29. Niat Balikan

4.9K 242 1
                                    

Di luar kamar, ibu pantai tidak berani mengganggu. Terlihat Cia tengah nyaman berada di pelukan Cecil.

"Cia tidur kah?" bisik Devan pada Cecil.

Untuk memastikan Cia tertidur atau tidak, Cecil mengintip sekilas. "Belom, masih melek. Emang kenapa kalau dia tidur?" tanya Cecil penuh selidik.

Devan acuh dan menjawab sekenanya. Lelaki itu kembali menenggelamkan wajahnya di rambut Cecil. "Cil, kamu bawa Hp? Hpku ketinggalan di mobil."

Devan bangkit, duduk di sebelah Cecil, sambil menatap gadis itu yang masih setia memunggunginya.

Cecil menolehkan lehernya. Terlihat Devan yang tengah merapikan kemejanya yang agak kusut.

"Ada di depan. Buat apa?"

"Aku mau telfon Zaki. Ada urusan penting. Ambilin sebentar!" Perintah Devan membuat Cecil berdecak.

"Ckck! Gak bisa lihat orang lain tenang apa?" Mau tidak mau, Cecil terpaksa melepas pelukannya pada Cia. Ikut duduk di sebelah Devan, lalu merangkak menuruni ranjang. "Sebentar ya, Sayang. Kak Cecil ambil ponsel dulu."

Cia mengangguk. Setelah mendapat persetujuan Cia, Cecil keluar kamar meninggalkan Devan dan Cia.

Di dalam kamar, Devan mendekat. Membaringkan tubuhnya di samping Cia sambil memeluk gadis kecil itu. Tak risih dengan Devan, justru Cia merasa sangat nyaman. Membalas pelukan Devan, lalu menenggelamkan wajahnya di dada bidang itu.

Cia memang sudah akrab dengan Devan sejak lama. Dia sudah menganggap Devan seperti kakak kandung. Jadi, sudah tidak heran lagi jika tidak ada rasa canggung di hatinya

"Cia," panggil Devan padanya.

Cia yang merasa dipanggil, mendongak. Menatap Devan penuh tanya. "Ya?" jawabnya lembut.

Devan terdiam sebentar, membalas tatapan Cia, sambil menopang kepala dengan satu tangan. "Menurut Cia, Kak Cecil baik gak? Baik mana sama Kak Dela?"

Cia tampak berpikir. Mengingat-ingat perempuan yang bernama Dela itu. Berusaha mengingat, tapi Cia merasa lupa-lupa ingat. "Kak Dela itu, perempuan yang dulu Kak Devan ajak ke sini?"

Devan mengangguk, sembari menjentikkan jari. "Nah, tepat sekali. Cia suka yang mana? Kak Dela atau Kak Cecil?"

Tanpa ragu, Cia mengutarakan pendapatnya. "Cia suka sama Kak Cecil. Orangnya baik, gak seperti Kak Dela yang jahat. Dulu, waktu Kak Devan ngobrol sama ibu panti, Kak Dela suka cubit Cia sampai biru-biru."

Tidak percaya, Devan meragukan Cia. Tapi mana mungkin, anak sepolos ini bisa berbohong? Setahunya, Dela adalah wanita yang lembut dan penyayang. Makanya dia sampai hampir depresi waktu sang kekasih pergi meninggalkan tanpa kabar. "Masak sih Kak Dela jahat sama Cia? Kan Kak Dela baik. Waktu ke sini, Cia juga dikasih mainan banyak."

Cia mengangkat telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. "Cia gak bohong, Kak. Di depan Kak Devan saja, terlihat baik."

Anak itu terlihat sangat jujur. Tidak ada kebohongan yang terlihat di matanya. Keputusannya untuk memilih Cecil memang sudah tepat. Meski awalnya agak ragu karena kehadiran Dela yang kembali mencarinya waktu lalu. Padahal, niatnya untuk memberi kesempatan ke dua pada Dela memang sudah ada, tapi setelah mendengar pengakuan Cia, dia menjadi sadar, bahwa Dela memang tidak pantas mendapat kesempatan kedua darinya.

Devan mengangguk, memberi kepercayaan penuh pada Cia, lalu melempar senyuman manis. "Kalau Kak Devan mau nikahin Kak Cecil, Cia setuju?" Meski pendapat Cia tidak penting, tapi Devan akan menjadikan ini pertimbangan untuknya menanamkan benih di rahim Cecil.

Kalau menurut Cia, Cecil tidak pantas menjadi ibu dari anak-anaknya, Devan akan menjalankan kontrak itu, untuk tidak menyentuh mahkotanya. Tapi kalau menurut Cia, dia layak, mau tidak mau, Devan akan menanamkan benih di rahim Cecil dengan atau tanpa persetujuan perempuan itu.

