengatur lelaki itu.

"Kamu siapa ngatur-ngatur Devan? Coba saja kalau bisa." Zaki menyeringai, kesombongan harus dibalas hal serupa.

"Belagu sekali kamu! Tunggu saja, aku akan membalasmu!" Dela memalingkan wajah. Sungguh menjengkelkan!

"Baiklah. Aku tunggu surprise-nya. Nanti aku atau kamu yang akan terkejut."

Di sisi lain, kecanggungan mendera. Baik Cecil dan Devan, Keduanaya saling mengibar bendera perang. Hingga, suara telepon dari nomor tak dikenal membuyarkan keheningan.

"Dari siapa?" Devan bertanya tanpa melirik.

Cecil menggeleng. "Gak tahu. Nomor gak dikenal. Ini mau angkat. Siapa tahu dari orang kantor, nyari kamu atau Zaki."

Setelah Devan mengangguk pahan, barulah Cecil mengangkat telepon.

"Hallo, assalamualaikum. Ini dengan Cecilia. Maaf, ini dari mana ya?".

Tak kunjung ada jawaban.

"Hallo." Suara itu terdengar bergetar, Cecil melipat dahinya.

"Dengan siapa? Apa ada yang penting?" Cecil kembali bertanya.

"Mengapa tidak datang di reuni, Bocil? Aku nenantimu." Seketika, mulut Cecil menganga lebar. Cecil sangat tahu dengan panggilan itu. Karena, hanya satu orang yang berani memanggil begitu.

"Ma--Mas Sean."

"Iya, ini aku. Kenapa tidak datang? Aku merindukanmu."

"Dapat nomorku dari mana?" Cecil gelagapan. Suara yang sangat dia rindukan itu kembali menyapanya.

"Apa itu penting? Yang jelas aku merindukanmu. Kapan bisa ketem--"

Tut!

Cecil memutus panggilannya sepihak. Detik berikutnya, gadis itu menangis karena tak menyangka bisa bertegur sapa dengannya lagi.

Devan yang sedari tadi hanya diam, pun penasaran melihat reaksi Cecil yang berbeda. "Dari siapa?" Tanyanya lagi.

Ragu-ragu, Cecil mulai menyebut namanya lagi.

"Mas Sean-masa laluku yang pernah kuceritakan padamu."

Devan mengerem mobilnya di jalan yang sepi. Meraih handphone Cecil yang tergeletak di pangkuan itu, lalu mengotak-atik.

"Kamu ngapain?" Tanya Cecil heran.

Devan melirik sekilas. "menghapus dan membokir nomornya. Biar kamu gak bisa menghubunginya lagi."

Mendengar itu, Cecil langsung merebut ponselnya. Namun sayangnya, gadis itu telat. Nomor sudah terhapus. Devan pun menyeringai licik.

"Kamu gila ya! Bagaimana kalau aku melakukan hal yang sama pada Dela? Kamu memang egois, picik, gak punya hati!"

Devan tidak pernah melihat kemarahan Cecil seperti ini. Dia sadar, jika yang dilakukan cukup kelewatan. Tapi, kemarahan Cecil seperti ini sangat menjelaskan, jika lelaki itu teramat spesial untuk Cecil. Dan Devan tidak menyesal, sudah menghapus nomor itu.

Sepanjang perjalanan, Cecil hanya terdiam. Sesekali memandang pepohonan yang dilalui mobil sedan hitam metalik itu.

Sesampainya di rumah, kedatangan mereka disambut baik oleh Utari, Nicolas dan Mbok Darmi.

Cecil tersenyum hangat melihat binar di mata mereka.

"Cecil, Mama kangen, Nak. Akhirnya kamu pulang. Mama sangat khawatir mendengar kamu kecelakaan. Tapi Devan melarang Mama ke sana, karena di sana juga ada mantan kekasih Devan. Anak itu takut Mama bikin keributan." Oh, jadi Utari belum tahu sandiwara ini? Ternyata Devan memang sengaja melarang mertuanya datang? Picik!

Cecil melebarkan senyum. "Cecil gak papa, Ma. Lagian cuman luka kecil. Cecil izin ke kamar ya? Perjalanannya sedikit melelahkan." Bukan perjalanannya yang melelahkan, tapi hatinya yang lelah bertahan.

Utari mengangguk, tentu dia tidak akan melarang. "Jangan capek-capek ya, Nak. Kalau butuh apa-apa, tinggal panggil Mama atau Mbok Darmi saja."

Cecil mengangguk, berjalan ke kamarnya. Sementara Devan masih menurunkan barang di mobil.

Di kamarnya, Cecil mengunci pintunya. Menggemboknya dari dalam agar lelaki itu tidak bisa masuk. Bukannya Cecil GR, tapi itu semua bisa saja terjadi, mengingat jika Devan bukanlah orang yang mudah ditebak.

Ya, tepat dugaan. Lelaki itu menggedor pintu karena tidak bisa masuk, meski sudah memakai kunci cadangan.

"Cil, buka! Kenapa pintunya gak kebuka?"

Cecil menahan ketawa karena lelaki itu terus merengek.

'Gedor saja sampai gempor!' batin Cecilia.

"Pintunya rusak kali! Jangan teriak-teriak, aku mau istirahat!" Teriak Cecil dari dalam.

Tak menyerah, Devan terus menggedor. "Aku tahu, kamu menguncinya dari dalam. Kalau kamu gak mau buka, aku dobrak sampai jebol!!"

Tidak ada respon dari Cecil. Dia pikir, Devan hanya menggerakkannya. Tapi ketika pintu dihantam dobrakan keras, pertahanan Cecil runtuh. Ternyata Devan tidak main-main.

"Iya, iya, aku buka! Jangan rusak pintunya." Mau tidak mau, Cecil pun melepas gembok itu. Sayang, kalau pintu mahal sampai rusak gara-gara kelakuan orang gila.

Devan menghentikan aksinya. Menunggu Cecilia membuka pintu dari dalam.

Dengan sekali putaran gembok itu terbuka. Ya, tentu saja dengan kuncinya.

Devan menyeringai kala pintu terbuka kebar. Lelaki itu langsung masuk tanpa permisi sambil membawa paper bag barang Cecil. "Ngapain pakai dikunci?"

Mata Cecil menyipit. Ngapain? "Bisa ya, kamu tanya gitu? Gak sadar udah buat kesalahan fatal? Kamu masih menghargai aku sebagai istri kamu gak sih, Mas? Kalau sudah gak, kita cerai saja!"

Tiba-tiba saja, tangan Devan terangkat tinggi. Brak! "Ngomong apa kamu!"

Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang