Cecil memandang Devan dengan tatapan kosongnya. Gadis itu merasa, tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi dalam hidupnya. Ia merasa sangat percuma menerima kontrak nikah itu, sebab jantungnya sudah berhenti berdetak setelah kepergian ibunya.
"Mas, gak ada yang perlu dilanjutkan lagi. Gak ada yang bisa kamu harapkan lagi dari aku. Cecil yang kamu kenal udah mati! Sekarang, anggap saja jika yang ada di hadapanmu saat ini hanyalah raga yang kehilangan jiwanya."
Setetes bulir bening mengalir dari sudut matanya. Cecil kembali terisak kala mengingat nasibnya yang hanya sebatang kara.
"Kamu bicara apa?! Omongan kamu ngelantur! Sudah, kamu istirahat dulu sana, biar ucapanmu gak ngelantur! Pokoknya, gak ada satu pun orang yang berhak batalin pernikahan ini, termasuk kamu!" Devan mengacungkan telunjuknya tepat di wajah murung milik Cecil. Laki-laki itu terlihat sangat marah, lalu melenggang pergi begitu saja. Devan tidak ingin emosinya membuat Cecil semakin kacau.
Entahlah, Cecil sendiri tidak bisa berpikir. Otaknya keruh dipenuhi dengan pikiran-pikirannya yang negatif.
Utari yang masih stay di tempat, ia pun berusaha menenangkan Cecil dengan merangkulnya lembut. Dari pancaran matanya, ada rasa iba yang begitu kentara.
"Sabar ya, Sayang. Devan memang keras orangnya. Tapi Mama tahu, anak itu punya sisi kelembutan yang berbeda. Ambil hatinya perlahan. Kalau memang kamu tidak cinta sama anak Mama, gak papa. Jangan dipaksa."
Mendengar kalimat damai itu keluar dari bibir Utari, Cecil berusaha mengembangkan senyumnya. Ia pikir, Utari juga ikutan marah dengannya, tapi ternyata prasangkanya salah, perempuan itu justru mendukung apa pun yang menjadi keputusannya.
"Terima kasih banyak, Mama sudah mau ngertiin Cecil.
Utari membalas senyum itu, " Ya sudah, kalau gitu Mama keluar dulu. Kamu istirahat ya, Nak. Tenangkan pikiranmu."
Setelah mendapat anggukan dari Cecil, Utari pun berlalu.
Usai kepergian Utari, Cecil menangis memeluk lututnya. Ia benar-benar merasa hancur sekarang. Kehilangan orang yang paling berharga memang menyakitkan.
Tak lama, Devan datang dengan membawa nampan sepiring nasi goreng beserta minumnya.
Meski ia kesal, tapi laki-laki itu berusaha memahami kondisi Cecil. Ia tidak mau calon istrinya sakit akibat telat makan.
Devan masuk tanpa mengetuk pintu, membuat Cecil terkejut. "Makan dulu."
Cecil pun mendongak, menyambut kedatangan Devan dengan menatapnya nanar.
"Aku gak laper," ucapnya lirih.
"Jangan membantah, ini perintah!" tekan Devan.
Cecil menatapnya semakin nyalang. "Aku bilang, aku gak laper!"
Devan semakin mendekat, "Terus, mau kamu apa?!"
Cecil tersenyum masam, membuat Devan sedikit luluh. Laki-laki itu duduk di pinggir ranjang sambil menaruh nampan makanan untuk Cecil. Cecil pun mulai bicara sambil menurunkan intonasinya. "Aku mau kontrak nikah kita batal. Anggap saja aku sudah mati. Aku juga mau ngundurin diri dari perusahaan Mas Devan. Soal biaya operasi almarhum Ibu, Mas Devan tenang saja, secepatnya pasti akan aku bayar. Aku gak akan kabur."
Terdengar suara gebrakan meja yang cukup keras. Gigi putih Devan pun ikut menggertak. Ia terlihat marah besar dengan apa yang Cecil katakan. "Apa maksudmu?!"
Terlihat jelas dari wajahnya, kalau Cecil mulai ketakutan. Namun perempuan itu berusaha untuk tegar.
"Ya itu yang aku mau. Membatalkan kontrak nikah kita."Kemarahan Devan semakin memuncak. Ia pun berdiri, mengunci pintu kamar, lalu menaruhnya di saku celana.
Setelah itu, Devan kembali berjalan menghampiri Cecil.
Melihat seringai di bibir Devan, Cecil pun refleks memundurkan tubuhnya sampai ke pojok. Tangannya gemetar menahan takut.
Devan semakin dekat dan perlahan mulai merangkak di atas kasur.
Ia mengungkung tubuh Cecil yang ringkih lalu menekannya kuat."Kalau hartaku tidak bisa membuatmu luluh. Maka kupastikan, benihku akan tertanam di rahimmu, Cecilia Hutama!" Suara bariton itu terdengar sangat menakutkan. Ancam Devan tidak main-main. Lelaki itu terlihat sangat serius.
"A--apa maumu?" Takut-takut Cecil mengumpulkan keberanian untuk menatap Devan.
"Terus lanjutkan kesepakatan ini. Jangan pernah sedikit pun berpikir untuk lari dari pernikahan ini, atau kubuat kau benar-benar menyesal!"
Sekuat tenaga Cecil mendorong tubuh Devan menjauh darinya. Tapi sayang, tubuh kokoh itu sama sekali tak bergeser. Tenaganya yang ringkih, tidak sebanding dengan kekuatan Devan. "Tidak! Kita sudah berakhir. Tolong biarkan aku hidup dengan tenang."
Devan yang murka, mulai merobek pakaian Cecil. Perempuan itu terlihat semakin ketakutan. "Apanya yang berakhir? Bahkan, kita belum memulainya. Mau mulai sekarang?"
Seringai licik Devan mulai tersungging dengan apik. Lelaki itu semakin mendesak Cecil hingga tidak ada ruang tersisa.
Dengan cepat, Devan menyambar bibir cerewet yang terasa sangat manis. Cecil mengerang sakit kala Devan dengan sengaja meninggalkan jejak gigitan di sana.
"J--jangan, aku mohon! Sa--sakit, Devan!" teriaknya kala gigitan itu semakin dalam.
"Aku tidak pernah main-main, Cecil! Nurut atau kubuat hidupmu seperti di neraka."
Tidak ada jawaban apa pun dari Cecil. Perempuan itu sudah tertegun setelah mendengar ancaman Devan. Ingin berontak tapi mulutnya tertahan.
Merasa diacuhkan, kilatan api di mata Devan semakin menyala. "Jawab!" bentaknya membuat perempuan itu terkesiap.
"I--iya. Aku akan turutin mau kamu, asal kontrak yang disepakati harus dilaksanakan. Kamu tidak boleh ikut campur urusanku begitupun sebaliknya. Kita urus hidup masing-masing! Kamu tidak berhak atas diriku, begitupun aku."
Devan mengulurkan tangannya. "Deal."
Dengan ragu, Cecil menjabat tangan Devan. Perempuan itu menelisik tajam. Apa yang Devan inginkan sebenarnya? "Oke, deal."
Posisi mereka masih terasa intim, hingga Cecil berhasil mencari kelengahan Devan.
Perempuan itu nekat kabur, meski di depannya sedang ada singa kelaparan. Cecil menendang cacing alaska milik lelaki itu hingga sang empunya terkapar kesakitan.
Kesempatan emas ini tidak dibiarkan Cecil berlalu begitu saja. Dengan cepat ia bangkit kemudian lari menuju pintu. Saking senangnya memiliki kesempatan untuk kabur, ia sampai melupakan satu hal. Pintunya di kunci.
Devan yang menyadari kepanikan Cecil, ia pun menyeringai licik. "Cari ini?"
Devan memamerkan sebuah kunci stainless yang ada di tangannya. Ia pun mulai bangkit dan berjalan perlahan menghampiri Cecil.
Cecil berjalan semakin mundur. Saat ia merasa terpojok, sudah tidak ada pilihan lain selain menyerah.
Devan mencengkeram tangan wanita itu kasar. "Sepertinya, kamu suka main-main ya, Cecil? Kamu perlu bukti? Baik, akan kubuktikan sekarang juga.
Devan yang marah, mulai menggelendeng lengan Cecil. Perempuan itu dihempas kasar di atas ranjang. Pakaiannya semakin terkoyak akibat ulah Devan.
"J--jangan, aku mohon," Cecil terisak. Air matanya mengalir deras. Dosa apa yang pernah diperbuat selama ini? Mengapa nasibnya begitu sial?
Devan perlahan beranjak naik. Ia tidak peduli lagi sekarang. Rasa empatinya sudah melebur setelah kepercayaannya dinodai. Menanam benih di rahim perempuan itu, pasti akan membuatnya takhluk.
"Minta tolong sepuasmu! Tidak akan ada seorang pun yang bisa membantumu terlepas dari genggaman seorang Devan!"
"Devan! Jangan!"
Tiba-tiba, pintu diketuk dari luar.
"Devan?"
Pria itu tampak kesal. Tapi ia tidak bisa melawan.
"Kali ini kamu selamat! Jangan ulangi lagi, atau aku benar-benar menghamilimu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)
Romance"Jika hartaku tidak bisa membuatmu luluh, maka kupastian benihku akan tertanam di rahimmu," ucap Devan semakin menekan tubuh Cecil dalam tindihannya. . "Jangan. Aku mohon!" Devan semakin gila. "kembali padaku, atau aku akan menghamilimu!" "Aku tida...