Mendengar pertanyaan Devan, Cia pun terkejut. Gadis kecil itu sampai bangun dari tidurnya. Duduk di sebelah Devan, lalu menatap lelaki itu penuh tanya. "Kakak Serius?"

Bukannya menjawab, Devan sendiri ikut bangkit, mengikuti Cia yang masih terdiam, lalu membalas tatapannya penuh heran. "Kenapa? Ada yang salah dengan pertanyaan Kakak?"

Tak disangkanya, Cia berdiri mendekat, tersenyum hangat, lalu mendekap tubuh Devan erat. Gadis itu terlihat senang dan terharu. Devan pun ikut terharu dibuatnya.

Cia melepas pelukannya, dengan wajah sumringah, dia berkata. "Cia setuju. Cia mau punya kakak seperti Kak Cecil. Jangan sakiti Kak Cecil ya? Cukup Cia saja yang menahan sakit. Kak Cecil harus bahagia."

Devan menahan tangisnya. Baru kali ini dia melihat Cia sebahagia ini. Devan tersenyum manis, mencium pipi Cia. Dalam hatinya, dia berjanji tidak akan membuat Cecilia tersakiti.

Ternyata, di depan pintu, Cecil mendengar pembicaraan Cia dan Devan. Tanpa sadar, air matanya meluruh. Tidak menyangka, sesayang itu Cia padanya. Bahkan, mereka hanya bertemu satu kali.

Pintu yang tidak tertutup, memudahkan akses Cecil untuk berlari menghampiri Cia. "Ciaaa," lirihnya.

Air matanya semakin tak terbendung. Cecil merentangkan tangan, yang langsung disambut oleh Cia. "Kak Cecil."

Masih terisak, Cecil menangis di pelukan Cia. Dia tidak peduli jika Devan menganggapnya lebay atau pun cari muka. Ini tulus, dari harinya. "Kak Cecil juga sayang sama Cia. Makasih, ya Nak, karena Cia sudah membuat Kak Cecil semangat hidup lagi. Kak Cecil janji, tidak akan menyia-nyiakan hidup ini. Kakak malu sama Cia, meski Cia menahan sakit, tapi Cia tetap semangat untuk hidup. Sementara Kak Cecil yang masih sehat, malah berpikiran sempit."

Cecil bisa merasakan punggung Cia bergetar. Gadis itu ikut menangis. "Kak Cecil jangan sedih ya? Kak Cecil harus bahagia. Cia sayang sama Kak Cecil. Cia saja yang sakit, Kakak gak boleh sakit."

Cecil semakin mempererat pelukannya. Napasnya mulai sesak karena ingus yang menyumbat di hidungnya. "Jangan ngomong gitu, Sayang. Cia pasti sembuh. Kalaupun sakit, bagi, Nak. Bagi rasa sakit itu sama Kak Cecil. Kita lewati ini sama-sama."

Devan membisu di tempat. Melihat pemandangan mengharukan itu, dia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, pilihannya hanya membiarkn Cecil dan Cia sama-sama tenang.

Setelah dirasa cukup tenang, Devan mendekat pada Cecil dan Cia. Merangkul kedua gadis itu penuh kelembutan. "Cecil ... Cia ... Sudah, jangan sedih lagi ya?"

Mereka saling melepas pelukan. Devan memberi Cecil ruang untuk duduk. Menatap gadis itu, lalu mengusap bahunya pelan. "Kita ke sini bukan untuk membuat Cia semakin sedih. Hapus air matamu."

Mendengar itu, Cecil mengangguk. Ya, yang Devan katakan menang benar. Cecil tidak boleh bersedih. Kalau dia seperti ini, akan membuat Cia ikutan sedih.

Cecil tersenyum, menatap Cia penuh sayang, lalu mengusap lembut kepala gadis itu.

Melihat senyum Cia, membuat hatinya merasa adem. Cecil membuka tasnya. Menyerahkan ponsel yang Devan inginkan, lalu mengambil fotonya di dalam tas.

"Anak kuat, anak hebat! Ini foto Kak Cecil. Kalau Cia kangen sama Kakak, Cia bisa peluk foto itu sepuasnya. Nanti kalau Kak Cecil ada waktu, pasti Kak Cecil jenguk Cia di sini."

Cia mendekat. Menerima kertas kecil itu dengan senang hati. Memandanginya lekat-lekat, lalu bergumam, "Cantik."

Cecil terkekeh dibuatnya. "Cia lebih cantik." Pujinya.

"Tapi botak." Celetuk Cia sembari tertawa, membuat yang lain ikut tertawa dibuatnya.

Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang