Usai mandi bersama yang berakhir dengan makian panjang Cecilia, Devan keluar dengan mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Cecil sendiri hanya bisa menghela napas ketika suaminya pergi setelah mendapatkan kenikmatannya kembali.
"Dasar suami gak peka! Istrinya belum selesai malah ditinggal." gerutu Cecilia saat perempuan itu asik berendam di bathtub. Rendaman air hangat, sedikit banyaknya bisa membantu Cecilia melemaskan ototnya yang kaku.
Ceklek.
Cecilia keluar setelah puas berendam. Dia juga sudah berganti dengan gaun rumahan.
Cecil berjalan menuju meja riasnya. Tak sengaja, pandangan Devan dan Cecil bersitatap. Devan yang berduduk santai di tepi ranjang, hanya memandang gadis itu sesaat, sebelum kembali berkutat dengan ponselnya.
"Aku sudah mengabari Zaki, kalau kita hari ini gak ke kantor. Aku juga sudah kasih tahu Laras, biar gak usah jemput kamu lagi karena mulai besok, kamu berangkat sama aku."
Ucapan Devan menghentikan Cecilia yang memoles wajahnya dengan bedak. Dengan cepat, perempuan itu berbalik badan menghadap suaminya. "Sejak kapan kamu punya nomernya Laras? Tumben amat kamu nyimpan nomor karyawan selain Zaki, aku dan MBAK DELA!"
Cecil sengaja menekan kata terakhirnya agar Devan merasa tersindir. Tapi diluar dugaan, Devan malah terlihat sangat santai.
"Bukan aku yang ngabarin. Tapi Zaki yang aku suruh ngasih tahu Laras."
Cecil berdecak. Suaminya memang unik. "Cih! Menyebalkan. Itu artinya bukan kamu yang ngasih tahu Laras, tapi kamu nyuruh Zaki buat kasih tahu Laras. Paham?"
Devan menatap Cecil dengan ekspresi kesal, bingung dan entah apa lagi. "Gak! Memahami perempuan memang sulit." Cibirnya dengan berpura-pura bete.
Cecil mengerang frustasi. Andai membuang suami adalah suatu hal yang dihalalkan, pasti Cecil akan menendang pria menyebalkan itu ke sungai Amazon. "Terserah kamu lah, aku lapar, mau makan."
Cecil mencari-cari syal yang ada di lemarinya. Tapi dia lupa, jika syal pemberian ibunya itu sudah robek setahun yang lalu untuk menghentikan pendarahan di hidung Cia.
"Kamu nyari apa?" Tanya Devan melirik sekilas pada sang istri.
"Nyari syal buat nutupin leher aku. Kamu ada lihat, gak?" Cecil yang frustasi, menutup kembali lemarinya, lalu berjalan menghampiri Devan. Ikut duduk di sebelah pria menyebalkan itu dengan wajah ditekuk.
"Syal pemberian ibumu itu?" tanya Devan dengan hati-hati. Dia tidak ingin membuat Cecil kembali sedih.
Untuk sesaat, binar cahaya berkilauan di mata Cecil, setelahnya kembali meredup, karena Devan menyinggung almarhumah ibunya. "Iya. Syal peninggalan ibu. Kok kamu tahu?"
Devan merangkul bahu Cecil dengan satu tangannya. Rasanya, tak tega melihat Cecil kembali teringat masa lalu. Tatapan matanya sungguh terluka. Devan bisa merasakan itu. "Cil, kamu lupa ya? Syal itu, sudah robek setahun lalu di panti asuhan. Kamu sendiri yang memberinya saat aku kebingungan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghentikan pendarahan hidung Cia. Kamu masih ingat, kan?"
Untuk sesaat, Cecil terdiam. Mengingat hari di mana saat pertama kali dirinya bertemu gadis kecil yang hebat itu. "Ya, aku mengingatnya."
Senyum tipis tampak terbit di bibir Devan kala perempuan itu tidak marah. Inilah salah satu hal yang membuat Devan menjatuhkan hati pada gadis itu. Cecil memang perempuan berhati salju. Sangat lembut, meski luarnya kadang galak. "Kamu gak marah?"
Cecil menggeleng. Perempuan itu tersenyum lebar sebelum menaruh kepala di dada bidang milik Devan. "Tak. Buat apa aku marah? Ngomong-ngomong soal Cia, kabar dia gimana ya Mas? Aku jadi rindu sama anak-anak panti. Udah lama gak ke sana."
Devan hanya bisa menanggapi pertanyaan Cecil dengan senyuman, membuat perempuan itu mengernyit heran dari pantulan cermin. Ada apa dengan suaminya?
"Kok kamu malah senyum? Dasar aneh!" Cecil mencibir, membuat lelaki itu gemas dengan menoel hidung mancung milik Cecil.
"Kabar mereka baik. Itu kata Mama. Mama sekarang yang lebih aktif gantiin kita jadi donatur tetap di sana. Kata dia juga, anak-anak sering nanyain kabar kamu. Padahal, kamu cuman ke sana beberapa kali. Tapi yang dicariin malah kamu, bukan aku."
Devan menekuk wajahnya. Pria itu berpura-pura merajuk membuat Cecil terkekeh geli.
Cecil menarik kepalanya dari dada Devan. Perutnya juga mulai keroncongan. "Udah ah! Mending kamu ambilin aku makan. Aku udah lapar."
Devan terdiam, menatap Cecil penuh keheranan. Ditaruhnya tangan miliknya ke dahi Cecilia. "Gak panas. Kamu sakit? Kenapa gak sarapan bareng?"
Cecil menggeleng. Wajahnya tampak mengeluarkan semburat merah. Dasar lelaki gak peka. "Gak mau! Aku malu. Lihatlah ulahmu. Apa kata Mama dan yang lain nanti?"
Cecil menunjuk lehernya yang semakin memerah. Serangan Devan yang gencar, membuat kulit putih mulusnya tampak semakin memerah.
Devan terkekeh, sambil melayangkan kecupan di pipi Cecil. "Apa ini sakit?" tanya Devan sambil mengusap lembut bekas kemerahan di leher Cecil.
Cecil menggeleng. "Gak."
"Kalau begitu, ayo keluar! Mama dan papa sudah menunggu."
Cecil menggeleng lagi. "Aku malu. Kamu bawakan saja makananku ke sini."
Tanpa meminta persetujuan Cecil, Devan menarik tangan perempuan itu dan mengajaknya berdiri. "Gak usah malu. Mereka pasti paham kok. Mama dan Papa juga pernah muda. Bukankah ini yang mereka harapkan?"
Cecil sungguh tak mengerti maksud Devan. 'Memangnya, apa yang mereka harapkan dariku? Uang? Tidak mungkin! Mereka sudah kaya. Kebahagiaan? Ah! Keluarga mereka sudah bahagia.' batin Cecilia bertanya-tanya.
"Memangnya, apa yang Mama sama papa Harapkan? Bukankah mereka sudah punya segalanya? Uang, kebahagiaan, bahkan semuanya bisa mereka dapat dengan mudah."
Devan menggeleng. "Tidak dengan Cucu yang akan dikandung menantu kesayangannya. Butuh perjuangan besar agar berhasil menanam benih di sana," Sindir Devan membuat Cecil tersipu malu. Rasanya, dia ingin bersembunyi di ketek gorila.
"Ah, ya! Tentu saja tidak mudah. Karena benihnya unggul dan berkualitas." Ledek Cecil dan bersiap lari ke luar kamar, tapi sialnya dia lupa jika pintunya masih terkunci.
"Kenapa berhenti?" Tanya Devan pura-pura tidak peka.
Terpaksa, Cecil menoleh lalu mengerling pada suaminya. "Kuncinya hilang."
Seketika, tawa keduanya meledak karena kepolosan Cecilia.
***
Di meja makan, Leher Cecilia tak lepas dari pandangan Utari. Saat diberi pertanyaan yang dia takuti, Cecil yang semula makan-makan dengan santai, tersedak liurnya sendiri.
"Cil? Lehermu kenapa? Kamu alergi udang?"
Tanya Utari panik. Utari lupa jika Cecil memang alergi seafood.
Cecil menggeleng. "Gak, Ma. Cecil hanya alergi kerang."
Utari menghela napasnya lega. Dia takut jika menantunya kenapa-napa. Sementara, Devan hanya bisa menahan senyum kala Cecil terlihat gugup. "Terus itu kenapa?"
Cecil mengusap wajahnya gusar. Dia sangat malu sekarang. "Di gigit kerangkang, Ma. Mantep banget gigitannya." Cecil menoleh pada Devan, berharap suaminya mau mengalihkan perhatian Utari.
"Sebesar itu? Di kamar Devan banyak semutnya?" Utari sudah paham sebenarnya, hanya saja dia ingin menggoda Cecilia. Sementara Nicolas yang paham dengan karakter istrinya, hanya bisa menggeleng saja.
"Lebih tepatnya, digigit bayi kingkong."
Cecil melirik Devan sinis, sementara Utari tak dapat menyembunyikan tawanya.
Devan yang disindir, terpingkal-pingkal dengan lelucon istrinya. "Dih, jahat banget! Suami sendiri dikatain."
Cecil menyenggol lengan Devan. "Mulutnya ... di rem dikit kek. Nyablak aja!" gumamnya pelan.
"Semoga jadi ya! Mama gak sabar nih, udah rindu sama tangis bayi." goda Utari membuat Devan dan Cecil saling tatap. Keduanaya kompak menggaruk kepala yang tak gatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)
Romance"Jika hartaku tidak bisa membuatmu luluh, maka kupastian benihku akan tertanam di rahimmu," ucap Devan semakin menekan tubuh Cecil dalam tindihannya. . "Jangan. Aku mohon!" Devan semakin gila. "kembali padaku, atau aku akan menghamilimu!" "Aku tida...