33. Siapa Yang Salah?

6.9K 256 10
                                    

Pagi menjelang. Di bawah selimut langit biru, kicauan burung menggema syahdu, saling bersahut menyambut mentari.

Cecil menggeliat di pelukan Devano. Gadis itu mengerang kecil, merasakan rasa sakit pada tangan dan kaki.

Perlahan, Cecil membuka mata. Mengerjap beberapa kali, sambil merentangkan tangannya.

Sayangnya, semakin bergerak, dirinya semakin kesakitan. Seutas tali yang melilit di tubuhnya, membuat kulit Cecil memerah.

"Devano." ujar Cecil pelan.

Gadis itu terkejut bukan main, melihat Devano tertidur nyenyak di sebelahnya. Cecil juga melihat ke bawah, melihat pakaiannya sudah berganti, pikiran negatif memenuhi otaknya. "Jangan-jangan ..."

Cecil menggeleng lemas. Tidak mungkin Devan sejahat itu. Tapi kenapa pakaiannya bisa berganti? Apalagi, dengan ikatan tali seperti ini.

Cecil berteriak histeris. "Bajingan! Jahat, keparat! Devan!"

Teriakan Cecil membuat Devan terjaga. Lelaki itu menatap bingung pada Cecilia yang kini tengah menangis histeris. "Ada apa?" tanyanya dengan suara serak.

Cecil menatap Devan dengan tatapan membunuh. Rasanya, ingin melenyapkan lelaki itu sekarang juga. "Apa kau bilang? Enak sekali bertanya ada apa. Apa yang sudah kau lakukan, Devan? Tubuhku, mahkotaku, ahhh! Kau bajingan." Cecil meraung tak terkendali, Devan sontak merangkulnya erat.

Dalam dekapan Devano, Cecil mulai tenang, tapi tidak dengan tangisnya yang semakin menjadi. "Kamu jahat, Devan! Kamu egois. Bunuh saja aku, daripada harus menjadi jalangmu!"

Devan menitihkan air matanya melihat Cecil sangat kecewa. Andai malam itu dia benar-benar melakukannya, Cecil pasti akan sangat membencinya.

Usai gadis itu tenang, Devan membuka perlahan tali yang menyiksa Cecil. Cecil sendiri diam, menatap Devan penuh kebencian.

Setelah terlepas, Cecil mendorong Devano hingga terjengkang. Dia lalu turun ranjang, mengambil gelas kaca yang tersimpan di atas meja lalu melemparkannya ke lantai, membuat pecahan gelas berserakan.

Cecil mengambil satu pecahan kaca yang cukup besar, lalu mengancam Devan agar pria itu segera pergi. Kalau tidak, Cecil akan bunuh diri.

Devan melihat itu, hanya bisa membelalak. Menatap tak percaya pada Cecilia yang tengah nekad.

"Bunuh diri saja! Aku gak peduli!" ucapan Devan semata-mata hanya ingin mengalihkan perhatian Cecil. Ya, setelah mengatakan itu, mata Cecil memanas. Gadis itu terlena, dan tanpa sadar menjatuhkan pecahan gelas.

Kesempatan itu tidak akan Devano lewatkan. Pria itu dengan cepat, mengambil benda tajam itu lalu membuangnya jauh.

Devan berdiri mendekat, menampar Cecil penuh emosi. "Kamu gila ya!" Makinya kesal. Dia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Cecil.

Dengan tatapan nyalang, Cecil memegang pipinya. Hatinya memanas setelah Devan kembali menyiksanya. "Kamu yang gila! Kamu sudah hancurin masa depanku. Bajingan! Gak punya otak!"

Perseteruan semakin memanas. "Kamu yang gak punya otak! Siapa yang suruh kamu pergi ke tempat sialan itu?"

Cecil memalingkan wajah. Ya, dia baru ingat jika semalam pergi ke bar, lalu setelahnya, sudah tidak ingat apa-apa lagi. "Bukan urusanmu!" ujarnya ketus.

Devan menatapnya marah. Segampang itu Cecil mengatakan jika ini bukan urusannya. "Bodoh! Kamu bodoh, Cil. Kamu masih polos, gak pernah ke tempat begituan. Kamu bilang, ini bukan urusanku? Bahkan kamu sampai terlihat seperti jalang, dan hampir kehilangan masa depan, kamu bilang ini bukan urusanku?"

Devan tertawa remeh. Bahkan, Cecil saja tidak mau dia khawatirkan, lalu untuk apa dia khawatir. "Ya! Memang bukan urusanku. Harusnya, aku biarkan saja kamu jadi korban gadun sialan itu. Harusnya, aku gak usah peduli sama kamu, Cil. Harusnya, aku gak usah kenal kamu! Dan harusnya lagi, kamu jadi jalang setelah madumu diambil!"

Air mata Devan menetes. Dia teramat kecewa dengan sikap Cecil yang tidak menghargainya sama sekali. Harusnya Cecil sadar, jika Devan bela-belain berkelahi dengan pria berengsek itu demi siapa? Se bajingannya Devan, dia tidak akan membiarkan ratunya dalam bahaya.

Cecil membekap mulutnya penuh sesal. Baru kali ini dirinya melihat Devano menitihkan air mata. Apa ini terlalu menyakitkan baginya. Sekali lagi, bayangan musik di bar itu, mengitari otaknya. Dia menggeleng lemah. Tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi.

Cecil menampar wajahnya sendiri dengan brutal. Rasanya ini adalah dosa besar baginya. Mengapa Cecil yang menjunjung tinggi sopan santunnya, bisa menginjakkan kaki di tempat seperti itu? "Apakah aku semenjijikkan itu? Apa yang aku lakukan, Dev? Katakan padaku. Apa aku sudah menggoda pria di luar sana?"

Cecil menangis dalam diam. Dia sama sekali tidak mengingat apa pun, meski sudah berusaha mengingatnya.

Cecil menatap tubuhnya penuh kebencian. Dia kembali sadar jika pakaian yang melekat dalam dirinya, bukanlah pakaian semalam.

"Baju ini? Apa baju ini kau yang menggantinya? Atau ... aku sudah tidak suci lagi?" Cecil menjambak rambutnya frustasi. Tidak bisa membayangkan apa yang terjadi semalam.

"Pakaian itu ...." Devan menatap Cecil. Tatapannya melembut seiring dengan emosinya yang menurun. "Itu aku yang menggantinya. Bajumu semalam terkena muntahan alkohol dari minuman yang membuatmu mabuk. Dia juga memasukkan obat perangsang yang dicampurkan di minumanmu. Kamu semalam bergairah dan tak terkendali. Jadi, aku terpaksa mengikatmu sampai pagi. Jika tidak, kamu akan menggila dan memakanku dengan lapar." Devan menjeda ucapannya. "Aku tidak ingin kamu menyesal. Jangan membenci dirimu sendiri, kamu tidak salah karena dalam pengaruh obat perangsang itu. Kesalahanmu cuman satu, yaitu datang ke tempat terkutuk itu. Jangan ulangi lagi. Aku mohon padamu."

Cecil menarik napasnya dalam kelegaan. Kali ini, Dia sangat berhutang budi pada Devan. Jika tidak, maka hidupnya akan benar-benar hancur.

Tidak disangka, Devan ternyata masih punya hati. Dia tidak sebejat yang Cecil kira. Sungguh, dia berdosa besar karena selalu berburuk sangka pada lelaki itu. Walaupun, sikapnya yang dominan dan arogan sudah membuat Cecil tersiksa sampai detik ini.

"Maafkan aku. Aku sudah berburuk sangka padamu. Aku janji, tidak akan pergi ke tempat semacam itu lagi."

Cecil berhambur ke pelukan Devano. Perasaanya mulai tenang. Devan sendiri, menyambut rangkulan itu dengan hangat.

"Tidak perlu minta maaf. Semua ini salahku. Tidak seharusnya, aku meninggalkanmu sendirian di jalan. Sungguh, aku tidak akan mengulanginya."

Cecil tersenyum. Dia sudah tidak mau ingat hal yang membuatnya kembali sakit hati. Ya, mungkin urusan Devan waktu itu benar-benar tidak bisa ditinggal. "Tak apa. Mungkin, urusanmu kemarin jauh lebih penting."

Devan menggeleng, mengelus kepala Cecil pelan sambil menghapus sisa air mata gadis itu. "Tidak! Aku hanya menemui mantanku. Dia datang ke kantor."

Cecil mengurai pelukannya, mengernyit heran lalu bertanya. "Mantan? Yang nikah itu?"

Devan kembali menggeleng. "Tidak! Beda lagi. Harusnya aku mengajakmu kemarin."

Cecil terkekeh. "Oh, ya, ya, ya, aku tidak peduli." Lalu berguling di atas ranjang. Merebahkan tubuhnya yang masih remuk.

"Harusnya aku menghukummu!"

"Hukum saja, tidak takut." Cecil semakin menantang.

"Baik. Kamu sendiri yang memintanya. Aku akan mempercepat pernikahan kita. Lusa, kamu akan sah jadi istriku. Aku akan meminta mama mempersiapkan semuanya."

Cecil menatap tak percaya. Gadis itu segera perotes. "Lusa? Kau sudah gila, Devan!" Makinya.

"Bahkan aku bisa lebih gila dari ini, Cecilia."

Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang