8. Perjanjian Dalam Kontrak

13.1K 550 3
                                    

Sesampainya di kantor, Cecil bergegas mengikuti langkah Devan yang berjalan menuju ruang direktur. Gadis itu tampak kewalahan menyeimbangkan langkahnya dan Devan yang cukup panjang.

"Pelan-pelan, bisa tidak? Saya capek ngikutin Bapak!" gerutu Cecil dengan napas tersengal. Ia pun berhenti sebentar, mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Sementara Devan hanya menatapnya tanpa rasa kasihan dan tetap melanjutkan jalannya.

Saat masuk ke dalam lift, sorotan mata rekan kerjanya, semua tertuju pada Cecil. Ia pun merasa kikuk diperhatikan seperti itu.

"Pak, saya naik lift sebelah saja ya? Nggak enak, dilihatin yang lainnya," nyali Cecil menciut. Ia tidak ingin mendengar gosip miring tentang dirinya setelah ini. Pasalnya, lift yang dinaikinya adalah lift yang khusus dirancang untuk direkrut. Siapapun tidak ada yang boleh menikmati fasilitas kantor itu selain direktur dan tamu penting.

"Ngapain? Buang-buang waktu saya! Sudah, hiraukan saja."

Devan mengedarkan pandangannya Karen lift tak kunjung menutup. Sempat, laki-laki itu mendengar segelintir karyawan yang berbisik tidak enak mengenai Cecil.

"Kerja! Bukannya gosip!" galak Devan sambil menatap tak suka pada orang yang membicarakan Cecil. Devan memang benci gadis itu, tapi mendengar sekretarisnya dibicarakan yang tidak-tidak, ia pun tak terima.

Seolah tertangkap basah, gerombolan wanita itu mulai gugup, takut-takut jika bosnya memberi surat peringatan. "Ba-baik, Pak."

Tak lama, lift pun menutup membuat hati Cecil merasa aman. Ia menarik napas panjang dan menghembuskan dalam. "Fiyuh ... aman," ujarnya lega.

Naik ke lantai 31 memang butuh waktu yang cukup lama, hingga keduanya terjebak dalam keheningan yang mendera. Baru sampai di lantai 15, suara getaran terdengar cukup keras dari dalam lift, seperti sebuah gempa. Ternyata liftnya macet, membuat Cecilia mematung ketakutan.

"Pak Dev, saya takut!" adunya lirih dengan suara bergetar. Bahkan, air matanya hampir tumpah saat lift tak kunjung bergerak. Ia pun berinisiatif mencari sandaran pada bagian lift karena kakinya mulai lemas.

Devan yang kesal karena liftnya rusak, ia pun bergegas menelepon Zaki dan menyuruh petugas untuk memperbaiki.

"Zak, suruh petugas perbaiki liftnya. Saya terjebak di dalam lift bersama Cecilia."

"Baik, Pak." Setelahnya, sambungan diputus.

Melihat Cecil yang hampir menangis, ia merasa sedikit iba. Devan pun mendekati Cecil agar gadis itu bisa lebih tenang.

Cecil hanya menatap Devan nanar, matanya berkaca-kaca hingga detik berikutnya tangisnya mulai pecah. Tanpa ragu, Cecil langsung melingkarkan tangannya di pinggang Devan. Gadis itu benar-benar ketakutan sampai keringat dingin terus membanjiri peluhnya. "Saya takut," ucapnya tak bertenaga.

Devan yang tidak tega, ia berusaha menenangkan Cecil, mengusap rambut gadis itu perlahan dan semakin mempererat pelukannya. "kamu tenang saja, sebentar lagi liftnya diperbaiki."

Untuk sesaat, hati Cecil bisa tenang. Namun suara getaran yang kembali menyapa, membuat Cecil tidak ingin melepaskan pelukannya pada Devan. "Ahhhh!" pekik Cecil di tengah isakan.

"Tidak apa-apa . Jangan khawatir."

Sudah hampir 20 menit terjebak di lift, akhirnya lift pun menyala. Cecil yang masih ketakutan tidak mau melepas pelukannya dari Devan. Ia khawatir kejadian ini kembali terulang.

"Sudah menyala. Lepaskan pelukanmu," ujarnya dingin.

Cecil menggeleng pelan, ia tidak mau melepas pelukannya. Lebih baik dirinya menurunkan gengsi, daripada terjebak di lift lagi.

"Gak! Saya gak mau lepas," tolak Cecil dan semakin mempererat pelukannya agar Devan tidak bisa memaksa. Kali ini dirinya benar-benar trauma.

"Terserah kamu!" Dengan acuh, Devan membiarkan posisi mereka seperti itu.

Tiba-tiba lift terbuka. Di sana sudah nampak Zaki yang menunggu Devan dan Cecil dengan setia. Matanya membulat kala mendapati bos dan sekretarisnya dalam posisi yang sangat intim.

Tak kalah terkejutnya, Cecil pun membelalak, sementara Devan terlihat cukup santai dan biasa saja.

"Ini tidak seperti yang kamu lihat, Zaki. Aku hanya ketakutan tadi." Untung saja, cuman ada Zaki di sini. Jika tidak, ini bisa jadi sasaran empuk untuk netizen. Lagian, siapa juga yang boleh ke ruang direktur tanpa kepentingan?

"Santai saja Cecil, aku paham, kok. Kamu tidak apa-apa?"

Cecil menggeleng dengan senyum mengembang tanpa berniat membuka suara.

Devan pun segera turun dari lift, membuat Cecil tersadar jika ia harus segera mengikuti langkah Devan. "Saya duluan, Zaki. Terima kasih atas bantuannya."

"Sama-sama."

Setelahnya, Cecil pun bergegas lari, menyusul bosnya yang meninggalkan begitu saja.

Sesampainya di ruang CEO Cecil mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Tidak sabar, ia pun langsung membuka pintu dan mengintip sebentar.

Cecil disuguhkan dengan pemandangan yang cukup membuat matanya menyipit. Ia melihat Devan tengah rebahan di atas sofa panjang yang ada di ruangan. 'Huh! Mentang-mentang bos!" gerutunya dalam hati.

Cecil pun masuk dan menghampiri Devan, "Permisi, Pak."

Tidak ada sapaan dari Devan. Lelaki itu justru semakin menikmati waktu rebahannya dengan memejamkan mata.

"Permisi Pak Devan!" ulang Cecil agak kesal.

Lagi dan lagi, Devan tidak menganggapnya ada, membuat gadis itu kehilangan kesabaran. Ia pun langsung memukul lengan bosnya yang bertumpu di atas perut.

"Pak Devan!" teriak Cecil setengah bentakan. Ia muak diacuhkan seperti itu.

"Kamu berani bentak saya?" ujarnya dengan nada sombong, alisnya terangkat satu mengisyaratkan sebuah ketidak percayaan jika sang sekretaris berani membentaknya.

Cecil sendiri tidak berani menjawab. Ia kelepasan, akibat sikap Devan yang seperti itu.

Devan yang merasa terusik dengan keberadaan Cecil, ia pun bangkit dari posisinya, dan duduk di tempat yang sama.

"Ada apa?" tanya Devan tanpa ekspresi. Itu justru membuat Cecil semakin gemas pada pria tampan tersebut. Ingin rasa hati mencakar wajah bak Dewa Yunani yang ada di hadapannya saat ini.

Cecil menghembuskan napas kasar lalu ikut duduk di sebelah Devan. Gadis itu berusaha mati-matian menahan kesalnya "Saya tidak mau basa-basi. Langsung saja, kita bahas kontrak nikah itu sekarang."

Tatapannya yang kosong menandakan, jika ia sedang bersedih. Haruskah masa depannya hancur setelah ia menikah dengan Devan? Berbicara soal pernikahan, gadis itu sama sekali tidak menyangka bila dirinya akan menikah dengan cara yang cukup mengenaskan.

"Oke. Apa syarat yang mau kamu ajukan?" ucap Devan datar, meski sesekali melirik Cecil yang sedikit termenung.

Mendengar itu, tanpa ragu, Cecil pun langsung berujar, "Yang pertama, tidak ada yang boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing. Bapak bebas melakukan apa pun dengan pacar bapak nanti, begitu juga dengan saya."

Devan manggut-manggut. "Oke, itu saja?"

Cecil menggeleng. "Ada empat poin penting."

"Lanjutkan."

"Yang ke dua, Bapak tidak boleh kasar dan main tangan!"

"Lalu?"

"Pak Devan harus penuhin kebutuhan saya sebagai nafkah lahir."

"Saya tidak keberatan. Masih ada lagi?"

Cecil tampak ragu mengatakannya, tapi ini sangat penting untuk masa depannya nanti. "Dan yang terakhir, Bapak tidak boleh sentuh saya. Memaksa saya melayani Pak Devan di atas ranjang."

Devan mengangguk setuju.

"Oke, saya juga punya syarat penting. Cuman satu, tidak banyak."

Alis Cecil bertaut. "Apa itu?"

"Kalau keluarga saya menuntut anak dari kamu, kamu harus bersedia."

"Hah, anak?!"



Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang